SANGIHE, KOMPAS.com - Sejumlah pria berjibaku dengan ombak yang membesar. Saat ini angin selatan sedang bertiup yang memicu wilayah perairan di sekitar pulau Bukide kerap bergelombang tinggi.
Namun mereka harus tetap membawa pelampung berwarna orange itu ke zona inti. Salah satu dari zona perairan laut yang ditetapkan dalam Peraturan Kampung (Perkam) Bukide Timur tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir.
Ini adalah Perkam yang disepakati bersama oleh warga kampung untuk melindungi wilayah perairan lautnya agar terus bisa memasok ikan. Maklum hampir semua warga Kampung Bukide Timur menggantungkan kehidupan mereka dari pekerjaan sebagai nelayan.
Pulau ini seakan berteras laut, dan dari laut lah, kehidupan warganya terpenuhi. Walau bercocok tanam dalam skala yang kecil juga kadang dilakukan.
Pelampung-pelampung itu dibawa dengan perahu lalu diapungkan mengelilingi zona inti seluas 37,05 hektar dari toal 442,25 hektar wilayah perairan laut yang dilindungi lewat Perkam.
"Zona inti merupakan wilayah pesisir yang ditetapkan sebagai zona yang menjadi rumah ikan yang tidak bisa dieksploitasi kecuali untuk kegiatan pendidikan, dan penelitian yang ramah lingkungan," jelas Sam Barahama dari Perkumpulan Sampiri, Rabu (6/9/2017) saat media trip sejumlah jurnalis mengunjungi Pulau Bukide.
Perkumpulan Sampiri bersama Perkumpulan Yapeka membentuk Konsorsium Nusa Utara (KNU) mendampingi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi pesisir (KKP). KKP merupakan nama lain dari daerah perlindungan laut (DPL) yang selama ini dikenal luas.
"Kami senang kini sudah ada peraturan kampung yang melindungi laut kami, sebab saat ini semakin hari semakin jauh untuk cari tangkap ikan," ujar Pelaksana Tugas Kepala Kampung Bukide Timur, Syahrul Pancariang.
Perkam yang ditetapkan pada Februari 2017 itu bukan saja hanya melarang warga Bukide Timur untuk menangkap ikan di zona inti, tetapi berlaku pula bagi siapa saja, termasuk warga kampung lain.
"Ada mekanisme sanksi bagi yang nekat masuk ke dalam zona inti dan menangkap ikan di sana," ujar Ketua Kelompok Kaderotang, Marjung Landangkasiang.
Menurut Ami Raini Putriraya dari Perkumpulan Yapeka, KKP bertujuan memberikan kontribusi dalam mempertahankan dan meningkatkan stok ikan yang ada di kawasan yang dilindungi.
"Dengan adanya kawasan yang dilindungi untuk tempat bertelurnya ikan, nantinya masyarakat tidak lagi harus melaut jauh untuk menangkap ikan. Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan nelayan untuk melaut akan berkurang," jelas Ami.
Fungsi KNU dalam pengelolaan KKP di Sangihe hanyalah sebagai inisiator, fasilitator dan pendamping, selebihnya dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.
Program pengelolaan KKP ini disokong oleh dana dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF), sebuah komitmen pendanaan terhadap keberlanjutan biodiversiti di wilayah Wallacea.
Di Bukide Timur, KKP yang dilindungi dengan Perkam tersebut dikelola oleh Kelompok Kaderotang yang diberi amanat menjalankan Perkam tersebut. KNU sendiri telah mendampingi masyarakat nelayan di Sangihe mengelola KKP seluas 757,49 hektar. Selain di Bukide Timur, KKP juga ada di Batuwingkung, Nusa dan Bukide.
"Target kita ke depan, KKP ini direplikasi ke kampung-kampung lainnya dan diperkuat melalui peraturan bupati agar masyarakat nelayan benar-benar memgelola kekayaan baharinya secara berkelanjutan," harap Sam.
Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten bahari di bagian utara Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.012,93 km persegi dan bagian terbesarnya adalah wilayah perairan laut.
Gugusan pulau-pulau di Sangihe yang berbatasan dengan Filipina ini mempunyai keanekaragaman hayati, budaya, dan alam yang tinggi. Mulai dari pengunungan berapi yang membentuk pulau utama, yakni Pulau Sangir, hutan sekunder dan primer di dataran tinggi Sahendarumang, dan hasil pertanian yang melimpah.
Sangihe juga memiliki kekayaan biota pesisir dengan terumbu karang dan hutan mangrove, sampai pada keragaman budaya yang didominasi oleh etnis Sangir.
- Log in to post comments
- 82 reads