Wirada
Mengajak Petani Bertanam Hortikultura
Oleh: KHAERUL ANWAR 0 Komentar FacebookTwitter
Bagi sebagian orang, sosok petani acap kali digambarkan sebagai kemiskinan dan kurang berpendidikan. Namun, I Gede Wirada (42), warga Lingkungan Karang Seraya, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, justru bertekad mengubah kesan tersebut.
Wirada tidak hanya berusaha membalikkan kesan itu lewat aktivitas langsung bercocok tanam, tetapi juga melakukan diversifikasi tanaman. Selain menanam tanaman pangan, dia juga menanam tanaman hortikultura seperti sayuran dan buah-buah di areal yang sama.
”Petani itu dalam banyak hal sering dianggap sebagai warga kelas dua,” kata Wirada mengungkapkan pengalaman pribadinya.
Saat memeriksakan kesehatan di sebuah rumah sakit, dalam kartu administrasi berobat ditulis pekerjaannya wiraswasta, bukan petani. Dengan nada emosional, Wirada mengatakan, ”Biar jadi petani, saya tidak memanfaatkan fasilitas untuk pasien miskin.” Meski begitu, ucapannya tetap tak digubris si petugas.
Fakta lain betapa bertani ataupun petani bukanlah ladang pekerjaan yang menarik bisa dilihat dari mahasiswa yang memilih jurusan pertanian. Umumnya mereka memilih studi pertanian setelah tak diterima di bidang studi lain.
Di sisi lain, relatif tak ada regenerasi petani. Petani didominasi kalangan berusia 50 tahun dengan pemikiran konservatif. Misalnya, kebiasaan menanam padi dan palawija sepanjang tahun sehingga mereka sulit menerima inovasi. Padahal, dengan kemajuan teknologi, produk pertanian pun harus berkompetisi dengan globalisasi.
Persoalan-persoalan itulah yang kemudian menginspirasi Wirada menekuni bidang pertanian. Bukan saja agar bertani ataupun petani menjadi bidang idaman orang, melainkan juga karena sesuai dengan kesenangan dan disiplin ilmu yang dia tekuni.
Wirada belajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat. ”Di kampus saya belajar teori yang kemudian saya aplikasikan di sawah,” ucapnya.
Lahan pribadi
Wirada memilih bercocok tanam cabai tahun 1990 di lahan pribadi seluas sekitar 50 are. Mengingat benih, pestisida, dan sarana produksi (saprodi) lainnya tidak tersedia di Mataram, dia harus membelinya sampai ke Bali.
Untuk modal awal usahanya itu, Wirada dibantu orangtua. Namun, upayanya itu gagal total karena minimnya pengalaman Wirada menangani serangan fusarium dan lalat buah terhadap tanaman cabai.
Akan tetapi, sulung dari dua bersaudara anak pasangan I Made Putra Wardangin dan Ni Ketut Rerod ini tidak kapok dengan kegagalan itu. Bahkan, dia tetap menolak tawaran untuk menjadi tenaga honorer di sebuah instansi pemerintah.
Tahun 1993 dia menanam jagung manis dengan modal bibit pemberian dosennya. Areal tanamnya sekitar satu hektar, dan sekitar 50 are di antaranya menyewa dari petani. Lahan itu dibagi Wirada menjadi 10 petak. Tujuannya agar tiap petak panennya bisa digilir selama setahun.
Dalam 60 hari, tanaman jagungnya memberikan hasil. Dia memanen 150 kilogram sekali panen. Wirada lalu menitipkan jagung itu di toko-toko sekitar Kota Mataram dan dia jual seharga Rp 1.500 per kilogram.
Dia pun membidik usaha ternak ayam. Pertimbangan Wirada tak hanya karena pasar daging ayam yang besar menyusul tumbuhnya pedagang kaki lima di Mataram, tetapi juga kotoran ayam bisa dijadikan pupuk organik guna memulihkan kesehatan dan struktur tanah yang jenuh oleh pupuk kimia dan pestisida.
Wirada mulai beternak 1.500 ayam, dan dalam tiga bulan memelihara, populasinya meningkat sekitar 10 persen. Kotoran ayam dia gunakan untuk memupuk tanah yang ditanami pepaya, kacang panjang, tomat, melon, kubis, dan sawi.
Tanggung jawab moral
Produk tanaman yang menggunakan pupuk organik dalam proses produksinya ternyata justru diburu konsumen. Oleh karena itulah, meski harus merogoh kocek untuk menyewa lahan seharga puluhan juta rupiah dan menambah biaya proses produksi, Wirada yakin bisa mendapatkan keuntungan yang memadai.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral, Wirada sengaja menyewa lahan untuk bercocok tanam yang tersebar di berbagai tempat di Mataram. Dengan begitu, dia juga berharap sistem bercocok tanamnya bisa ditiru para petani di sekitar lahan tersebut.
Misalnya, dari 50 are lahan, sekitar 40 are untuk tanaman padi dan 10 are lainnya ditanami sawi, kacang panjang, serta sayuran lainnya. Untuk memelihara tanaman tersebut, dia menggunakan pupuk organik.
Model manajemen usaha tani Wirada tersebut kemudian ditiru para petani di Mataram. Apalagi pangsa pasar sayuran seperti kacang panjang dan sawi relatif besar seiring dengan semakin banyaknya pengusaha yang membuka usaha kuliner di Mataram.
Hasil menjual sayuran itu menjadi pendapatan harian petani, sekaligus katup pengaman penghasilan mereka ketika komoditas produk pertanian lain tengah anjlok harganya.
Totalitas Wirada di bidang pertanian membuat dia menjadi guru dan penasihat bagi petani ataupun mahasiswa fakultas pertanian di Mataram. Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadya (P4S) yang didirikannya tahun 2006 menjadi ajang mahasiswa menimba ilmu sekaligus tempat diskusi serta tukar pikiran untuk petani dalam mengelola usaha taninya.
Setiap tahun sekitar 20 petani mengikuti pendidikan pelatihan di P4S. Menurut Wirada, ia menyesuaikan materi pembelajaran yang diberikan kepada petani dengan komoditas yang mereka tanam.
Di luar jam pelatihan itu, Wirada pun meladeni petani yang bertanya tentang apa pun seputar masalah pertanian lewat telepon genggam sekalipun. Dia juga meluangkan waktu untuk menyambangi petani sekaligus memberikan contoh menanam, seperti bagaimana mengatur jarak tanam, mengatur dosis pemupukan, dan penggunaan obat-obatan untuk mengatasi organisme pengganggu tanaman.
Budidaya bunga
Atas peran Wirada tersebut, Pemerintah Kota Mataram lalu menjadikannya sebagai Tenaga Penyuluh Swadaya tahun 2008. Peran itu diberikan setelah dia meraih predikat Petani Teladan Nasional tahun 2007. Tahun 2012, Wirada terpilih sebagai Penyuluh Swadaya Teladan Nasional.
Meski kerja kerasnya sudah mendapatkan pengakuan, Wirada tidak berhenti sampai di sini. Dalam dua tahun terakhir, misalnya, dia berusaha mengembangkan tanaman bunga potong, yaitu bunga marigold dan heliconia.
Untuk budidaya bunga marigold, Pemerintah Kota Mataram memberi Wirada areal seluas sekitar 30 are dengan sistem pinjam-pakai di daerah lingkar selatan Kota Mataram. Sementara untuk pengembangan tanaman heliconia, dia menyewa tanah yang berlokasi dekat eks Bandara Selaparang, Mataram.
Bagi Wirada, bertani menimbulkan keasyikan dan kepuasan tersendiri. ”Kalau kita bekerja dilandasi kesenangan, kekayaan (materi) akan datang dengan sendirinya,” ucapnya.
I Gede Wirada
♦ Lahir: Mataram, Nusa Tenggara Barat, 21 Januari 1972
♦ Istri: Putu Ayu Arminta
♦ Pendidikan:
- SDN 11 Mataram, lulus 1984
- SMPN 1 Mataram, 1987
- SMAN 2 Mataram, 1990
- Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Mataram, 1997
♦ Penghargaan:
- Petani Teladan Nasional, 2007
- Penyuluh Swadaya Teladan Nasional, 2012
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004463495
- Log in to post comments
- 150 reads