BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Jenggik Utara Bangga Jadi Desa TKI

Tenaga kerja indonesia
Jenggik Utara Bangga Jadi Desa TKI

”SELAMAT Datang di Desa TKI, Jenggik Utara”. Tulisan itu terpampang di perempatan jalan, sekitar 100 meter dari Kantor Desa Jenggik Utara, Kecamatan Kembang Kuning, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. ”Desa ini adalah sentra buruh migran,” ujar Kepala Desa Jenggik Utara Hariadi, pekan lalu.

Sebutan sebagai desa tenaga kerja Indonesia itu diresmikan pada 26 Mei 2014. Peresmian itu dihadiri antara lain Gubernur NTB Zainul Majdi dan Bupati Lombok Timur Ali bin Dahlan.

Hariadi tak malu atas julukan itu. Ia tahun 1992-1995 menjadi TKI pula. Enam dari delapan dusun di desa itu juga dipimpin oleh mantan TKI yang pernah bekerja di Malaysia. Anggota staf di desa itu pun sebagian besar adalah mantan buruh migran. Kepala urusan ketenteraman dan ketertiban desa pun diserahi tugas perbantuan mengurusi keperluan TKI, dari proses pemberangkatan, penempatan dan pemulangan, bekerja sama dengan lembaga sosial desa (LSD).

Dari 1.147 keluarga di desa itu, 634 orang adalah mantan TKI. Yang kini masih mengadu nasib sebagai TKI, terutama di Malaysia, sejumlah 482 orang. Bukti lain terindikasi dari rumah yang rata-rata berkonstruksi permanen berlantaikan keramik. Rumah di pinggir jalan biasanya dilengkapi kios dan pemiliknya pasti mantan TKI.

”Lima belas tahun lalu hanya ada satu kios di pinggir jalan, tetapi sekarang lebih dari 50 kios yang menjual pakaian atau bahan pangan,” kata Fauzi, aktivis Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) di Desa Jenggik Utara.

Keberhasilan itu jadi pendorong warga mengadu nasib
sebab di desa seluas 4,56 kilometer persegi itu hanya 30 persen wilayahnya yang berupa sawah. Namun, dan kebanyakan warga desa itu menjadi buruh tani.

Upah buruh tani rendah, Rp 20.000-Rp 25.000 per hari dengan jam kerja dari pukul 07.00-12.00. Atau menjadi petambang batu apung yang harga jualnya Rp 3.000 per karung, sekitar 40 kilogram. Maksimal mereka mengumpulkan tiga karung sehari. Dari total penjualan itu, petambang kebagian 50 persen dan separuhnya lagi untuk pemilik lahan.

Karena itu, menjadi TKI dinilai menjadi jalan memperbaiki hidup. Tak sedikit warga yang gagal berangkat karena ditipu calo dan perusahaan pengerah jasa TKI. Selain itu, banyak pula yang tak menikmati upahnya, sepulang dari luar negeri, karena uang kirimannya (remittance) dipakai oleh keluarganya untuk keperluan konsumtif.
Pendampingan

Aparat Desa Jenggik Utara pun melakukan pendampingan bagi calon TKI, mulai sebelum pemberangkatan dengan dibantu oleh ADBMI dan LSD. Calon TKI dianjurkan memilih PJTKI resmi, memahami job order, upah menurut segmen kerja, serta melengkapi dan menuntaskan persyaratan administrasi sebelum diberangkatkan. Mereka diberi nomor telepon contact person jika mengalami persoalan di tempat kerja.

TKI dari desa itu diingatkan pula untuk menyisihkan upahnya sebagai bekal hidup dan tak konsumtif. Sebagian dikirimkan ke keluarganya di desa, yang juga dipersiapkan melalui pelatihan untuk menghitung kebutuhan hidup sehari-hari, biaya pendidikan anak, membuka usaha, dan menabung.

Keluarga mantan TKI juga diminta memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam desanya untuk kegiatan ekonomi produktif, seperti usaha kerajinan berbahan bambu. Apalagi desa itu dikenal sebagai penghasil bambu yang jika diolah mempunyai daya ungkit ekonomi bagi warga. Hal ini dibuktikan oleh Zaenal Arifin (22), yang menekuni usaha kerajinan bambu setelah gagal mengadu nasib sebagai buruh perkebunan kelapa sawit di Perak, Malaysia.

Selama 15 bulan di Malaysia sejak 2011, lulusan madrasah aliyah itu hanya membawa pulang uang sekitar Rp 250.000. Keterampilan menganyam bambu justru mengubah kehidupannya. Awalnya, istrinya, Husdiana, mendapat pinjaman modal usaha dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat sebesar Rp 1 juta. Pinjaman itu dikembalikan setahun dengan cicilan Rp 105.000 sebulan, termasuk bunga 2 persen.

Modal itu dipakai membeli bambu apus seharga Rp 15.000 per batang dan dibuat kerajinan, seperti keranjang. ”Soal permintaan, asalkan kuat kerja, berapa pun jumlahnya pasti dibeli,” ujar Zaenal. Ia kini hidup dari bambu. (khaerul anwar)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009785562

Related-Area: