BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Membangun dengan Hati

Papua
Membangun dengan Hati

DENGAN  bersemangat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengungkapkan betapa pemerintah telah berupaya memperhatikan Papua dan masyarakatnya.

Di depan para peserta rapat pembahasan tentang otonomi khusus di DPR, Senin lalu, Jero Wacik mengatakan, pihaknya tak hanya berhasil meminta British Petroleum (BP) Tangguh menyerahkan sebagian hasilnya untuk kebutuhan domestik, tetapi juga meminta mereka mengalirkan listrik ke kawasan Bintuni yang selama ini masih gelap.

Terhadap PT Freeport Indonesia, pemerintah pun meminta agar perusahaan tambang tersebut meningkatkan royaltinya. Semua itu, ujar Jero Wacik, merupakan bagian dari upaya pemerintah membangun Papua dengan hati. Ya dengan hati, sebagaimana dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2006 lalu.

Pendek kata, selama setengah hari pertemuan, yang juga dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman, serta Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Bambang Darmono, hati menjadi kata kunci.

Bahkan, terhadap peningkatan ancaman kekerasan bersenjata di wilayah itu, Jenderal Moeldoko menyatakan, TNI lebih banyak menahan diri. Ia justru menegaskan, pihaknya tidak pernah mendoktrin prajuritnya bahwa orang Papua adalah musuh. Meskipun ada persoalan separatisme, ancaman itu ditanggapi tidak lebih sebagai gangguan kriminal bersenjata. Polisi, menurut Sutarman, juga mengedepankan pendekatan persuasif daripada main senjata.
Miskin produksi

Akan tetapi, mengapa hingga saat ini, setelah 51 tahun berintegrasi, sebagian warga Papua masih merasa belum nyaman hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur Papua Lukas Enembe dengan jujur di forum itu mengatakan, meskipun triliunan rupiah telah digelontorkan dan aneka kebijakan diturunkan untuk Papua, nyatanya saat ini, 60 persen penduduk asli Papua masih hidup miskin.

”Berapa banyak pun uang yang terkirim, tetapi kalau harga-harga mahal, sama saja, tidak akan menjawab persoalan di Papua. Jadi, kami minta kegiatan produksi besar itu dihadirkan di Papua. Perusahaan apa saja, baik perusahaan asing maupun lokal. Jadi, harganya bisa diturunkan. Kalau semua produksi ada di Pulau Jawa, tingkat kemahalannya semakin naik,” tutur Enembe.

Meskipun setiap tahun lebih dari Rp 40 triliun dikucurkan ke Papua, sebagian besar kembali ke Jawa untuk belanja modal. ”Apa pun kebijakan pemerintah pusat, kalau tidak betul memahami Papua, ya tidak bisa. Keputusan presiden apa pun keluar, kalau tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, tidak bisa. Kalau direktur jenderal dan direkturnya tidak memahami, ya sama juga. Itulah sebabnya kami minta otonomi khusus plus,” kata Enembe menambahkan.

Untuk itu, ia mengharapkan, siapa pun yang terpilih menjadi presiden nanti, ia adalah pemimpin yang mengerti dan memahami Papua. ”Kalau dia tidak mengerti Papua dari awal bisa blunder ini. Dunia internasional juga akan bertanya, Papua mau dibawa ke mana? Kalau tidak serius, ya akan jadi preseden buruk bagi Indonesia,” ujar Enembe.

Kendati hati selalu disebut pemerintah untuk Papua, Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia Markus Haluk menilai senyatanya tidak pernah dirasakan rakyat Papua.

Aparat, ujarnya, tetap datang dengan senjata dan kaki. Pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, sekolah, dan puskesmas, masih belum mampu mendongkrak posisi dan menempatkan indeks pembangunan manusia di Papua lebih baik dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Sejak dulu, posisinya selalu terbawah. ”Hati hanya ada di mulut, tindakan tidak begitu” kata Markus Haluk.

Yang disebut pemerintah sebagai pembangunan, menurut Markus, justru memarjinalkan warga asli Papua. Kebijakan industrialisasi pertanian di Merauke dan pesisir Papua justru membuat masyarakat hukum adat kehilangan tanah ulayat mereka. Investasi industri tambang lebih banyak menguras harta Papua daripada membuat mereka semakin sejahtera. Masih sulit bagi warga Papua untuk dapat memahami bahwa semua yang dilakukan pemerintah tadi sungguh dengan hati.
(B Josie Susilo Hardianto)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005293618