Kesejahteraan dalam Impitan Politik
PEMBANGUNAN di Provinsi Gorontalo mendorong pertumbuhan ekonomi. Semua sektor, terutama perdagangan, menunjukkan pertumbuhan positif meski melambat. Memudarnya ikatan tradisional, ditambah tarik-menarik kepentingan elite politik, menyedot energi positif untuk berkembang.
Provinsi Gorontalo berada di poros tengah wilayah pertumbuhan ekonomi, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Batui di Sulawesi Tengah dan Manado-Bitung di Sulawesi Utara. Sisi utara Gorontalo berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi, yang merupakan pintu menuju Lautan Pasifik. Posisi ini membuka peluang pengembangan jalur perdagangan. Selain posisi, Gorontalo juga memiliki tanah yang kaya mineral, keanekaragaman hayati, keunikan dan keindahan taman lautnya, pulau-pulau dengan pasir putih, serta banyak sungai.
Namun, kondisi kekayaan alam Gorontalo belum sepenuhnya tecermin dalam kesejahteraan penduduknya. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tiga tahun terakhir stagnan di urutan ke-24 nasional. IPM 2012 memperlihatkan, dari enam kabupaten/kota, hanya Kota Gorontalo yang memiliki IPM di atas rata-rata nasional. Harapan hidup berkisar pada usia 60-an tahun dan rata-rata lama pendidikan tujuh tahun atau hanya tamat SD. Kondisi tersebut tidak berubah sejak tahun 2010.
Jumlah penduduk miskin pun meningkat. Data BPS memperlihatkan, pada Maret 2013 jumlah penduduk miskin di Gorontalo mencapai 17,51 persen dari total penduduk. Persentase ini meningkat menjadi 18,01 persen pada September 2013. Keadaan tersebut terjadi baik di desa maupun kota.
Struktur perekonomian Gorontalo terutama ditunjang sektor pertanian, yang pertumbuhannya cenderung melambat. Sektor ini sempat tumbuh lebih dari 27 persen (2008), tetapi tahun 2013 hanya tumbuh 5,9 persen dan memberikan kontribusi 1,63 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Gorontalo. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran berkontribusi 1,69 persen. Pertumbuhan tertinggi di sebagian besar sektor terjadi pada 2008-2009. Setelah itu pertumbuhan menurun.
Politik yang terbagi
Provinsi yang terbagi menjadi enam kabupaten dan kota ini terkenal sebagai ”daerah kuning” karena kerap dimenangi Golkar. Namun, warna kuning kini tidak lagi mendominasi karena separuh wilayah administratif di provinsi tersebut (Kabupaten Gorontalo Utara, Bone Bolango, dan Kabupaten Gorontalo) kini dikepalai oleh orang non-Golkar.
Perseteruan antarkader partai menjadi salah satu penyebab yang menurunkan soliditas basis massa Golkar. Konflik ini sempat membuat Golkar kehilangan banyak kursi dalam pemilu. Suara Golkar turun dari 53 persen pada Pemilu 2004 menjadi 30 persen pada Pemilu 2009. Golkar yang tadinya menguasai semua wilayah harus berbagi dengan Demokrat. Suaranya juga digerogoti Partai Hanura yang memperoleh 11,91 persen pada Pemilu 2009.
Perkembangan demokrasi telah meretas ikatan-ikatan politik tradisional. Dalam sistem tradisional, pemegang jabatan pemerintah perlu mendapat legitimasi dari pemangku adat. Sosiolog dari Universitas Negeri Gorontalo, Alim S Niode, mengatakan, ”Pada masa kerajaan, pemimpin (raja) dianggap sebagai utusan Tuhan. Oleh karena itu, perintah para pejabat seakan tak terbantahkan. Masyarakat cenderung mengikuti.”
Kini, eksistensi kekuatan adat hanya sebatas seremoni penerimaan pejabat, tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol para pemangku jabatan resmi. Meskipun demikian, nilai-nilai kepatuhan terhadap pemimpin tampaknya coba tetap dipertahankan elite pemegang kekuasaan dengan tidak membuka saluran-saluran kritik. Tidak mengherankan jika menurut Indeks Tata Kelola Pemerintahan, arena birokrasi dinilai masih sangat buruk. Hal tersebut berkaitan dengan minimnya unit pelayanan pengaduan masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Masyarakat pun sulit mengakses regulasi investasi.
Indeks demokrasi 2010 menunjukkan peran DPRD masih sangat terbatas, tidak ada perda dari hak inisiatif DPRD, dan kaderisasi parpol belum optimal. ”Bahkan, Sekretaris Dewan DPRD Kabupaten Gorontalo menyatakan APBD bukan data publik,” ungkap Koordinator Program Pengembangan Manajemen Organisasi WIRE-G Sri Wahyuningsih Hunowu.
Situasi saat ini yang dirasakan warga adalah mohimia (iri) dan tutuhia (menginjak yang di bawah dan berusaha mencungkil yang di atas). Semangat mohuyula (kerja sama) tinggal tersisa di desa. Di antara elite politik sulit ditemukan semangat satu keluarga besar Gorontalo.
Di tengah kehidupan ekonomi dan politik Gorontalo cenderung berjalan di tempat dan konflik politik yang menguras energi, sejumlah indikator kesejahteraan menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Indeks tata kelola pemerintahan Gorontalo masih belum memuaskan, berada di posisi 5,64, lebih rendah dari kisaran Indonesia 5,7. Nilai ideal adalah 8.
Di bidang kesehatan, angka kematian ibu, anak balita, dan bayi yang semula dapat ditekan meningkat kembali pada tahun 2011 dan 2012. Diare masih menjadi penyakit utama sekalipun persentasenya dapat ditekan. Akses air bersih belum merata. Jumlah tenaga medis masih terbatas, bahkan cenderung menurun. Lebih dari 60 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas berpendidikan SD ke bawah.
Inilah tantangan-tantangan politik kebijakan ke depan, mengembalikan kejayaan Gorontalo pada masa lalu.
(LITBANG KOMPAS/F Istiyatminingsih)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005110853
-
- Log in to post comments
- 490 reads