Susilowati
Menyelamatkan Flores
KORNELIS KEWA AMA
Ikon konten premium Cetak | 29 Desember 2015 Ikon jumlah hit 96 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Area seluas 3.514 meter persegi di pinggir jalur utama trans Maumere-Larantuka itu tampak hijau, rindang, dan sejuk. Di bagian kanan areal itu tampak bangunan dengan luas sekitar 700 meter persegi. Ruang ini menjadi kantor sekaligus ruang pamer hasil kreativitas Susilowati (40) yang diberi gelar "Ratu Sampah Flores".
Kompas/Kornelis Kewa Ama
Susilowati mengoordinasi relawan di daratan Flores untuk mengumpulkan berbagai jenis sampah, kemudian dikirim ke Yayasan Anak Cucu Sejahtera (YACS) yang berkantor pusat di Maumere. Kegiatan ini sebagai upaya mendukung pariwisata Flores dan menciptakan lingkungan yang bersih dan hijau.
Ia tidak hanya mempromosikan gerakan menabung sampah di bank sampah di YACS, tetapi juga gerakan menanam dan menjadikan Flores sebagai pulau yang hijau melalui program Indonesia Hijau.
Ketika ditemui di kantor YACS di Maumere, awal Desember ini, Susi, demikian panggilan akrab Susilowati, baru saja membawa belasan anak difabel pulang dari Pasar Alok di Maumere. Di Pasar Alok, mereka membersihkan sampah sekaligus mengajak warga Sikka menghormati dan memberikan perhatian kepada anak-anak difabel.
"Ini ada keranjang dari bekas bungkusan mi instan, ada tas dari bekas kertas koran, kertas-kertas kantor yang tidak terpakai, dan asbak rokok dari bekas pecahan keramik. Semua yang tersimpan di show room ini adalah hasil karya anak-anak cacat yang sering dianggap tak punya kemampuan oleh orang normal," kata Susi mengungkapkan bahwa gelar "Ratu Sampah Flores" itu diberikan oleh turis asing yang datang ke kediaman Susi pada 2012.
Saat itu rumah dipenuhi tumpukan sampah sehingga tamu sangat sulit untuk bergerak ke mana-mana. Kini, setelah hadirnya bank sampah, sampah tersebut tidak berserakan lagi. Sampah yang dibawa warga ke lokasi itu langsung diolah oleh anak-anak difabel yang berada di bawah koordinasi dan bimbingan Susi.
Ia menuturkan, turis mancanegara yang peduli lingkungan selalu tiba di kediaman Susi jika mereka ke Flores. Satu grup wisatawan asing peduli lingkungan terkenal dengan nama "Sawadee" asal Belanda, setiap tahun, rutin mengunjungi Flores. Mereka selalu singgah di lokasi tersebut. Selain itu, turis-turis dari Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Kedubes AS juga pernah berkunjung ke YACS.
Bank sampah
Bank sampah mulai terbentuk 14 Februari 2014, bertepatan dengan Hari Kasih Sayang. Pada Hari Kasih Sayang diyakini banyak kado, bungkusan, yang berserakan dan menjadi sampah.
Disebut bank karena beroperasinya mirip bank. Warga menabung sampah ke YACS. Setiap orang yang memiliki sampah membawanya ke YACS dan satu bulan kemudian mereka datang mengambil uang di YACS. Bagi mereka yang tidak ingin mengambil uang dalam waktu dekat, mereka boleh mengumpulkan sampah sebanyak mungkin dan kemudian ditimbang. Mereka bisa mengambil uangnya di saat lain ketika membutuhkannya.
"Saya melakukan sosialisasi tentang program ini di sekolah, desa, kelurahan, dan kecamatan secara sukarela. Saya ajak mereka menemukan sampah apa saja di jalan, rumah, tempat kerja, dan di mana saja, diambil dan dibawa ke YACS, ditabung di sini. Saya mencatat jenis sampah dan mereka juga mendapatkan selembar kertas sebagai bukti penyerahan sampah untuk mendapatkan uang setelah satu bulan," kata Susi.
Istri Hermanus Wilhelmus Koopman, warga Belanda, ini mengatakan, setiap ada acara di kecamatan yang menghadirkan banyak warga, ia selalu menyempatkan diri hadir. Susi pun meminta camat setempat berbicara tentang program bank sampah. Hingga saat ini, sudah sembilan kecamatan yang terlibat.
Pada sosialisasi tingkat kecamatan itu, semua kepala sekolah juga diundang. Program ini disatukan dengan pendidikan kepramukaan, yakni program "Majelis Pembimbing Gugus Depan". Kepala sekolah sebagai majelis pembimbing ikut mengarahkan siswa untuk menjaga lingkungan agar bersih dan sehat.
Sekarang, bank sampah ini telah memiliki cabang di Larantuka, Ende, dan sejumlah kantor unit di wilayah Sikka dan sudah mempunyai 1.168 nasabah. Di antara nasabah itu ada anak-anak berusia dua tahun.
Sampah-sampah yang terkumpul di bank sampah kemudian diproses oleh kaum difabel di bawah bimbingan Susi dan tiga karyawannya yang berperan sebagai instruktur. Karena para pekerja sebagian besar kaum difabel, Susi dan teman-teman harus lebih banyak sabar dan ramah ketika membimbing dan mengarahkan mereka sampai benar-benar mandiri atas pekerjaan itu.
"Kami bekerja dengan prinsip ramah lingkungan, tidak hanya menyangkut lingkungan yang bersih, rindang, sejuk, dan asri, tetapi juga menyangkut perilaku dan sikap terhadap orang-orang di sekitar. Yayasan ini menjadi sentra usaha kecil bagi kaum difabel sehingga tempat itu diciptakan sedemikian rupa agar benar-benar membuat kaum difabel betah dan merasa memiliki tempat ini," kata Susi yang pernah menyurati Presiden Joko Widodo agar pemulung, termasuk relawan bank sampah, mendapatkan BPJS Kesehatan. Namun, surat itu belum mendapat balasan.
Sedikitnya 15 difabel bekerja di YACS, salah satunya warga yang berasal dari desa di pedalaman Sikka. Saat tiba di YACS, tangannya tidak bisa menggenggam, tetapi setelah diberi pelatihan, tangannya akhirnya bisa berfungsi normal. Kini, ia duduk di kursi roda, tetapi mampu memberikan pelatihan kepada orang- orang normal untuk membuat beberapa jenis keterampilan alat dapur dari sampah.
Para difabel ini biasanya diantar orangtua ke YACS setiap pagi, kemudian dijemput pada sore hari. Di YACS, para difabel dilatih keterampilan membuat berbagai cendera mata dan suvenir berbahan baku sampah. Atas kerjanyanya itu, mereka mendapat upah Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan.
Saat ini, Siprianus Sadipun dipercaya menjadi Ketua Umum YACS. Ia juga difabel yang berjalan dengan tangan. Adapun untuk pengawas, dipercayakan kepada Karno yang juga penyandang difabel karena hanya memiliki satu tangan. Meski memiliki keterbatasan fisik, mereka sudah terampil menggunting, menyambung bagian-bagian guntingan, kemudian menempel dan menjahit untuk menghasilkan suvenir yang cantik.
"Hasil karya mereka, seperti gelas, dompet, keranjang, tas, asbak rokok, dan pensil, dijual ke Denpasar. Tetapi, jenis sampah yang tidak dapat diproses menjadi suvenir kami kirim ke Jawa," kata Susi.
Sementara itu, sampah basah dari dapur, seperti potongan sayur, buah-buahan, dan makanan lain, diproses menjadi pupuk organik. Ia belajar membuat pupuk organik dari sampah basah pada 2014 di Jakarta.
Susilowati
u Lahir: Desa Rowoseneng, Kecamatan Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, 14 Februari 1975u Suami: Hermanus Wilhelmus Petrus Koopmanu Anak: - Yacobus Petrus Koopman (22) - Bartolomeus Wilhelmus Koopman (21) - Marlies Suxanne Koopman (20), - Isabel Koopman (11)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/12/29/Menyelamatkan-Flores
- Log in to post comments
- 290 reads