Oleh
KORNELIS KEWA AMA
Peran seniman dan budayawan lokal NTT dipertanyakan dalam membangun pariwisata di daerah itu. Pariwisata selama ini hanya mengandalkan beberapa obyek, padahal daerah ini kaya kearifan lokal.
KUPANG, KOMPAS — Seniman dan budayawan Nusa Tenggara Timur belum memiliki akses mendukung pengembangan pariwisata, yang tengah dipromosikan pemerintah daerah. Mereka membutuhkan tempat yang layak untuk berkumpul, berekspresi, berkreasi, berinovasi, dan menampilkan kreasi seni mereka.
Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat kaya akan seni, budaya, dan tradisi-tradisi lokal. Akan tetapi, dalam perkembangan semua itu tak berarti bagi kesejahteraan masyarakat, dan terancam punah karena ditinggalkan generasi penerus. Perhatian kepala daerah terhadap seni, budaya, dan tradisi lokal pun terbatas. Upaya mengembalikan semua itu selalu dikaitkan dengan anggaran.
Ketua Forum Ikatan Sanggar Seni Lintas Kabupaten/Kota Nusa Tenggara Timur Djohny Theedens di Kupang, Senin (7/8/2023), mengatakan, hampir 22 kabupaten/kota di NTT memiliki seniman, budayawan, dan sastrawan, yang menetap di Kota Kupang. Mereka itu mewakili seniman, budayawan, dan sastrawan dari daerah masing-masing.
Keprihatinan saya saat ini bukan pada kesulitan anggaran menggerakkan seniman dan budayawan. (Yohanes Vianey)
Aktivitasseniman dan budayawan di tengah masyarakat, tidak semata demi kepentingan pribadi atau organisasi. Mereka ingin berkontribusi dalam pembangunan khususnya sektor pariwisata. Sektor ini dinilai belum melibatkan seniman dan budayawan lokal.
Promosi pariwisata selama ini hanya terfokus pada keindahanan laut, pantai, fauna, flora, keunikan alam, danau, dan pulau-pulau kecil. Rumah adat, tenun ikat, dan ritual budaya tertentu yang diperankan tetua adat di setiap desa. Jadwal gelaran ritual adat tahunan di setiap desa pun tidak dipublikasikan dengan alasan sakral dan tertutup.
Ia mengatakan, pentas musik dan tarian tradisional, musik dan tari hasil kreasi modern, tutur adat, legenda asal usul suku, pembacaan puisi, dan pentas drama tidak pernah ada. NTT sangat kaya akan semua itu.
Gedung telantar
Seniman dan budayawan di Kota Kupang butuh salah satu gedung milik Pemprov yang selama ini ditelantarkan. Misalnya, gedung pertemuan Ina Boy yang dibangun mantan Gubernur Ben Mboi di Kelurahan Kelapa Lima, Kupang.
Seniman dan budayawan sebenarnya bisa memanfaatkan gedung yang sangat strategis itu untuk berkumpul, melakukan sejumlah aktivitas seni. Kegiatan antara lain membaca puisi, mementaskan tarian dan seni tradisional serta sejumlah aktivitas seni dan budaya lainnya,” kata Theedens.
Suatu suku atau daerah, dengan ritual dan kepercayaan terhadap para leluhur yang masih tinggi, itu berarti tradisi itu masih sangat asli, kaya, dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Pemberian sesajian terhadap arwah leluhur, biasanya diiringi dengan musik dan tarian tradisional, dengan tutur-tutur adat yang sangat asli.
Akan tetapi, semua itu tidak didayagunakan untuk mendukung pariwisata yang tengah digaungkan setiap Pemda. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di setiap kabupaten/kota tidak memiliki misi dan visi untuk mengangkat semua itu, mendukung pariwisata yang tengah dipromosikan.
Budayawan NTT, Yohanes Vianey Watu mengatakan, provinsi ini sangat kaya akan kearifan lokal. Oleh karena itu, seniman dan budayawan harus mendapat tempat utama dalam proses promosi warisan budaya di NTT. Jumlah 22 kabupaten/kota yang ada, memiliki ribuan kearifan lokal, dengan keunikan masing-masing.
”Keprihatinan saya saat ini bukan pada kesulitan anggaran menggerakkan seniman dan budayawan, tetapi komodofikasi warisan budaya oleh dunia industri pariwisata yang berlebihan, dengan mengabaikan kearifan lokal,” katanya.
Padahal, inti dari keberadaan binatang Komodo di Manggarai Barat adalah bagaimana kearifan masyarakat lokal di sana dalam menjaga, merawat, dan mempertahankan komodo sejak ratusan tahun silam, sebelum pemerintah terlibat di sana.
Dosen Universitas Katolik Widya Mandira Kupang ini mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan teori persebaran inovasi budaya atau neokulturkreis, yang menghargai proses indigenisasi di satu sisi dan inkulturasi di sisi lain. Ini, terhubung dengan jenis-jenis industri pariwisata dan visi pertumbuhan yang hendak ditumbuhkembangkan.
Ada tiga gatra sosial yang perlu diselaraskan, yakni budaya, politik, dan ekonomi. Ini, untuk memuliakan yang sakral dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Dalam proses penyelarasan ini unsur-unsur ekologi dan alam semesta dihormati dan dilestarikan.
Pengembangan industri pariwisata tidak boleh mengabaikan nilai budaya, adat, dan lingkungan sekitar. Kesejahteraan manusia sangat erat kaitan dengan keharmonisan alam semesta sebagai realisasi dari penghormatan terhadap keutuhan ciptaan.
Praktisi Pariwisata NTT Agus Ola mengatakan, pengembangan pariwisata super premium Labuan Bajo lebih didominasi pembangunan fisik oleh pemerintah, dan sejumlah dukungan pihak swasta. Seniman, budayawan, dan sastrawan lokal terutama di Manggarai Raya belum mengambil peran aktif di sana.
Wisatawan perlu menikmati pentas seni budayadi Labuan Bajo. Tidak hanya tarian caci yang dipertontonkan di sejumlah acara selama ini. Perlu dihadirkan sebuah gedung pertunjukan di Labuan Bajo, melibatkan para seniman, budayawan, dan sastrawan untuk tampil berkreasi dan berinovasi, yang diatur sesuai kalender,” kata Ola.
Seniman dan budayawan Manggarai Raya harus aktif memulai. Tidak menunggu pemerintah. Paling tidak, terbentuk dulu organisasi yang mewadahi kelompok seniman, dan budayawan di sana. Dilanjutkan dengan kegiatan pertunjukkan seni budaya di ruang publik, menghibur wisatawan.
Memang, kata dia, ada sanggar seni budaya di masyarakat, terutama di desa-desa wisata. Tetapi aktivitas mereka masih terbatas di desa masing-masing dan belum ada pertunjukkan lebih besar yang melibatkan semua pengelola sanggar seni di sana.
”Mereka ini harus memiliki satu gedung pertunjukan seni budaya di Labuan Bajo dengan memanfaatkan Taman Budaya milik Pemkab Manggarai Barat,” katanya.
Editor:
AGNES BENEDIKTA SWETTA BR PANDIA
- Log in to post comments