BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ikan di Maluku untuk Siapa?

POTENSI DAERAH
Ikan di Maluku untuk Siapa?
Frans Pati Herin
7 Februari 2017

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERINYadi Bustan (42), nelayan asal Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, memancing anak tuna dan cakalang di Laut Seram, sekitar 22 mil laut (40,74 kilometer) dari Kawa, Sabtu (14/1). Nelayan lokal di daerah itu minim sarana prasarana perikanan.

Hampir semua perahu di Desa Kawa seragam. Panjangnya 7 meter, lebar 1,2 meter, dan tinggi 0,7 meter. Perahu berukuran 0,5 gros ton didorong mesin dengan kapasitas 15 tenaga kuda. Perahu hanya bisa mengangkut maksimal dua orang dengan muatan ikan tak boleh lebih dari 500 kilogram. Kompas yang mengikuti perjalanan Yadi tak banyak bergerak. Duduk, tak boleh berdiri, apalagi berjalan, bisa oleng dan tenggelam.

Yadi lincah memainkan ritme laju perahu dan menggiring haluan meliuk di atas punggung gelombang. Saat haluan dihardik gelombang setinggi 1,5 meter, air bertempias. Basah kuyup. Belum lagi kalau hujan dan angin. Perahu tak punya atap untuk berteduh. Cuaca memang tak pernah kompromi meski perjalanan menuju sarang ikan cukup jauh. Dari darat sekitar 22 mil laut (40,74 kilometer).

Tekanan ekonomi di darat menuntut mereka tak boleh gentar menghadapi cobaan di laut yang menawarkan rezeki dan kadang mendatangkan musibah. "Banyak teman-teman tenggelam di sekitar sini. Biasanya mayat dan perahu tidak pernah ditemukan. Mungkin ada hantu laut," ujar Yadi saat perahu merayap di Tanjung Pamali. Sontak membangunkan bulu kuduk. Merinding. Langit masih gelap, baru setengah perjalanan menuju lokasi mancing.

Utang perahu seharga hampir Rp 40 juta dari tengkulak berikut bunga di atas 15 persen yang harus dicicil setiap bulan memompa nyali mereka. Siap menantang gelombang, menadah hujan, dan melawan angin. Belum lagi kebutuhan sekolah anak, kesehatan, dan makan sehari-hari. Hasil tangkapan tidak menentu. Mereka berangkat pukul 03.00 WIT dan pulang ke darat paling cepat pukul 17.00 WIT. Kompas menemani Yadi di tengah Laut Seram selama 14 jam.

Sering kali mereka bermalam di tengah laut jika hasil tangkapan belum cukup, jauh di bawah biaya bahan bakar. Satu kali perjalanan dibutuhkan sekitar 50 liter premium. Harga satu liter di pengecer Rp 10.000. Tak ada kartu nelayan yang bisa membantu mereka mendapatkan premium subsidi. Beberapa tahun terakhir, mereka harus bertolak lebih jauh karena ikan-ikan di pesisir sudah disapu bersih kapal-kapal besar selama bertahun-tahun.
Laut di Maluku

Luas laut di Maluku 658.331,52 kilometer persegi atau 92,4 persen dari total wilayah Maluku.
Potensi perikanan tangkap di Maluku sekitar 3,03 juta ton per tahun atau memberi kontribusi sebesar 30,76 persen terhadap potensi nasional.
Pada tahun 2015, potensi perikanan yang dimanfaatkan baru sekitar 16,51 persen.
Jumlah rumah tangga nelayan di Maluku kini sekitar 150.000.
Dampak ”illegal fishing”.
Khusus Laut Arafura, negara kehilangan lebih kurang Rp 40 triliun per tahun atau sekitar 20 kali lipat dari APBD Maluku. Itu terhitung sebelum kebijakan pemberantasan penangkapan ilegal yang gencar diterapkan pada akhir 2014.

 
Sumber: berbagai sumber/FRN

Saat menggembirakan akhirnya tiba ketika fajar pecah. Anak tuna dan cakalang bermain di atas kulit air hingga sisi perahu. Yadi melepas tali pancing dengan 30 gantungan mata kail. Sekali tarik, lebih dari 20 ekor tersangkut kail. "Ikan sedang lapar," ujarnya tersenyum lebar. Ia membawa pulang sekitar 150 kilogram ikan campuran dengan panghasilan sekitar Rp 600.000. Jika perahunya lebih besar dan bisa diisi pemancing lain, tentu hasil tangkapan lebih banyak.

Hujan berpadu angin dan gelombang mengantar perjalanan pulang. Perahu mulai oleng. Mulut perahu dan permukaan air terpaut kurang dari 15 sentimeter. Yadi mengingatkan agar tak perlu panik. Jika tenggelam, ada dua jeriken minyak yang bisa menolong sesaat sebelum akhirnya ditolong atau mati tenggelam.

Lawan penangkapan ilegal

Di dekat tempat mancing ada rumah ikan milik pengusaha di Bitung, Sulawesi Utara, yang dijaga Reynaldo Pomto (54), nelayan asal General Santos, Provinsi Cotabato Selatan, Filipina. Cakalang dan anak tuna biasanya bermain di sekitar rumah ikan. Bos Reynaldo asli Taiwan yang sudah lama di Indonesia. Setelah diberitakan Kompas pertengahan Januari lalu, dua hari kemudian Reynaldo ditangkap anggota Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Ambon. Bos Reynaldo mempekerjakan banyak nelayan Filipina.

Saat paling menyakitkan ketika nelayan lokal sedang mancing, kemudian datang kapal berukuran sekitar 100 gros ton menebar jaring. Jaring bermata kecil yang dipakai kapal tak memberi ampun bagi tuna dan anak cakalang, buruan nelayan lokal. Nelayan lokal pulang dengan tangan hampa karena semua ikan sudah terjaring. "Pernah saya hampir berkelahi dengan orang kapal. Tidak ada yang melindungi kami. Terpaksa kami melawan sendiri," kata Ketua Kelompok Nelayan Nusa Kamu, Desa Kawa, Samsul Sia.
 
Kompas/Frans Patin HerinLaut Seram kaya akan potensi ikan menjadi tempat perburuan bagi nelayan lokal maupun nelayan asing. Tingginya potensi ikan di Laut Seram mendorong tingginya praktik penangkapan ilegal. Nelayan lokal sering kali mendapati nelayan asing di Laut.

Samsul pernah menyaksikan jual-beli pengaruh di laut antara aparat dan pencuri ikan. Ia menyatakan tidak lagi percaya pada hukum. Setelah ditangkap, kapal dilepas lagi. Kapal-kapal angkut pun leluasa bongkar muat ikan di tengah laut. Semua ujung-ujungnya duit.

Nelayan Desa Kawa kemudian membentuk kelompok pada 2013. Tujuan awal agar mereka bisa melaut bersama-sama, termasuk menghadapi risiko kejahatan di Laut Seram yang sering dilakukan nelayan asing. Setelah berjalan beberapa bulan, mereka mengumpulkan uang untuk membuat satu rumah ikan seharga Rp 7 juta. Rumah ikan itu dapat membantu mereka agar mudah mendapatkan ikan. Di rumah ikan mereka bisa mancing.

Selang berapa bulan, tali jangkar rumah ikan diputus orang tak dikenal. Semangat mereka tak surut. Mereka mencoba membuat rumah ikan baru. Saat mengangkut material ke tengah laut, kapal yang mereka sewa tenggelam sehingga mereka harus membayar Rp 10 juta. Mereka berutang lagi. Selama kelompok itu berdiri, mereka belum pernah menerima bantuan pemerintah. Pernah diberikan satu perahu. Namun, karena perbedaan pilihan dalam hajatan politik lokal, penguasa setempat menarik kembali bantuan. Jumlah anggota kelompok itu kini 40 orang.

Samsul dan teman-teman berjuang sendiri mengais potensi Laut Seram yang menurut Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan seperti yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku sebesar 631.704 ton per tahun. Potensi ikan di perairan Maluku sekitar 3,03 juta ton per tahun atau 30,76 persen potensi nasional. Sementara itu, pencurian ikan dibiarkan leluasa.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Ruslan Tawari, yang pernah meneliti penangkapan ilegal di kawasan perairan itu menyayangkan betapa negara menyia-nyiakan potensi yang dimiliki. Potensi ikan jatuh ke tangan pencuri asing dan mafia dalam negeri. Nelayan lokal yang punya ketangguhan mencari ikan tak dibantu. "Di mana-mana petinggi negara kita mengklaim bahwa ikan kita banyak. Tapi, apa hasilnya untuk masyarakat?" ujarnya.

Kebijakan nasional dalam pemberantasan penangkapan ikan ilegal diapresiasi, tetapi perlu diikuti dengan pemberdayaan nelayan agar mereka ikut sejahtera. Maluku dengan potensi laut tertinggi di Indonesia barangkali bisa dijadikan pusat pengelolaan perikanan secara nasional.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/nusantara/2017/02/07/Ikan-di-Maluku-untuk-Siapa

Related-Area: