BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengajarkan Hidup Berbeda dalam Kedamaian

Tradisi ”Sentulak”
Mengajarkan Hidup Berbeda dalam Kedamaian

PEMERINTAH Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kini berupaya mengangkat kembali tradisi dan budaya etnis Sasak, Lombok, yang selama ini tidak banyak diketahui generasi muda. Harapannya, kecuali acara-acara budaya itu menjadi representasi 413.210 jiwa penduduk kota yang heterogen sekaligus menjadi obyek wisata bagi masyarakat yang datang ke ibu kota Nusa Tenggara Barat.

”Kota Mataram punya moto ’Maju, Religius, dan Berbudaya’. Dalam konteks budaya itu, kami mengangkat tolak bala, satu kearifan lokal yang memiliki nilai edukasi dan pembelajaran yang relevan dikedepankan karena Mataram memiliki warga yang plural,” ujar Ahyar Abduh, Wali Kota Mataram, seusai acara Isra Miraj Nabi Muhammad SAW, beberapa waktu lalu, di kantor Wali Kota Mataram.

Tolak bala (tulak bahle—bahasa Sasak, Lombok) masih berjalan di Kota Mataram seperti di beberapa lingkungan di Kelurahan Pagutan dan Rembiga dengan sebutan yang berbeda, yaitu betetulak ataupun sentulak. ”Namun, esensinya sama, yakni memohon kepada Allah agar bencana alam, penyakit, dan energi-energi negatif lain keluar habis, dan yang tinggal energi positif yang membawa ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman di Mataram,” ujar Lalu Alwan Basri, Kepada Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Mataram.

Sentulak umumnya digelar menyambut Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. Ritualnya dimulai dengan memotong ketupat yang dilengkapi lauk-pauk, seperti daging ayam, urap, dan telur. Para tetua adat lalu melakukan kirab dimulai dari Pendopo Kota Mataram. Di beberapa perempatan jalan utama, rombongan berhenti sejenak. Seorang petugas meletakkan bekas pembungkus ketupat dan seorang lainnya mengumandangkan azan di tempat-tempat yang ditentukan.

Malam harinya diramaikan dengan tradisi membaca sastra yang disebut bekayat, khususnya syair-syair yang mengisahkan perjalanan spiritual Rasulullah bersama malaikat Jibril mengendarai buraq dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina hingga langit Sidratul Muntaha pada malam hari. Pulang ke Bumi, Rasulullah SAW membawa wahyu Allah tentang perintah shalat lima waktu bagi umat Muslim.

Ada tiga orang yang bertugas membacakan naskah syair Isra Miraj dalam aksara Arab berbahasa Melayu saat itu: Sahwi sebagai pembaca, Suparman selaku penerjemah, serta Mujib dan Nasrudin sebagai penyarup (penyokong). Penerjemah berperan penting dalam bekayat karena ia memerlukan improvisasi menerjemahkan bahasa Melayu itu ke bahasa Sasak.

Dalam mendeskripsikan buraq yang digunakan Nabi Muhammad SAW menuju Sidratul Muntaha, misalnya ”Buraq sesenu, bedoe keletek kiri-kawan, dait lamun nengkesur marak kisap (Buraq itu punya sayap di kiri-kanan dan jika terbang secepat kilat),” kata penerjemah. Dengan bahasa seperti ini, penonton mudah mencerna isi cerita lalu mengimplementasikan dalam kehidupan nyata yang penuh tantangan dan rintangan.
Ketauhidan

Begitulah agaknya yang tersirat dan tersurat dalam acara sentulak beserta peranti hidangannya. Dunia sebagai panggung ujian menuntut manusia mampu melepas egoisme dan kepentingan individual, tetapi mengedepankan solidaritas, etika, moralitas, dan ketauhidan menuju kehidupan komunal yang harmoni.

Sebutlah makanan urap berisi aneka daun yang apabila sudah direbus dicampur dengan sambal parutan kelapa melambangkan kesetaraan dan kekompakan dalam kehidupan bermasyarakat. Lainnya adalah ketupat dan janur daun kelapa pembungkus beras sebagai hidangan saat acara berlangsung.

Ahmad YD, pemerhati budaya Sasak, menyebutkan, itu merupakan simbolisasi kekuasaan Ilahi yang memberi anugerah kepada umat-Nya dari Bumi ciptaan-Nya.

Agar sumber daya alam itu tetap memberi arti, harus dijaga kelestariannya. Caranya, manusia mengendalikan hawa nafsu membuatnya menjadi makhluk mulia dibandingkan dengan makhluk lain karena jasad manusia dibuat dari tanah, api, air, dan angin.

Boleh jadi beras adalah simbol nafsu dunia, sedangkan janur simbol hati nurani, yang mengiaskan bahwa manusia punya hawa nafsu, tetapi hawa nafsu itu bisa dikendalikan hati nurani. Artinya, motivasi dari dalam lebih kuat energinya daripada dari luar. Ini ibarat telur ayam berisi janin di dalamnya. Jika cangkang dipecahkan dari luar menjadi rusak. Namun, anak ayam merasa sudah kuat menikmati hidup jika cangkang telur dipecahkan sendiri.

Perilaku ayam pun memiliki nilai edukatif: kokok ayam jantan menunjuk waktu bagi umat Muslim mengerjakan shalat Subuh. Ayam betina senantiasa mengajarkan perjuangan hidup dengan terus menggiring dan mengawal anak-anaknya mengais makanan, lalu menyapih anak-anaknya jika sudah mampu mencari makan sendiri.

Kearifan tolak bala agaknya sarat akan makna dan pesan moral sehingga wajar agaknya Pemkot Mataram mengangkat tradisi itu sebagai media pembelajaran. Apalagi, kota ini memiliki masyarakat yang plural, beragam etnis, dan kepercayaan yang berbeda. Namun, dalam perbedaan itu, di hati sanubari warganya senantiasa bersemi sikap toleran: berbeda dalam kedamaian…. (KHAERUL ANWAR)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006909774