BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Jayawijaya: Anggaran minim, partisipasi sekolah tinggi

Kasus gizi buruk dan campak di Asmat Papua, yang ramai menjadi perbincangan sejak beberapa bulan lalu, membuat pilu masyarakat Indonesia. Tragedi kesehatan itu pun menyingkap beragam soal di Papua, misal pendidikan.

Soal pendidikan di Papua sebenarnya sudah lama menjadi sorotan. Kisah Teo, bocah asal Kampung Poumako, Mimika, mewakili kondisi pendidikan di Papua di mata internasional sejak 2015. Potret bocah sembilan tahun ini tergambar dalam laporan tahunan lembaga donor internasional Unicef 2015.

Teo sering bolos sekolah karena harus bekerja di pelabuhan besar, beberapa kilometer dari kampungnya. Anak-anak seperti Teo bisa memperoleh sedikit tambahan rupiah melalui bongkar muat barang ke kapal-kapal yang berlabuh di sana.

"Anak-anak di sini lebih mengenal palu dan sekop daripada pensil dan buku," tulis Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer Unicef.

Teo menjadi gambaran kecil mutu pendidikan di Papua yang begitu kompleks. Tak hanya keadaan ekonomi seperti Teo, kendala pendidikan di Papua seringkali dikaitkan dengan kondisi geografis, kualitas, dan kehadiran guru seperti dalam film Di Timur Matahari, sampai anggaran pendidikan.

Dari sisi alokasi anggaran, berdasarkan data yang diolah Lokadata Beritagar.id, Papua termasuk "irit" mengalokasikan APBD untuk pendidikan dibandingkan dengan provinsi lainnya. Alokasi APBD untuk pendidikan provinsi Papua hanya 1,4 persen pada 2016.

Sebenarnya sejumlah daerah lain juga mengalokasikan anggaran pendidikan kurang dari 20 persen dari APBD meski telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Praktik alokasi pendidikan di berbagai daerah itu pernah disentil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy. "Kalau mau jujur pemerintah daerah melanggar Undang-Undang semua," kata Muhadjir (h/t Kompas.com, 23 Agustus 2017)

Di Papua, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 336.644 siswa SD dan 94.897 siswa SMA pada tahun ajaran 2013/2014. Sepintas, angka itu tampak menjanjikan tetapi fakta yang ada di lapangan jauh dari sekadar angka.

Realitas kondisi pendidikan di Papua tidaklah sebaik atau seindah yang ditampilkan dalam data statistik. Begitu kata Bambang Purwoko, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam makalah Refleksi Kritis Kondisi Pendidikan di Papua.

Bambang menggambarkan data statistik pendidikan di Papua sebagai suatu foto yang disunting (edit), lebih indah dari aslinya. Misalnya, rasio guru terhadap murid yang di atas kertas terlihat bagus. Kenyataannya, banyak murid di Papua yang tidak bisa bersekolah karena tak ada guru.

Contoh lain adalah persentase jumlah masyarakat penyandang buta aksara yang jauh lebih banyak dibandingkan data statistik. Selain itu, tingkatan pendidikan pun belum tentu mencerminkan penguasaan dan penyerapan materi pelajaran yang sesuai dengan standar umum pendidikan nasional.

Bambang dalam rekomendasinya menyatakan perlunya penguatan kapasitas individu pejabat pengelola pendidikan, organisasi, serta sistem. Penguatan kapasitas sistem itu meliputi peraturan daerah, kurikulum, dan anggaran.

Anggaran dana pendidikan di luar gaji dan biaya pendidikan kedinasan minimal dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD. Dalam kenyataannya, cukup banyak daerah masih mengalokasikan jauh di bawah itu dalam APBD-nya.

Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Daryanto, dilansir laman Kemdikbud, mengatakan alokasi anggaran pendidikan masih minim karena jumlah pendapatan asli daerah yang masih kecil serta komitmen untuk memenuhi alokasi 20 persen anggaran pendidikan.

Lalu, bagaimana anggaran di kabupaten/kota yang ada di Papua? Kota Jayapura merupakan daerah yang paling besar (15 persen) mengalokasikan anggaran daerahnya untuk pendidikan. Partisipasi sekolah (APS) pun hampir seratus persen.

Anggaran paling minim untuk pendidikan berada di Kabupaten Jayawijaya. Meski demikian, angka partisipasi sekolah di Jayawijaya justru berada di atas Kabupaten Puncak yang menempati posisi buncit.

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Percepatan pembangunan meliputi bidang kesehatan dan pendidikan, pengembangan ekonomi lokal, infrastruktur dasar, infrastruktur digital, serta konektivitas.

Presiden menginstruksikan mendikbud, menteri agama, serta menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi mempercepat peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan. Percepatan dilakukan melalui penerapan dan penguatan sekolah berpola asrama dan pengembangan pendidikan vokasi.

Langkah lainnya adalah pemberantasan tuna aksara dan penerapan pendidikan kurikulum kontekstual Papua; penyediaan tambahan kuota guru untuk pemenuhan kekurangan guru dan pemberdayaan Kolese Pendidikan Guru; dan peningkatan kualitas guru dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Sebelumnya pemerintah telah menggagas Program Guru Garis Depan (GGD) untuk mengatasi persoalan pendidikan di Papua. Tujuannya adalah pemerataan pelayanan pendidikan di seluruh Indonesia melalui distribusi tenaga pendidik.

Melalui program GGD, pemerintah mengalokasikan 3.500 guru yang ditempatkan di Papua, Papua Barat, Aceh dan Maluku. Mereka akan menggantikan guru lulusan SMP dan SMA yang masih tersebar di berbagai wilayah pedalaman. Status mereka adalah Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pemerintah daerah setempat, bukan terdaftar di kemendikbud.

Program GGD tak serta merta disambut positif oleh pemerintah daerah karena anggaran gaji para guru tersebut diambil dari dana alokasi khusus (DAK) setiap daerah. Beberapa daerah pun meminta agar program ini memprioritaskan guru yang merupakan putra daerah atau guru honorer di wilayah tersebut. Mendikbud Muhadjir mengatakan pemerintah akan merevisi program GGD ini.

Khusus untuk Papua, selain program GGD, pemerintah juga melanjutkan program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem). Program ini memberikan kesempatan kepada anak Papua dan Papua Barat untuk melanjutkan pendidikan di sejumlah daerah seperti Jawa dan Bali.

Program ADEM bergulir sejak 2013. Sebanyak 1.304 anak Papua telah menimba ilmu di tingkat SMA atau SMK di Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Bali. Untuk program ADEM 2015, tercatat 505 anak Papua menempuh pendidikan SMA dan SMK di enam provinsi tersebut.

 

Sumber: https://beritagar.id/artikel/berita/anggaran-pendidikan-di-jayawijaya-minim-tapi-partisipasi-sekolah-tinggi

Related-Area: