Kesejahteraan Belum Tampak
PEMEKARAN sebuah wilayah diyakini membawa perubahan positif bagi wilayah yang dimekarkan. Meskipun demikian, rumusan ideal tersebut tampaknya masih sulit terwujud di Papua Barat.
Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, yang kemudian disebut Papua Barat, telah berlangsung lebih dari satu dekade. Saat pemekaran disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003, wilayah ini terdiri dari tiga kabupaten, yakni Kabupaten Fakfak, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Sorong. Kini, provinsi Papua Barat telah terbagi dalam 11 kabupaten dan kota.
Pembangunan infrastruktur jalan ikut menandai ”buah manis” pemekaran. Indikator lain adalah angka produk domestik regional bruto (PDRB) yang terus meningkat. Data di laman Badan Pusat Statistik Papua Barat menunjukkan, PDRB atas dasar harga berlaku provinsi ini pada 2013 tercatat Rp 50.908,73 miliar naik dari 2012 yang Rp 23.105,32 miliar. Proporsi perolehan terbesar adalah produk minyak dan gas, terutama industri pengolahan gas alam cair (54,27 persen), serta sektor pertanian dan hasil hutan (11,65 persen).
Minim kesejahteraan
Tujuan ”mulia” pemekaran yang selalu didengungkan adalah mengalihkan kontrol atas administrasi pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam ke tangan pemerintah lokal kabupaten/kota. Kendali di tangan pemerintahan lokal dinilai akan mendekatkan pusat pelayanan umum dan mempercepat kesejahteraan masyarakat.
Namun, beberapa indikator tampaknya menggambarkan hal sebaliknya. Dengan pendapatan daerah yang cukup besar tersebut, pemerintah lokal belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan warganya. BPS Papua Barat mencatat, meskipun persentase penduduk miskin di Papua Barat semakin turun dari tahun ke tahun, proporsinya masih besar.
Dengan jumlah penduduk 760.422 jiwa, proporsi penduduk miskin hingga September 2013 masih 27,14 persen. Jika dibandingkan dengan kondisi nasional (11,37 persen), Papua Barat berada di peringkat kedua terendah dari 33 provinsi.
Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat pun hanya 70,22 pada 2012, termasuk yang terendah secara nasional, yakni peringkat ke-29 dari 33 provinsi.
Media lokal menunjukkan realitas yang terjadi di masyarakat Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw. Di distrik ini terdapat puluhan warga dari tiga kampung (Koosefo, Batde, Jokbijoker) menderita sakit lama dan berisiko meninggal sejak akhir 2012.
”Ada 22 rumah yang anggota keluarganya sakit. Satu rumah dihuni 2-3 keluarga,” ujar Anis Mambrasar, warga Tambrauw, yang ditemui di Sorong pada Oktober 2013.
Kondisi pendidikan tak berbeda jauh. Data BPS menunjukkan, Angka Partisipasi Murni (APM) siswa sekolah dasar pada 2012 mencapai 88,97, APM tingkat sekolah menengah atas semakin turun menjadi 46,46, dan APM perguruan tinggi hanya 15,75 persen. APM Papua Barat ini masih di bawah angka nasional.
Angka-angka tersebut menunjukkan cita-cita pemekaran masih jauh panggang dari api.
Saat pemekaran terjadi, yang bermunculan adalah barisan elite lokal yang bertarung memperebutkan kontrol atas sumber-sumber ekonomi dan melibatkan identitas lokal. Akibatnya, potensi tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sangat tinggi.
Kasus korupsi 44 anggota DPRD Papua Barat adalah bukti paling aktual. Ini terjadi karena sirkulasi kekuasaan politik dan ekonomi sangat terbatas. Kontestasi politik seperti pilkada atau pemilu menjadi arena untuk merebut atau mempertahankan sirkulasi yang terbatas itu.
(BI Purwantari/Litbang Kompas)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005270254
- Log in to post comments
- 380 reads