BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengenal Adat, Mengenal Jati Diri

Sat,01 February 2014 | 21:31
Mengenal Adat, Mengenal Jati Diri
Foto: Yusran-Tawakkal/Fajar

MAKASSAR, FAJAR -- Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki empat etnis yang berbeda. Cara mengenal jati dirinya, dimulai dari upacara pernikahan. Awal pembentukan garis keturunan. Suku Bugis dan Makassar pada umumnya memiliki tata cara upacara pernikahan yang sama. Perbedaan  hanya pada bahasa dan istilah yang digunakan. Seperti apa ?
 
Pernikahan secara adat Bugis-Makassar secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra perkawinan, pesta perkawinan, dan pasca perkawinan.

Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekadar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppé mabélaé yang artinya mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178).

Menurut beberapa teori, sistem perkawinan endogami (sesuai garis keturunan) masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat keluarga (Hadikusuma, 2003:69).

Kendati demikian, umumnya tetap diawali dengan proses pengenalan, yang oleh anak muda zaman ini disebut pacaran. Meski penentuan calon pasangan hidup tetap melalui seleksi orang tua. Ditentukan melalui proses pengenalan lebih serius yang melibatkan kalangan orang tua dan kerabat.

Salah satu proses pernikahan adat yang dijumpai FAJAR adalah saat pernikahan Andi Dewi Rizki Amelia Bau,  dan  Erwin Baharuddin digelar. Pasangan yang menikah Rabu, 29 Januari di Kompleks Pepabri Blok B2 No 12 bertemu melalui proses pengenalan saat Andi Dewi masih menimba ilmu di salah satu perguruan swasta di Makassar. Lalu saling mengenal dengan melibatkan kedua orang tua dan kerabat.
 
Setelah proses pengenalan yang kental, kedua keluarga saling mengetahui satu sama lain. Tahapan pernikahan mulai dilaksanakan. Dimulai dengan proses ma’manu-manu dalam istilah Bugis atau ma’jangang-jangang dalam istilah Makassar.

Proses ini diartikan sebagai mengenal identitas calon mempelai lebih dalam secara satu sama lainnya. Ini menjadi tahapan pra pernikahan. Lalu kemudian dilanjutkan dengan prosesi a’suro (Makassar) atau madduta (Bugis) yang berarti melamar.

Kemudian a’pa’nassa dalam bahasa Makassar atau patenre ada’ dalam bahasa Bugis yang berarti menentukan hari.

“Proses madduta dan patenre ada’ itu dilakukan dalam hari yang sama. Pihak lelaki datang, diwakili kerabat terdekatnya. Di saat itu ditentukan berapa mahar atau dui’ menré dalam istilah Bugis dan uang panaik dalam istilah Makassar,” kata Andi Muh Hasyim Sultan, ayahanda Andi Dewi, saat ditemui di kediamannya, 28 Januari lalu.
  
Menurut Hadikusumah (1990:57), dui’ menré merupakan uang petindih, yaitu uang jemputan kepada pihak  perempuan sebagai salah satu syarat sahnya pinangan atau pertunangan menurut adat. Dalam pembicaraan ini terjadi tawar-menawar antara to madduta (yang melamar) dengan to riaddutai (yang dilamar).

Besar kecilnya jumlah dui’ menré dalam perkawinan orang Bugis sangat dipengaruhi oleh status sosial pihak perempuan. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan semakin besar pula jumlah dui’ menré yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki (Abdullah, 1983:267).

Oleh karena itu, pihak laki-laki yang diwakili oleh to madduta harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak keluarga perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama masalah jumlah mahar, berarti pinangan to madduta diterima.

Lalu pembicaraan dilanjutkan dengan kesepakatan  tanggal pernikahan dan segala macam kelengkapan pernikahan dibicarakan. Mulai dari seserahan saat akad nikah, hingga pakaian, dan tempat perhelatan resepsi pernikahan.
  
Tahapan selanjutnya a’barumbung (mappesau) atau mandi uap, dilakukan selama tiga hari. Lalu kemudian appassili bunting (cemme mappepaccing) atau siraman dan a’bubbu’ (mencukur rambut halus dari calon mempelai). Akkorontigi (mappacci) atau malam pacar.
 
Tetapi yang terjadi pada pernikahan Andi Dewi, proses adat dipadatkan dengan melakukan appassili bunting (cemme mappepaccing) atau siraman, a’bubbu’ (mencukur rambut halus dari calon mempelai), dan akkorontigi (mappacci) atau malam pacar dalam satu hari yang sama.

“Biasanya adat terdahulu, ritual ini dilakukan dalam tiga hari yang berbeda. Namun kita tidak ingin merepotkan keluarga, jadi lebih dipermudah ritualnya tanpa menafikan maknanya,”  urai Andi Nurlia Nipati.

Prosesi pernikahan Andi Dewi dan Erwin kemudian dilanjutkan pada tahapan pernikahan. Diawali dengan assimorong atau akad nikah. Saat itu, Rabu, 29 Januari, pihak lelaki datang dengan membawa erang-erang atau barang seserahan sesuai dengan kesepakatan bersama.

Mempelai pria datang bersama rombongan keluarga dan gadis berbaju bodo 12 orang. Bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories calon pengantin wanita.

Lalu ada pula petugas pembawa panca (keranjang dari anyaman bambu berbentuk segi empat) terdiri dari empat laki-laki. Panca berisikan satu tandan kelapa, satu tandan pisang raja, satu  tandan buah lontara, satu buah labu kuning besar, satu buah nangka, tujuh  batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

Perangkat adatnya terdiri dari seorang laki-laki pembawa tombak. Anak-anak kecil pembawa ceret tiga orang. Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar). Remaja pria empat orang untuk membawa lellu (payung persegi empat). Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.

Inilah inti ritual pernikahan. Sebelum memasuki rumah mempelai perempuan, pihak lelaki disambut dengan ganrang, dentuman gendang khas Bugis-Makassar. Lalu mempelai laki-laki mendapat penghormatan, sumpah kesetiaan dari pihak perempuan melalui adat ngaru’.

Saat itu, mempelai perempuan menanti di dalam kamar dibawah naungan lellu’ (payung yang terbuat dari kain dengan enam tongkat penyangga). Ditegakkan enam perempuan yang masih berstatus gadis dan perawan.

Lalu kemudian, calon mempelai pria masuk ke kediaman calon mempelai perempuan. Memasuki area ijab kabul, tepat di depan pelaminan. Setelahnya, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa. Penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita.

Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

Andi Muh Hasyim Sultan, ayahanda dari Andi Dewi mengatakan, prosesi pernikahan adalah momen sakral untuk sebuah keluarga. Darimana mereka berasal dan bagaimana kedudukan sosialnya, ditentukan dari adat pernikahannya.

“Umumnya tidak banyak lagi yang melakukan ritualnya secara runut. Namun kita mau melestarikan budaya nenek moyang, jadi tetap kita pertahankan. Meskipun pernikahan adat itu tidak simple dan menelan biaya yang cukup mahal,” papar lelaki yang memiliki gelar Daeng Manuntungi.

Setelahnya, resepsi kemudian digelar. Biasanya, sesuai adat orang terdahulu. Pesta pernikahan dilakukan di kediaman masing-masing pengantin. Besar kecilnya pesta pernikahan, melambangkan strata sosial. Ritual terakhir adalah allekka’ bunting (marolla) atau mundu mantu.

 Lalu kemudian appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai. Namun pada pernikahan Andi Dewi dan Erwin, proses allekka’ bunting (marolla) atau mundu mantu dilakukan sebelum resepsi digelar. Setelah prosesi appla’popporo dilakukan. (rhd-sam/bas-yan)

Sumber: http://www.fajar.co.id/metromakassar/3117350_5662.html