Seni Cadas
Maros, Panggung Baru Peradaban Indonesia di Dunia
SELAMA ini, para arkeolog dunia percaya, peradaban dunia mulai berkembang di Eropa dengan penemuan lukisan goa sederhana di Situs El Castillo, Spanyol, yang berumur 48.000 tahun. Namun, patron Eropa-sentris ini terpatahkan dengan terungkapnya usia lukisan goa di Maros, Sulawesi Selatan.
Sejak 1920-an, goa di Sulawesi mulai diteliti dua bersaudara asal Swiss, Fritz Sarasin dan Paul Sarasin. Namun, baru mulai 1950-an CHM Heeren-Palm mendeteksi keberadaan lukisan di dinding goa Situs Leang Pattae, Maros, Sulawesi Selatan.
Hampir delapan windu sesudah penemuan itu, tidak juga terungkap berapa usia lukisan-lukisan di dinding goa karst yang tersebar di Maros serta Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Padahal, di kawasan tersebut terdapat 93 goa dengan lukisan seni cadas (rock art) dari total 138 goa yang ada.
Pada 2011-2013, peneliti Pusat Arkeologi Nasional, Universitas Wollongong Australia, Universitas Griffith Australia, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, dan Balai Arkeologi Makassar bekerja sama meneliti secara intensif tujuh goa di Maros. Dari hasil penanggalan uranium-series, terungkap temuan luar biasa! Sebuah lukisan tangan terdeteksi berumur minimal 39.900 tahun, sebuah lukisan babi rusa berumur minimal 35.400, dan lukisan hewan yang diduga adalah babi berusia 35.700 tahun. Selain itu, ditemukan pula belasan lukisan tangan yang rata-rata berusia lebih dari 25.000 tahun.
Dari lukisan itu, terungkap jenis binatang yang pernah hidup 40.000-an tahun lalu, seperti babi rusa dan anoa yang merupakan mamalia endemik Pulau Sulawesi.
Adam Brumm, ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Universitas Wollongong, mengatakan, pengungkapan usia lukisan goa di Maros merupakan temuan yang sangat penting karena menguak misteri kehidupan manusia prasejarah di Indonesia periode 40.000-an tahun lalu. ”Penanggalan dengan uranium-series sangat akurat. Jika penanggalan karbon hanya bisa mendeteksi umur hingga 40.000-an tahun, penanggalan uranium-series bisa mendeteksi sampai 600.000-an tahun,” kata Adam di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, Kamis (9/10).
Sistem penanggalan uranium-series berbeda dengan C14 yang menggunakan karbon dalam penelusuran umur. Melalui metode ini, peneliti bisa mendeteksi umur lebih tepat dengan cara menghitung usia uranium yang terperangkap dalam kapur kalsit dinding goa. Penanggalan uranium-series ini dilakukan oleh Maxime Aubert, peneliti dari Unit Evolusi Peradaban dan Seni Cadas Universitas Griffith.
”Temuan ini merevisi anggapan selama ini bahwa lukisan goa tertua berasal dari Spanyol. Sekarang bisa dipastikan bahwa 40.000 tahun lalu manusia prasejarah sudah hadir di Nusantara,” ujar peneliti senior Balai Arkeologi Makassar, Budianto Hakim.
Setelah penemuan ini, para peneliti akan menelusuri jejak manusia prasejarah yang menciptakan lukisan-lukisan tersebut. Menurut Budianto, ekskavasi di dalam lantai goa untuk merekam lapisan-lapisan
budaya yang berkorelasi dengan lukisan tersebut sudah dilakukan. Namun, hingga sekarang belum ditemukan kerangka manusia yang berusia sama dengan lukisan-lukisan goa tersebut.
”Kami sempat menemukan gigi manusia. Namun, setelah diteliti, ternyata usianya baru sekitar 3.500 tahun dengan ras mongoloid. Kami masih menelusuri jejak manusia dengan usia 40.000-an tahun,” katanya.
Ke depan, temuan di Maros ini perlu ditindaklanjuti, apakah lukisan-lukisan goa yang ada juga berkaitan dengan lukisan-lukisan goa di pulau lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua. Penelusuran ini akan diharapkan bisa merangkai jembatan migrasi di antara pulau jika memang berasal dari periode yang sama.
Makna khusus
Ahli komunikasi visual dari Institut Teknologi Bandung, Pindi Setiawan, menangkap ada makna-makna tertentu dari keberadaan lukisan-lukisan goa di Maros serta Pangkajene dan Kepulauan. ”Dari pengamatan lukisan-lukisan goa, hanya 4 persen lukisan yang menggambarkan tentang mata pencarian sehari-hari. Di Eropa, ada lukisan goa bergambar bison dan ternyata masyarakat yang hidup saat itu tak memakan bison, tetapi memakan daging kambing karena ditemukan tulang belulang di sekitarnya. Artinya, gambar-gambar itu menunjukkan makna tertentu atau pencapaian tertentu,” tuturnya.
Hingga sekarang, di beberapa lingkungan masyarakat Bugis di Makassar, masih tersisa tradisi membuat lukisan tangan di dinding rumah yang mirip lukisan tangan di goa-goa. Menurut Budianto, lukisan tangan memiliki makna menolak bala. ”Lukisan itu berkaitan dengan harapan manusia agar terlindung dari bala atau sial,” ujarnya.
M Ramli, peneliti Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, mengatakan, seiring dengan perubahan lingkungan, kondisi lukisan-lukisan goa di Maros serta Pangkajene dan Kepulauan kini makin memprihatinkan. Banyak lukisan yang mulai terkelupas atau tertutup lelehan batu kapur.
Pelestarian warisan-warisan budaya tersebut kini tergantung dari stabilitas lingkungan sekitarnya. ”Lukisan-lukisan goa yang berada di dalam hutan kondisinya cenderung aman. Namun, lukisan-lukisan yang
di luar hutan semakin rusak. Agar tetap terlindung, dalam waktu dekat, tempat ini harus segera ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional,” katanya.
Selain karena perubahan kondisi lingkungan sekitar, seperti penebangan pohon, pembakaran sampah, dan pembuatan jalan raya, kerusakan lukisan-lukisan goa juga disebabkan makin maraknya penambangan marmer dan semen di kawasan karst Maros serta Pangkajene dan Kepulauan. Dari 80 izin penambangan yang ada, 40 izin di antaranya untuk tambang marmer dan semen.
Terlepas dari semuanya, arkeolog Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri, mengatakan, pengungkapan usia lukisan goa di Maros terbukti mematahkan dominasi Eropa-sentris tentang peradaban dunia selama ini. Maros akhirnya mengukuhkan Indonesia di panggung sejarah peradaban dunia. (Aloysius B Kurniawan)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009381430
-
- Log in to post comments
- 329 reads