TANAH AIR
Ile Ape, Gunung ”Harapan” di Lembata
Oleh: KORNELIS KEWA AMA
DARI dalam gubuk reyot, Kayus Wulo Tolok (67) keluar dengan langkah penuh keyakinan. Dia baru saja berdoa kepada leluhurnya yang ada di Ile Ape, sebuah gunung api di kampung adat Lamarian, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Selain mengucap syukur, ketua kampung adat itu juga memohon berkah.
Dalam kisah-kisah kepercayaan tradisional, gunung kerap menjadi tempat bersemayam ”Sang Ilahi”. Dari atas gunung dan bukit, seolah-olah ”Dia” bersabda dan menyaksikan segala perilaku manusia yang baik dan buruk. Keyakinan itulah yang hingga hari ini menyatu dengan kehidupan masyarakat Lembata, khususnya masyarakat di sekitar Gunung Ile Ape.
Dengan kepercayaan itu, lima kampung adat besar untuk 22 kampung yang ada di lereng Ile Ape menghadap Ile Ape. Di kawasan lereng gunung tersebut, Kayus memimpin upacara utan werun (kacang tumbuh), perayaan tutup tahun masyarakat adat Lamarian, salah satu kampung adat. Acaranya dimulai sejak awal tahun yang dilakukan secara bergantian di setiap kampung adat hingga akhir tahun. Pesta adat itu bertujuan meminta hujan, kesuburan, keselamatan, kesejahteraan, perdamaian, bebas dari musuh, dan gangguan penyakit. Upacara utan werun biasanya digelar selama sepekan.
Meskipun jumlah warga di lima kampung adat tersebut sekitar 22.000 jiwa, ikatan emosional warga di lereng Ile Ape sangat kuat saat upacara digelar. Mereka melakukan upacara adat bersama-sama dan bahu-membahu. Hal itu tampak pada beraneka sesajen yang dibawa dan diletakkan ketua kampung adat di nubanara, sebuah batu kecil yang licin dan halus untuk meletakkan sesajen. Lokasi ini dianggap sebagai tempat yang keramat.
Menurut Kayus, kacang tumbuh yang dimaksud adalah simbol tanaman yang memiliki batang menjalar panjang sejauh tiang penyangga, tanpa merusak.
”Legenda ini mengisahkan pucuk kacang merah yang menjulang tinggi sampai ke puncak Ile Ape dengan buah panjang dan biji besar. Kacang ini dapat dikonsumsi oleh semua warga desa di lereng gunung api itu. Maknanya lebih luas. Pucuknya yang menjulang tinggi menggambarkan perdamaian, kerukunan, kesejahteraan, keselamatan, kekuatan, kejujuran, dan keadilan,” ujarnya saat ditemui di kampung adat Lamarian, belum lama ini.
Kayus menambahkan, menjelang perayaan akbar tutup tahun itu, ia berdoa sepanjang malam mewakili masyarakat di lereng Ile Ape. ”Saya mewakili warga untuk mengucapkan syukur dan berterima kasih atas kehidupan selama tahun lalu serta memohon pertolongan dan berkah pada tahun ini,” ujarnya seraya menatap puncak gunung setinggi 1.875 meter di atas permukaan laut itu.
”Selama tiga hari dan tiga malam menjelang hari puncak, saya berdoa,” kata Kayus, yang meski berpuasa, badannya merasa tidak lemah.
Ali Geroda, warga Desa Riang Bao, Kecamatan Ile Ape, mengatakan, di tengah-tengah kekhusyukannya menjalankan agama, utan werun merupakan ritual adat yang dipercaya sebagai warisan leluhur yang harus dijalaninya setiap tahun. ”Saya sendiri setiap mengikuti ritual selalu memohon agar sukses dalam pekerjaan dan semua anggota keluarga diberi kesehatan serta sekaligus memiliki niat dan semangat untuk memperbaiki semua kekurangan di tahun sebelumnya. Saya juga berdoa untuk anak-anak agar sukses dalam pendidikan, selamat dari bahaya dan penyakit, serta punya masa depan yang lebih baik,” paparnya.
Upacaranya bergiliran
Gunung Ile Ape, sesuai bahasa daerah Lamaholot atau bahasa setempat, disebut juga Ile Lewotolok yang berarti ’gunung api’. Tak heran jika masyarakat di sana juga dikenal sebagai orang-orang Ile Ape. Gunung ini tercatat pernah meletus dahsyat berkali-kali sejak tahun 1660 hingga 1920-an, hingga akhirnya meluluhlantakkan seluruh Pulau Lembata dan pulau-pulau di sekitarnya.
Letusan gunung kemudian dikaitkan dengan kemarahan leluhur. Belerang yang mengeluarkan bau menyengat pun dimaknai sebagai pengingat kemarahan tersebut.
Bagi orang-orang Ile Ape, gunung tersebut merupakan tempat sentral kehidupan. ”Setiap kegiatan harus selalu mendapat izin dari para leluhur yang diyakini berada di puncak gunung. Leluhur menyaksikan perilaku atau aktivitas anak-anaknya (kunan kayak),” kata Kayus.
Kampung adat Lamarian terdiri atas 10 desa yang berada di Kecamatan Ile Ape Timur. Desa-desa itu adalah Lewolein, Riangbao, Ohe, Waipukang, Muruona, Kamakamak, Todanara, Baopukan, Lamawolo, dan Desa Tokojayeng. Lamarian adalah kampung adat tertua di antara kampung adat lainnya, yaitu Watun Lewopito, Nepeulun, Lewotolok, dan Lewohala. Kampung inilah yang secara bergiliran menggelar utan werun.
Pada upacara utan werun ditampilkan seluruh warisan leluhur berupa benda seperti gading gajah, alat senjata tradisional, dan piring tua asal China. Keterampilan yang ditinggalkan juga ditampilkan. Ada memintal benang dari kapas, membuat emping jagung, membawakan tarian adat, dan saling berbalas pantun di antara muda-mudi atau orang dewasa.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004495726
-
- Log in to post comments
- 1648 reads