BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ikan di Laut Arafura Dijarah

Ikan di Laut Arafura Dijarah
Perhatian Pemerintah Pusat Minim

JAYAPURA, KOMPAS — Sebanyak 17.000 ton hasil laut dari Laut Arafura, Papua, setiap tahun dijarah ratusan kapal nelayan asing. Persoalan ini disebabkan minimnya pengawasan di wilayah selatan perairan Papua tersebut.

Laut Arafura merupakan lokasi yang diincar kapal nelayan asing karena mereka bisa mendapatkan ikan dalam jumlah banyak. Wilayah itu merupakan pertemuan arus dingin dari Australia dan arus panas Samudra Pasifik.

Pengawasan di Laut Arafura menjadi tanggung jawab Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang terletak di Bitung, Sulawesi Utara. Pangkalan itu memiliki enam kapal pengawas. Namun, perjalanan dari pangkalan menuju Arafura memakan waktu tiga hari.

Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, terdeteksi 100 kapal ikan berkapasitas 150 gros ton (GT) hingga 200 GT yang mengambil ikan secara ilegal. Setiap kapal mampu menampung minimal 170 ton ikan.

Angka pencurian ikan diperkirakan akan terus bertambah karena jumlah kapal yang beroperasi di perairan itu mencapai sekitar 3.200 unit.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan Papua Agustinus Agung saat ditemui, Jumat (7/11), di Jayapura, mengatakan, penangkapan ikan secara ilegal di Laut Arafura terjadi di dua kabupaten, yakni Merauke dan Mimika.

”Komoditas yang mereka incar di Merauke adalah kakap, kerapu, dan udang. Sementara hasil laut di Mimika adalah tuna dan cakalang. Kami hanya memiliki satu kapal pengawas yang berada di Merauke. Kapal itu berkapasitas di bawah 30 GT. Sementara kapal nelayan asing yang beroperasi di Arafura berkapasitas di atas 100 GT. Kapal-kapal itu umumnya berasal dari Thailand,” tutur Agustinus.

Agustinus tidak mengetahui apakah kapal-kapal yang terlibat operasi penangkapan ikan itu mengantongi izin dari pusat. ”Kami hanya memberikan izin bagi kapal yang berkapasitas di bawah 30 GT. Mereka tak beroperasi hingga mencapai 12 mil (22,22 kilometer),” ujarnya.

Ia pun mengungkapkan, kapal-kapal nelayan asing tersebut menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang. ”Mereka menggunakan jaring jenis trawl yang dapat merusak terumbu karang. Seharusnya alat yang diperbolehkan adalah pukat ikan dan jaring hanyut,” ucap Agustinus.

Ia berharap Pemerintah Provinsi Papua juga dilibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pemberian izin bagi kapal-kapal penangkap ikan yang berkapasitas di atas 30 GT.

”Selama ini, pihak pusat yang selalu memberikan izin kapal beroperasi di Arafura. Namun, kami tak pernah disiapkan sarana untuk mengawasi perairan itu,” tambahnya.

Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio dalam kunjungannya ke Pangkalan Utama AL X Jayapura mengungkapkan, Arafura merupakan perairan yang sangat luas dan rawan penangkapan ikan secara ilegal. Ia menegaskan, TNI AL siap membantu Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mencegah penjarahan ikan di Arafura.

”Perairan Arafura sangat luas sehingga tak dapat dipantau hanya dengan tiga kapal patroli milik kami. Karena itu, kami akan mengusulkan penambahan kapal untuk pengawasan di perairan bagian timur Indonesia,” kata Marsetio.

Ia menambahkan, pihaknya baru memiliki tiga pesawat patroli maritim yang berfungsi untuk memantau perairan dari udara.
Perhatian minim

Terkait masalah itu, Ketua Lembaga Adat Provinsi Papua Lenis Kogoya mengatakan, penjarahan kekayaan laut Papua disebabkan minimnya perhatian pemerintah pusat.

”Saya berharap pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat merevisi kembali izin-izin yang dikeluarkan bagi kapal-kapal ikan dari luar Papua,” kata Lenis.

Lenis berpendapat, seharusnya nelayan asal Papua diberi kesempatan untuk mengolah sumber daya alamnya sendiri. Selain itu, pemerintah juga harus memikirkan pembangunan industri pengolahan hasil laut sehingga membuka banyak lapangan pekerjaan bagi warga. ”Pemerintah pusat perlu menyediakan kapal-kapal penangkap ikan khusus bagi para nelayan. Namun, sebelumnya, mereka juga harus diberi pelatihan,” ujarnya. (FLO)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009961362

Related-Area: