BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kampung Tablolong Kembali Berdenyut

ESEJAHTERAAN DAERAH
Kampung Tablolong Kembali Berdenyut
FRANS SARONG
Ikon konten premium Cetak | 15 Juni 2015

KOMPAS/FRANS SARONGPantai Tablolong, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, beberapa saat lalu. Sekelompok warga berwajah ceria sibuk memindahkan panenan baru rumput laut dari sampan ke para-para (tenda) di sekitar bibir pantai untuk proses penjemuran. Setelah sekarat selama kurang lebih tiga tahun akibat pencemaran dan menyusul ledakan kilang minyak Montara di utara Australia, 21 Agustus 2009, usaha itu belakangan berangsur pulih di Tablolong dan perkampungan nelayan lainnya di NTT.

Mereka dengan berbagai kesibukannya itu adalah para nelayan Kampung Tablolong di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tablolong terletak sekitar 30 kilometer sebelah barat Kota Kupang.

Pemandangan yang disaksikan, beberapa waktu lalu. itu saja menarik perhatian karena perkampungan di bibir pantai itu sempat mati suri selama sekitar tiga tahun sejak 2010. Budidaya rumput laut yang sejak akhir tahun 1990-an menjadi sandaran utama ekonomi keluarga, tidak berkembang hingga nyaris rontok. Kondisi itu terjadi menyusul ledakan kilang minyak Montara di perairan laut bagian utara Australia pada 21 Agustus 2009.

Ledakan minyak bercampur gas mencemari kawasan Laut Timor hingga wilayah NTT. Salah satu dampaknya adalah hancurnya tanaman rumput laut yang dibudidayakan secara luas oleh para nelayan di NTT, termasuk Tablolong.

Pencemaran selain membuat ikan-ikan menghilang, rumput laut pun terserang penyakit yang dikenal bernama ais-ais. Bentuknya berupa bintik-bintik pada batang tanaman. Tak lama setelah itu, tanaman hancur hingga panenan anjlok. Sebagai contoh, panenan rumput laut Tablolong yang biasanya 400-500 ton per tahun, pada tahun 2010 hanya sekitar 200 ton. Bahkan, tahun 2011 hanya sekitar 3 ton.

Catatan itu menegaskan betapa ledakan kilang minyak Montara sungguh menjadi bencana hebat bagi nelayan Tablolong dan nelayan lain di NTT. Sejumlah nelayan di Tablolong, yakni Erif Keo (53), Ilam Hoan (63), Nitnael Nale (43), dan Idris Hoan (46), mengemukakan, menyusul ledakan kilang minyak Montara, usaha rumput laut di kampung mereka praktis sekarat. Tanaman yang merupakan sumber daya hayati kelompok vegetasi alga atau ganggang umumnya, terkena bintik-bintik dan hancur.

"Ledakan Montara sungguh merupakan bencana mengerikan bagi kami," kenang Erif Keo, ketika sedang menaruh rumput laut basah di atas para-para di Pantai Tablolong.

Membaik

Belakangan atau sejak dua tahun lalu, budidaya rumput laut di Tablolong berangsur pulih. Hama ais-ais tidak lagi menghinggap. Tanaman kembali tumbuh normal dan hasil panen pun terus beranjak naik. Namun tidak ada yang mengetahui apa penyebabnya, karena pasti pencemaran laut yang merugikan tidak dibarengi upaya pemulihan. Para nelayan hanya menduga serangan menghilang, setelah dampak pencemaran melemah dengan sendirinya.

Seperti diakui Nitnael Nale, belakangan ini hasil panennya kembali membaik seperti dulu. Dari 10-15 tali tanaman bisa menghasilkan 1 ton rumput laut basah. Itu berarti dari 60 tali tanaman yang dimilikinya bisa dihasilkan sekitar 5 ton basah per 45 hari. "Kalau lima ton basah bisa menghasilkan sekitar 1 ton rumput laut kering," ucap ayah tiga anak itu.

Didukung pasaran yang terus bagus, perairan laut di depan perkampung nelayan Tablolong kembali dipadati jaringan tali gantungan tanaman rumput laut. Saat ini, satu kilogram rumput laut kering dihargai Rp 7.000 per kilogram (kg), langsung di Tablo-long. Uniknya, karakter pasar ternyata berbeda dengan komoditas lain, yang harganya cenderung turun kalau panenan melimpah. Rumput laut justru terbalik, harganya cenderung naik saat stok melimpah.

"Kondisi ini yang membuat kami semakin bergairah membudidayakan rumput laut. Kebetulan laut sangat mendukung, hingga 272 nelayan di Tablolong hampir-hampir tidak lagi mencari ikan," tutur Idris Hoan yang memiliki 80 tali rumput laut.

Sebenarnya, mulai membaiknya budidaya rumput laut di Tablolong, juga karena para nelayan mengganti jenis benih. Sejak lama mereka menggunakan benih jenis cottoni. Rumput laut dari jenis benih ini harganya mencapai Rp 11.000 per kg kering, jauh lebih mahal dari jenis spinosum seharga Rp 7.000 per kg kering.

Meskipun begitu, para nelayan ternyata lebih memilih jenis spinosum karena bandel terhadap serangan berbagai jenis hama. Sebaliknya, jenis cottoni tidak menjadi pilihan utama, karena mudah terserang hama hingga panenan selalu anjlok.

Kawasan Pantai Tablolong sebenarnya termasuk salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Kupang. Daya tariknya pada garis pantai yang rata-rata berpasir putih. Perairan laut yang tenang, seakan danau raksasa dalam kepungan Pulau Semau dan daratan ujung barat Timor bagian NTT.

Berada di kawasan pantai itu kini nyaris tanpa kesan sebagai tempat rekreasi. Sejumlah bangunan peneduhnya terbengkalai. Sebagian malah sudah koyak tanpa atap. Bahkan di sekitar gerbang masuknya tanpa penunggu yang biasa menyodorkan pas masuk.

Sebaliknya, kawasan Pantai Tablolong lebih dominan menjadi ladang rumput laut. Para-para atau tenda tempat menjemur rumput laut, bertebaran hampir di sepanjang bibir pantai. Laut di depannya seakan berhiaskan ribuan bekas kemasan air mineral berukuran besar sebagai pelampung tali rumput laut.

Ratusan nelayan juga hampir tak pernah lepas dari berbagai kesibukan yang berhubungan dengan rumput laut. Potret yang berhubungan dengan budidaya itu adalah penegasan kalau perkampungan nelayan Tablolong kini kembali berdenyut. Salah satu wujud doa para nelayan kini adalah agar ledakan kilang minyak tidak terulang.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/06/15/Kampung-Tablolong-Kembali-Berdenyut

Related-Area: