BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kakao Organik Prospektif

Kakao Organik Prospektif
Produksi Bisa 3,5 Ton Per Hektar

BANTAENG, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, terus mengembangkan kakao organik dan peremajaan tanaman tersebut untuk meningkatkan produktivitas. Peremajaan dengan cara sambung itu sudah bisa menghasilkan produksi hingga 3,5 ton per hektar.

Pengembangan kakao di Kabupaten Bantaeng bahkan membuat Jepang tertarik. Saat ini, sejumlah tim pendamping petani yang berasal dari Universitas Hasanuddin berada di Jepang untuk mempresentasikan hal tersebut.

”Untuk kakao organik sudah kami kembangkan di sejumlah kecamatan, di antaranya Kecamatan Gantarang Keke, Tompo Bulu, dan beberapa lainnya. Untuk pupuk, kami menggunakan pupuk kompos yang berasal dari kulit dan daun kakao. Hasilnya cukup signifikan berpengaruh pada produksi kakao,” kata Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Jumat (7/11).

Pengembangan kakao organik dilakukan hampir bersamaan dengan peremajaan kakao dengan cara sambung samping dan sebagian dengan mengganti dengan tanaman baru. Hasilnya, produktivitas kakao yang sebelumnya 200-300 kilogram per hektar saat ini sudah bisa 3-3,5 ton per hektar.

”Memang belum semua petani melakukan peremajaan dan penanaman dengan cara organik. Tetapi dari beberapa kecamatan yang sudah jalan, cara ini cukup berhasil dan akan kami teruskan ke semua sentra pertanaman kakao,” kata Nurdin.

H Syamsuddin (45), salah seorang petani kakao di Kecamatan Gantarang Keke, mengatakan, peremajaan dengan cara sambung samping mulai dilakukan pada 2010. ”Hasilnya memang terus meningkat. Dulu 1 hektar kakao hasilnya paling tinggi hanya 400 kilogram. Sekarang sudah di atas 2,5 ton per hektar. Banyak yang lebih tinggi dari itu. Saat ini kami juga pakai pupuk kompos dari kulit dan daun kakao dan ternyata hasilnya lebih bagus,” katanya.

Saat memulai program ini tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Bantaeng menganggarkan hingga Rp 5 miliar per tahun hingga 2013 untuk peremajaan kakao. Selain untuk entris (bakal tunas yang ditempelkan di pohon induk untuk kebutuhan sambung samping), dana itu juga digunakan untuk subsidi biaya hidup petani. Subsidi diberikan hingga tanaman kakao yang diremajakan bisa menghasilkan.

”Saat ini anggaran sudah kami kurangi untuk dialihkan ke komoditas lainnya. Tetapi program peremajaan tidak berhenti, malah kami bekerja sama melibatkan tenaga-tenaga ahli dari Unhas untuk pendampingan dan edukasi kepada petani, terutama yang belum melakukan peremajaan dan penanaman organik,” kata Nurdin.

Hasilnya, saat ini petani sudah bisa membuat entris sendiri dan mereka sudah lebih berminat untuk meremajakan tanaman mereka, termasuk dengan menggunakan pupuk organik. Target Pemkab Bantaeng, semua areal pertanaman kakao bisa diremajakan dan menggunakan pupuk organik. ”Dengan kakao organik, produksi petani bisa lebih bersaing untuk ekspor,” kata Nurdin.

Saat ini, Pemkab Bantaeng juga menganggarkan hingga Rp 1 miliar per tahun untuk penelitian dan pendampingan yang melibatkan tenaga ahli dari Unhas. Pemkab Bantaeng juga menganggarkan hingga Rp 700 juta untuk membantu petani menghasilkan entris.
Diekspor

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bantaeng, terdapat paling tidak 9.000 hektar areal tanaman kakao di Bantaeng. Dari luasan itu, seluas 5.000 hektar masih berproduksi 300-600 kilogram per hektar, selebihnya sudah bisa mencapai 1-3,5 ton per hektar.

Selama ini produksi kakao Bantaeng diekspor dan sebagian untuk keperluan industri kakao dalam negeri.

Terkait pengembangan kakao, Pemerintah Provinsi Sulsel juga memprogramkan penghijauan dan pemanfaatan lahan kritis dengan penanaman kakao. ”Kami memanfaatkan lahan kritis dengan menanami kakao. Jadi, selain berfungsi penghijauan, penanaman kakao juga akan memiliki nilai ekonomis. Ini akan dilakukan di semua wilayah yang potensial untuk penanaman kakao,” kata Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo.

Pemkab Bantaeng terus melakukan inovasi di bidang pertanian. Berbagai jenis tanaman buah dikembangkan di daerah ini, bahkan yang sebelumnya dianggap tak bisa dikembangkan. Tanaman yang dikembangkan antara lain durian hasil perkawinan lokal dan benih dari sejumlah daerah, stroberi, hingga bunga sakura dari Jepang. Bahkan, daerah ini juga mengembangkan talas jepang yang hasilnya sudah diekspor ke Jepang. (REN)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009961262

Related-Area: