Menjelajah "Surga" di Belahan Barat Papua (2-Habis)
Rabu, 5 Agustus 2015 | 11:30 WIB
Raja Ampat adalah salah satu tujuan menyelam yang paling didambakan para divers ataupun pelancong yang mencintai alam. Perjalanan menuju ke sana tidak mudah. Setelah terbang selama kurang lebih lima jam dari Jakarta menuju Sorong, transit di Makassar, kami menuju Pelabuhan Waisai dengan kapal penumpang selama satu jam. Dari sanalah, kami dijemput speed boat diantar ke tempat tujuan.
TIGA hari setelah kepulangan kami, Harry memberikan hasil fotonya. Ternyata, aku dan Akbari seperti mempunyai pantulan di air laut, dengan foreground terumbu karang, dan background langit ditambah tempat peristirahatan dermaga dan pohon-pohon kelapa. Kami dikelilingi dengan air laut yang memantulkan bayangan awan.
Hari kedua kami mengunjungi Arborek, kami tidak berencana menyelam. Land tour saja. Sang underwater photographer memilih duduk sendirian di dermaga. Ternyata, walau berkaca mata, ia memiliki penglihatan yang tajam. Ia melihat sirip manta mendekat dari kejauhan perairan Arborek dan segera memanggil kami yang sedang berbincang dengan ibu-ibu pembuat "Topi Manta..," teriaknya
Ya, topi ini dibuat mengikuti bentuk ikan manta, seperti jubah lebar. Manta termasuk ikan yang suka bermigrasi. Di bulan tertentu, manta mudah ditemukan di perairan sekitar Arborek. Namun sayangnya, bukan saat kami melakukan kunjungan ke sana.
Manta adalah salah satu ikan yang paling digemari oleh para diver. Ukurannya besar, pipih, namun lebar. Jarak dari ujung sirip ke ujung lainnya bisa mencapai 7 meter. Kadang kala manta muncul ke atas permukaan air, seakan melayang di udara bebas.
Chris, sahabat kami yang punya keahlian menerbangkan drone, segera menaikkan pesawat tak berawak dan menangkap gambar sang manta yang memutar berenang menjauh. Kami hanya bisa berdecak kagum menonton dari monitor kecil yang dipegangnya. Manta itu seakan terbang di dalam air laut, cantik, anggun, dan memesona.
Walau tak sempat melihat manta di bawah air, aku sudah cukup bahagia. Lebih-lebih ketika kami melihat ribuan schooling fish, ikan pari, bumphead, sweetlips, aneka ragam nudibranch, moray eel hijau yang bergigi tajam dan sedikit mengerikan, black tip shark, dan tak ketinggalan wobbegong.
Wobbegong adalah ikan hiu yang "pemalas". Hiu ini panjangnya beragam, motif badannya seperti karpet, lengkap dengan rumbai-rumbai di mulutnya yang lebar. Saat aku melihat ikan yang satu ini, ia tengah bersantai dengan memasukkan kepalanya ke bawah karang di dasar laut. Sungguh unik.
Sore terakhir kami di Raja Ampat Dive Lodge, 16 Juli 2015. Akbari, Chris, dan Rojak (yang satu ini underwater videographer, berwajah serius lengkap dengan jenggot, namun ternyata berjiwa pelawak), sibuk bermain dengan kano yang sengaja disediakan sebagai salah satu fasilitas di sana buat para wisatawan.
Aku cukup senang duduk di dermaga memandangi matahari yang siap tenggelam dan mengambil foto tiga laki-laki yang sudah membuatku tertawa beberapa hari terakhir ini.
Waktu terus berjalan. Perut pun tak bisa diajak kompromi. Akhirnya, mie instan yang dibeli Harry di Arborek datang juga. Tiga mie rebus dan tiga mie goreng. Aku segera memanggil ketiga crew Kompas TV.
Kami berlima berkumpul, setengah tidak peduli dengan mangkuk-mangkuk kecil yang disediakan. Garpu dan sendok berebut mengambil mie rebus di mangkuk besar, dan mie goreng di piring besar. Ada potongan-potongan telur yang menghiasnya dan membuat rasanya lebih lezat lagi.
Aku semakin sadar bahwa alam, kebersamaan, dan suasanalah yang membuat mie ini begitu enak. "Ya, aku harus kembali lagi ke sini...," janjiku dalam hati. Baru empat titik selam yang kami kunjungi. Masih begitu banyak keindahan di Raja Ampat yang masih bisa dinikmati. Bukan hanya diving spots, namun juga beragam keindahan alam dan juga kearifan lokal serta budaya.
Penulis : Roxanna Silalahi
Foto lainnya : Abdul Rozak/KompasTV, Akbari Madjid/KompasTV
- Log in to post comments
- 347 reads