TANAH Maluku yang membentang sepanjang tepian Pacific, dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, baik sektor pertambangan terutama perikanan dan kelautan, maupun sektor lain seperti minyak bumi dan kehutanan.
Asumsi hukum alam, “negeri kaya rakyatnya sejahtera” ternyata hingga puluhan tahun kemudian tidak terbukti.
Kekayaan Tanah Maluku yang dibesar-besarkan ternyata hanya sebatas kebanggaan semu. Nyatanya sumber daya alam yang melimpah tersebut setelah dieksploitasi hanya sedikit yang kembali ke daerah.
Senyatanya persentase kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan infrastruktur adalah fakta yang membentang dari ujung Halmahera sampai tenggara jauh hingga hari-hari ini.
Kebijakan pemerintahan yang sentralistik menyebabkan posisi tawar pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alamnya sangat rendah.
Ironis memang, dibalik kebesaran sejarah, budaya dan kelimpahan sumber daya Alam, Tanah Maluku tetaplah catatan panjang tentang keterbelakangan.
Padahal sejak dulu atau sekitar abad ke-15, Tanah Maluku dikenal sebagai daerah penghasil rempah rempah yang sangat kaya.
Hal itu diyakini sebagai salah satu faktor mengapa orang-orang Eropa datang mencari kepulauan rempah-rempah ini dan kemudian menjajah bangsa Indonesia.
Selain kaya akan sumber daya alam, tanah Maluku juga kaya akan keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam.
Dari catatan sejarah, sebelum Indonesia merdeka, Maluku adalah negara-negara yang berdaulat dibawah kekuasaan kesultanan- kesultanan.
Ada sekitar empat kesultanan yang berkuasa dan berpengaruh sampai saat ini di Maluku ialah Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan.
Tanah Maluku juga tempat tinggal beragam suku seperti Ternate, Tidore,Tobelo, Galela, Sahu, Makian, Sanana, Seram, Kei, Tanimbar, Ambon- Lease, Buru, Banda dan masih banyak lagi.
Maluku sarat akan keberagaman dan tatanan sosial lokal. Maka tidak mengherankan jika Van Vollenhoven, seorang pakar hukum adat dari Belanda mencatat bahwa Maluku ialah salah satu wilayah kesatuan kesatuan masyarakat adat di Indonesia (dulu Hindia Belanda).
Pendekatan kontinental
Pada saat kemerdekaan, Maluku bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia sebagai
Provinsi ke delapan.
Namun sampai kini, kepulauan yang kaya akan rempah-rempah ini masih tertinggal jauh dibanding daerah-daerah lain di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah pusat terkait distribusi anggaran pembangunan ke daerah sejauh ini masih menggunakan pendekatan kontinental.
Pendekatan ini menghitung jumlah penduduk dan luas daratan sebuah wilayah. Padahal, Maluku-Maluku Utara merupakan wilyah kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah laut.
Maluku-Maluku Utara yang terdiri dari ribuan pulau seharusnya dimaknai sebagai penghubung bukan sebagai pemisah.
Kondisi geografis Maluku-Maluku Utara yang terdiri dari pulau-pulau sulit dibangun jika kebijakan pembangunan masih menggunakan pendekatan kontinental.
Dengan kebijakan itu, jumlah anggaran yang didapat Maluku-Maluku Utara sangat kecil bahkan tidak sebanding dengan satu kabupaten/kota di Jawa.
Di sisi lain. secara geografis, Maluku terletak jauh dari Jawa, jarak antara Jakarta Ternate atau Jakarta Ambon menembus jarak ribuan kilo meter.
Lebih jauh lagi, perbedaan sosial-budaya Maluku sebagai pinggiran dengan Jawa sebagai pusat juga menghasilkan komunikasi politik yang penuh salah-paham.
Jakarta dan Ternate juga Jakarta dan Ambon tidak hanya jauh secara geografis tetapi juga secara psiko-politis.
Belum lagi kalau kita bicara soal kesenjangan pembangunan, pemerataan kesejahteraan, dan pemenuhan hak-hak rakyat yang terabaikan. Sudah 72 tahun usia Indonesia dan selama itu perbaikan kesejahteraan yang signifikan belum terpenuhi.
Tahun 2014, saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Istana Kepresidenan, Presiden Jokowi pernah berkata,
"Kita pernah mengalami yang namanya kutukan minyak, dan kutukan hutan. Apa itu? Waktu itu sumber minyak kita bisa menjadi sumber keuangan yang sangat besar sekali, tapi ternyata kita tidak bisa memanfaatkan."
Sebab itu, jangan sampai terjadi “kutukan laut” karena visi maritim dan rencana tol laut Anda, terutama di kampung kami Maluku-Maluku Utara, Tuan Presiden.
- Log in to post comments
- 111 reads