BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ikan di Pangkep Diteliti

Ikan di Pangkep Diteliti
Kematian Massal Tergolong Tragedi Ekologi

MAKASSAR, KOMPAS — Kematian puluhan ribu ikan dan hewan air lainnya di Sungai Pangkajene, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, masih diselidiki sejumlah instansi terkait. Sampelnya berupa bangkai ikan dan air dari sungai. Namun, kematian massal yang terjadi pada Sabtu lalu itu diduga akibat pencemaran sungai.

Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Pangkep Sabrun Jamil, Selasa (11/11), mengatakan, terdapat 36 spesies hewan sungai yang mati dengan jumlah diperkirakan puluhan ribu ekor. Kematian semasif ini baru pertama kali terjadi di Pangkep. ”Sebelumnya kematian ikan pernah terjadi tetapi dalam jumlah puluhan,” katanya.

Penelitian dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau di Maros dan Takalar, Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan di Makassar, serta Laboratorium Kesehatan Ikan di Pangkep. ”Kami masih menunggu hasil uji laboratorium itu,” katanya.

Namun, dari pengamatan fisik ikan-ikan yang mati, dia mengatakan, tak ditemukan tanda-tanda penyakit dari virus atau bakteri. ”Saya menduga kematian itu karena pencemaran,” katanya.

Pencemaran salah satunya bisa disebabkan logam berat yang masuk ke sungai atau dari sumber lainnya. Hasil uji laboratorium akan menjelaskan secara terperinci penyebab kematian massal ikan tersebut.

Untuk menghindari keracunan, Dinas Kelautan dan Perikanan Pangkep mengimbau warga untuk tak mengonsumsi ikan tersebut. Para petambak di sekitar aliran sungai juga diminta tak mengisi air sungai ke tambak.

Secara terpisah, Kepala Badan Lingkungan Hidup Sulsel Andi Hasbi Nur mengatakan, pihaknya telah menurunkan tim ke Pangkep untuk menyelidiki kasus itu. Sejumlah sampel sudah diambil. Dari hasil uji air di lokasi, kandungan oksigen dalam air sungai itu sangat rendah dan banyak sedimen di dasar sungai. Hal itu bisa menjadi penyebab kematian hewan yang hidup di sungai.

”Kemungkinan penyebab kedua adalah sungai tercemar pestisida yang digunakan pemilik tambak di sekitar sungai,” ujar Hasbi. Sebelumnya sempat terjadi banjir yang berbarengan dengan pasang air laut di lokasi.

Ia menduga banjir itu membuat simpanan pestisida di tambak-tambak dihanyutkan banjir dan terbawa ke sungai sehingga meracuni biota sungai. Kemungkinan lain, ada buangan air tambak yang telah tercemar pestisida yang masuk ke sungai.

Untuk menguji ada atau tidaknya kandungan zat beracun itu, menurut Hasbi, pihaknya mengirimkan sampel ke laboratorium Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. ”Laboratorium kami di Makassar tak dilengkapi fasilitas untuk menguji pestisida. Diperkirakan hasil pengujian bisa diketahui dalam waktu satu minggu,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulsel Asmar Exwar berpendapat, kejadian di Pangkep sudah masuk kategori krisis ekologi. ”Pihak terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, harus menelusuri kasus ini hingga tuntas dan mencari penyebab pasti kematian biota tersebut karena sungai itu rentan terpapar limbah industri yang terdapat di hulunya,” katanya.

Jika pemicu adalah pencemaran lingkungan, dia menilai, dampaknya bisa berlangsung dalam jangka panjang karena memerlukan pemulihan. Bahkan, kerusakan lingkungan sungai juga berdampak pada aktivitas perekonomian masyarakat.

”Kondisi ini akan merusak penghidupan warga yang bergantung dari mencari ikan atau biota sungai lainnya. Pencemaran juga bisa terbawa ke laut dan merusak ekosistem di laut sehingga akan berdampak terhadap kehidupan nelayan di pesisir,” kata Asmar.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel Iskandar mengatakan, pihaknya menunggu hasil penelitian dari instansi terkait. (ENG)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010046075

Related-Area: