BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Melestarikan Tanaman Lokal Manggarai

Menjaga Nusantara
Melestarikan Tanaman Lokal Manggarai

SUASANA hutan Solohana di Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, siang itu sepi. Sebuah mobil starwagon tua yang pada bagian belakangnya bertuliskan ”hutan untuk anak cucu” diparkir di depan jalan masuk hutan.

Memasuki kawasan hutan terdapat tanaman sengon, mahoni, dan beberapa jenis tanaman lokal yang sudah berusia 6-7 tahun. Mata air yang muncul di rerimbunan kawasan hutan terus mengalirkan air ke Sungai Solohana. Debit air dari mata air yang bisa mencapai 650 liter per detik itu telah menghidupi belut, udang, katak, dan ikan yang berkembang secara alami di sungai tersebut.

Di dalam hutan, paling tidak 15 orang sedang bekerja menghancurkan kotoran sapi kering yang kemudian dicampur dengan serbuk kayu. Campuran kedua bahan itu digunakan untuk media pembibitan pohon yang akan ditanam lagi di hutan tersebut. Tugas mereka sehari- hari juga menyiram bibit pohon di persemaian dan menyiangi rumput.

Mereka bekerja di bawah Yayasan Prundi (Predicator Unitatis Mundi, yang artinya satu untuk dan antara manusia, dan alam semesta). Prundi adalah sebuah badan usaha milik misionaris Serikat Sabda Allah wilayah Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat) yang bergerak di bidang kemanusiaan, lingkungan hidup, dan usaha ekonomi masyarakat kecil. Salah satu usahanya adalah menanam tanaman kayu lokal yang berkualitas di Manggarai yang terancam punah, salah satunya di hutan Solohana.

”Kerusakan lingkungan semakin parah, terjadi hampir setiap saat dan terus meluas, kami memberi perhatian ekstra di bidang lingkungan. Tahun 2008, kami tanam pohon sengon, mahoni, dan beberapa pohon lokal di wilayah Solohana ini seluas 10 hektar,” kata Direktur Yayasan Prundi Pastor Marsel Agot SVD di Labuan Bajo, pertengahan Oktober lalu.

Penanaman pohon itu dimulai sejak 1994 di Kabupaten Manggarai seluas 5 hektar, kemudian dilanjutkan di pesisir Pede, Manggarai Barat, seluas 6 hektar, dan terakhir di Solohana, Manggarai Barat, seluas 10 hektar. Penanaman ini dilakukan secara swadaya, tanpa dukungan pemerintah. Kegiatan ini semata-mata untuk mengajak masyarakat agar ikut menanam pohon sebanyak mungkin.

Kini, fokus utama Prundi adalah pemberdayaan dan pelestarian pohon-pohon lokal. Kayu lokal yang dikembangkan Prundi sebanyak 46 jenis. Kayu-kayu itu antara lain rumung, sejenis pohon yang sangat berkualitas untuk bahan bangunan. Kayu jenis ini seperti kayu ulin di Kalimantan, tetapi tidak mendapat perhatian dari pemerintah untuk dilestarikan. Bahan bangunan kayu berkualitas selama ini selalu didatangkan dari luar NTT.

Kayu lain yang juga berkualitas adalah kayu asung, nara, ngancar, kesi, munting, meni’i, air wana, ajang, dan kayu wol. Penamaan kayu-kayu itu oleh warga setempat dengan bahasa daerah Manggarai. Kayu munting, sesuai rencana, akan menjadi simbol Manggarai Raya karena kayu jenis ini hampir dengan mudah ditemukan di seluruh daratan Manggarai Raya, dengan kualitas yang hampir sama dan memiliki empat warna daun, yakni merah, kuning, coklat, dan putih.

Kayu munting memiliki lima jenis warna, yakni coklat, putih, hitam, kuning, dan hijau. Kayu ini sangat unik dan terancam punah. Karena itu, kelompok Prundi bekerja keras mengadakan anakan kayu munting, selain kayu lokal lain, dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada masyarakat.

Ribuan anakan kayu lokal termasuk jenis kayu, tetapi mirip tali yang tumbuh merambat sedang disemaikan. Di hutan itu bibit tanaman palem, salak, rambutan, mahoni, dan sengon tersemai rapi di samping pepohonan sengon dan mahoni yang sudah berusia 6-7 tahun.

Anakan tanaman lokal ini diperoleh di hutan-hutan di Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Sebagian disemaikan dengan cara distek, sebagian dari biji, dan sebagian lagi berupa anakan yang masih berusia 7-14 hari.
Dibagikan

Menjelang musim hujan, anakan tanaman tersebut dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat, termasuk pemerintah daerah setempat. Prundi tidak memungut uang, tetapi ketika tanaman itu mati karena kelalaian, warga akan dipungut ganti rugi, satu anakan pohon senilai Rp 50.000.

”Kami tidak punya lokasi lagi untuk menanam pohon. Jika kami tanam di lokasi orang, suatu ketika mereka akan babat atau lokasi itu dijadikan pemukiman penduduk, apalagi dijual kepada pengusaha. Karena itu, sebaiknya anakan tanaman ini dibagikan kepada masyarakat. Cita-citaku, suatu ketika semua hutan di Manggarai dipadati tanaman kayu lokal,” kata Marsel.

Selama ini masyarakat Flores cenderung menggunakan kayu bangunan yang didatangkan dari luar NTT, seperti Kalimantan dan Papua. Padahal, Flores yang luas wilayahnya 13.560 kilometer persegi itu sebenarnya memiliki kayu berkualitas, hanya saja jarang dibudidayakan.

Jika kayu-kayu lokal dibudidayakan, bukan hanya pendapatan petani meningkat, melainkan juga pendapatan asli daerah meningkat. Kayu lokal lebih tahan terhadap iklim dan cuaca, serta mudah dikenal masyarakat.

Hutan ini tidak hanya untuk pengembangan kayu lokal, tetapi juga menjadi pusat studi dan pembelajaran mahasiswa dan pelajar. Sejumlah peneliti setiap hari mampir di lokasi hutan Solohana sekadar mencari informasi soal hutan Manggarai.

Hutan tersebut juga menjadi tempat pembelajaran bagi karyawan Prundi yang bekerja di hutan itu dengan upah Rp 1,8 juta per bulan. Mereka adalah anak-anak muda lulusan sekolah menengah dan sebagian sedang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi pada sore hari.

Jan Jelandi (21), salah satu karyawan yang bekerja di hutan Solohana, mengatakan, ia tertarik bekerja mengembangkan hutan setempat. Ratusan orang yang bekerja membantu Marsel telah berhasil mengembangkan tanaman di sejumlah wilayah di Manggarai, khususnya jenis tanaman buah-buahan.

”Kami belajar di sini bagaimana mencintai lingkungan dan tanaman sekitar, terutama tanaman lokal. Selain menanam di tempat ini, saya juga menanam di lahan sendiri milik orangtua dengan metode dan cara yang sama. Namun, saya prioritaskan pada tanaman mangga, pisang, alpukat, sawo, dan nangka,” kata Jelandi.

Jenis tanaman buah-buahan ini sangat menguntungkan warga. Ketika tanaman ini berbuah, segera akan ditawarkan ke sejumlah hotel, rumah makan, dan restoran di Labuan Bajo. (KORNELIS KEWA AMA)




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010575231

Related-Area: