BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mendampingi Perajin Tenun Lombok

Linda Hamidy Grander
Mendampingi Perajin Tenun Lombok

Oleh: KHAERUL ANWAR 0 Komentar FacebookTwitter 

DIA ingin mendidik para perajin yang dengan keterampilan dan kekhasan produk kain tenun dan songketnya bisa mendapatkan pangsa pasar sekaligus mendongkrak kehidupan ekonomi mereka. Untuk itu perajin harus mau berinovasi dan bermitra dengan para desainer. Persandingan antara perajin dan desainer tersebut akan melahirkan produk berkualitas dan estetis guna merespons pangsa pasar secara positif.

Kain tenun dan songket umumnya hanya dipakai orang pada acara-acara adat. Saya lalu terpikir untuk mendesain busana dengan kain tenun dan songket sebagai bahan utamanya. Lalu mengombinasikan kain itu dengan warna yang serasi dan sedang tren di pasaran,” ujar Linda Hamidy (37), desainer sekaligus warga Jalan Ragi Genap, Ampenan, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Linda melihat kain tenun dan songket karya perajin di NTB bisa menembus pasar di dalam ataupun di luar negeri, terutama lewat produk busana. Kekhasan motif tenun dan songket etnik daerah tersebut dan mutu kain yang terjaga membuat orang melirik kain ini.

Apalagi jika kain bermotif etnik itu bisa dipadu dengan desain kontemporer, akan menghasilkan busana yang bernilai jual tinggi. Produk semacam itu bisa digunakan antara lain untuk membidik pasar kalangan eksekutif muda dan mereka yang suka tampil dengan gaya tersendiri.

Agar kain tenun dan songket lebih bernilai ekonomis, perajin harus berinovasi dan mengubah cara berpikir yang cenderung pragmatis. ”Contohnya, perajin merasa sudah puas membuat kain tenun yang biasa-biasa saja, yang penting laku dijual. Mereka tak berpikir untuk membuat tenun yang berbeda,” kata Linda, anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Kondisi itu membuat pemasaran kain tenun dan songket karya perajin di NTB bisa dikatakan stagnan.
Ini terjadi karena perajin relatif ”miskin” inovasi. Padahal, inovasi merupakan salah satu faktor penting untuk menembus pasar yang lebih luas.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, Linda memutuskan untuk blusukan ke sentra industri kerajinan tenun di Desa Pringgasela, Lombok Timur, dan Desa Sukarara, Lombok Tengah. Dia mengajak perajin melakukan pembaruan, bukan mengubah motif tenunan karena ada muatan filosofi dan budayanya, melainkan mengkreasikan bahan baku tenun.

Misalnya, tenunan yang dominan menggunakan benang kapas berwarna hitam dan putih diperkaya Linda dengan benang perak. Hasilnya, kain pun menjadikan produk yang berkesan lebih dekoratif dan tidak monoton.

Upaya mengubah sikap pragmatis para perajin bukan hal mudah,
bahkan Linda nyaris putus asa. Dia lalu mengubah pendekatan kepada perajin dengan lebih bersikap persuasif.

Ia menghabiskan waktu untuk berdialog dengan perajin, memberikan bantuan benang, dan membeli hasil tenunan mereka dengan harga lebih tinggi. Misalnya, selembar kain tenun yang biasa dijual seharga Rp 300.000 dibeli Linda Rp 350.000.

Untuk menarik minat konsumen yang lebih luas, Linda mengikuti berbagai lomba desain. Hasilnya, rancangan dia diperagakan dalam Lombok-Sumbawa Etnic Fashion tahun 2012, juga dalam Indonesia Fashion Week, Februari 2013.

Dia juga berhasil meraih Juara III untuk Busana Etnik Modern pada Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-31 Dekranas tahun 2011. Linda juga menjadi Juara II Busana Kreasi Daerah HUT Ke-32 Dekranas tahun 2012.
Perubahan nama jalan

Persinggungan Linda dengan tenun dan songket dimulai tahun 1980-an, sewaktu ada perubahan nama jalan di sekitar tempat tinggalnya. Jalan yang semula bernama Jalan Energi itu diganti namanya menjadi Jalan Ragi Genap.

Ragi Genap adalah nama motif kain tenun songket Sasak, Lombok. ”Sebagai orang Lombok, saya berusaha bertanya filosofi bentuk motif ragi genap (garis lurus, kotak-kotak), sehingga kalau ada orang yang bertanya, saya bisa jawab,” ujar anak pasangan Bing Hamidy dan Paulina ini.

Persinggungan Linda dengan desain dan dunia mode, khususnya yang berkaitan dengan tenun dan songket, melalui proses panjang. Ia meninggalkan bangku kelas II SMA Negeri I Mataram, mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat tahun 1993.

Dia lalu meneruskan pendidikan di Norfolk Senior High School, Nebraska, AS. Setelah tamat, tahun 1994 Linda pulang kampung. Dia lalu kuliah kepariwisataan di TAFE College, Queensland, Australia, karena tak diterima di sekolah kepariwisataan di Tanah Air.

Dua tahun Linda menyelesaikan kuliah. Dia lalu membantu mengelola perusahaan travel milik orangtuanya di Mataram. Di sini pun ia merasa tak betah. Dia memutuskan kembali belajar, kali ini pilihannya adalah desain dan fashion di Fashion Institute of Design and Merchandising (FIDM), San Francisco, California, AS. Ia tamat tahun 2001.
Kerajinan tangan

Saat berkuliah di AS, dia memperkenalkan tradisi kerajinan tangan Indonesia kepada teman-temannya. Pada waktu senggang, ia suka membuat tas berbahan baku kain batik dan tenun yang dibawanya dari Lombok. Selepas kuliah, Linda sempat membuat tas serta mengikuti pameran dan bazar di San Francisco, juga di Boise, Idaho. Produk itu dia namakan Bagcraft.

Ia bercerita, tahun 2008 Carolyn Michaelis, Miss Asian California 2005, memperagakan tas buatan Linda pada salah satu acara di San Francisco. Setelah itu pintu bisnis mulai terbuka baginya.

Bermodal hasil berjualan tas, ia membuka butik Rumah Tenun di Lombok tahun 2009. Produknya tak lagi hanya tas, tetapi juga wadah tisu, dompet, sampai sarung bantal. Dia juga mengembangkan produk busana perempuan untuk pesta, bekerja, dan bersantai.

Pilihan bisnis Linda sempat mendapat kritik dari sang bunda. ”Kalau kamu mau berbisnis tenun, pembelinya terbatas. Lalu siapa lagi yang mau membeli produkmu?” ujar Linda menirukan respons ibunya. Kritik itu justru dia anggap sebagai tantangan.

Kini produknya tak hanya dipasarkan di Lombok, tetapi juga dipesan berbagai pihak. Beberapa kedutaan besar Republik Indonesia memesan produknya. Secara rutin Linda juga mengirim pesanan dari Jakarta dan beberapa kota besar di Tanah Air. Tak menyebutkan omzet, setidaknya Linda mampu memberikan peluang kerja dan menambah penghasilan puluhan perajin di Lombok.

Linda Hamidy Granderu Lahir: Ampenan, Kota Mataram, Lombok, 12 November 1976u Suami: Farid Granderu Anak: Mosea James Grander

u Pendidikan:- SDK Antonius Ampenan, tamat tahun 1989- SMP Negeri 2 Mataram, tamat tahun 1993- SMA Negeri I Mataram, kelas I- Norfolk High School, Nebraska, Amerika Serikat, tamat tahun 1994- Gold Coast Institute of TAFE, Queensland, Australia, tahun 1995-1996- Fashion Institute of Design and Merchandising (FIDM) San Francisco, California, Amerika Serikat, tahun 2001
—————————————————————————
Linda Hamidy Grander
♦ Lahir: Ampenan, Kota Mataram, Lombok, 12 November 1976
♦ Suami: Farid Grander
♦ Anak: Mosea James Grander
♦ Pendidikan:
- SDK Antonius Ampenan, tamat tahun 1989
- SMP Negeri 2 Mataram, tamat tahun 1993
- SMA Negeri I Mataram, kelas I
- Norfolk High School, Nebraska, Amerika Serikat, tamat  tahun 1994
- Gold Coast  Institute of TAFE,  Queensland, Australia, tahun 1995-1996
- Fashion Institute of Design and Merchandising (FIDM) San Francisco, California, Amerika Serikat, tahun 2001

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004154657