BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Hidup Harmoni dalam ”Pela Gandong”

KEARIFAN LOKAL MALUKU
Hidup Harmoni dalam ”Pela Gandong”
Frans Pati Herin
8 Februari 2017

Konflik bernuansa agama pada 1999-2000 sempat menguras habis energi Maluku. Namun, semesta tidak tinggal diam membiarkan penghuni kepulauan rempah itu terus membara oleh pertikaian yang diembuskan pihak tak bertanggung jawab. Warga Maluku bangkit dan hidup harmonis.

Januari lalu, Muhammad Ali (22) menatap tajam rangka atap dan tiang utama bangunan Gereja Kristen Protestan Imanuel Galala-Hatiwe Kecil di Kota Ambon yang lapuk termakan usia. Tiang utama, berupa kayu besi 12 batang, adalah sumbangan dari warga kampung asal Ali, yakni Negeri (Desa) Hitulama, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, sekitar setengah abad silam.

Kini, semesta memanggil dirinya dan belasan pemuda beserta orang tua Hitulama kembali ke bangunan itu untuk membongkar atap, meruntuhkan tiang, membobok dinding, lalu membangun tempat ibadah yang baru. Kehadiran mereka menegaskan adanya hubungan antara Hitulama dan Galala dalam ikatan pela. Hubungan itu tercatat dalam sebuah prasasti tak jauh dari gedung gereja yang bertuliskan ”Tugu Tetap Abadi Pela Galala-Hitulama 19 Mei 1959”.

Terjalinnya hubungan pela berawal saat Pemerintah Negeri Galala memesan sebuah sampan (dalam bahasa setempat arumbae) dari Pemerintah Negeri Hitulama untuk dipakai dalam lomba dayung sampan (arumbae manggurebe) di Ambon sekitar awal 1959. Setelah sampan rampung, Raja (Kepala Desa) Galala hendak membayar biaya pembuatan sampan, tetapi ditolak Raja Hitulama.

Penolakan itu sebagai ajakan untuk bersahabat. Raja kedua negeri lalu mengumpulkan para tokoh masing-masing negeri hingga akhirnya kedua pihak sepakat menjalin hubungan pela.”Orang tua pesan katong (kami) jangan sampai lupa akang (melupakan hubungan itu),” kata Ali.

Masyarakat Maluku mengenal hubungan pela dan gandong antarnegeri. Hubungan pela tercipta atas suatu peristiwa. Hubungan gandong karena mereka berasal dari satu kandungan. Pela gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara.

Ikatan pela gandong turut mendorong Maluku cepat bangkit dari keterpurukan pasca konflik pecah pada 19 Januari 1999. Pela gandong menyadarkan mereka. Tenunan persaudaraan yang koyak dirajut kembali, membawa mereka pada identitas kemalukuan sebagai sesama orang basudara. ”Jika belakangan ini banyak orang mempermasalahkan perbedaan melalui politik identitas, di sini sama sekali tidak. Kami punya pengalaman buruk. Kami tidak mau itu terulang. Kami ingin memberikan contoh kepada daerah lain, bahkan dunia, bahwa inilah jati diri kami yang sesungguhnya. Inilah Maluku,” kata Raja Galala John Van Capelle disambut anggukan Raja Hitulama Salhana Pellu. Keduanya hadir memantau pembongkaran gedung gereja.

Provokator damai

Setelah konflik reda, penguatan nilai hidup orang basudara bagi generasi muda gencar dilakukan. Pelajar, mahasiswa, kelompok pemuda, hingga jurnalis menjadi fokus perhatian. Sebab, dampak konflik berlangsung lintas generasi dengan trauma panjang dan mendalam.

Penanaman nilai ditempuh lewat berbagai sisi. Pemerintah provinsi mendirikan SMA Siwalima. Sekolah unggulan tanpa biaya itu bertujuan menyemai generasi yang tak sekadar cerdas secara intelektual, tetapi kelak juga menjadi agen pewarta tentang nilai hidup orang basudara.

Para pelaku perdamaian pun tak tinggal diam. Tidak sekadar pemahaman di sekolah, tetapi perlu aksi konkret dalam aneka metode. Misalnya, acara Christmas Carol akhir 2016 yang digelar dengan melibatkan anak- anak muda lintas agama mencakup Kristen Protestan, Islam, Katolik, dan Buddha. Partisipasi juga datang dari Sulawesi Utara dan DKI Jakarta, bahkan luar negeri.

Juga dalam keseharian kaum muda yang tergabung dalam komunitas Ambon Bergerak dengan kegiatan seni, seperti baca puisi, melukis, bernyanyi, dan drama, hingga aksi sosial di kampung-kampung. Anak muda Maluku pun kini lentur berkolaborasi, bahkan dalam kegiatan keagamaan komunitas lain. Sebagai contoh, saat berlangsung Pesta Paduan Suara Gerejawi tingkat nasional di Ambon, Oktober 2015, remaja Masjid Batumerah menepuk rebana mengiringi Kidung Jemaat yang dinyanyikan paduan suara Kristen Protestan. Pada malam takbiran Idul Fitri tahun 2016, pemuda Kristen Protestan asal Negeri Soya memainkan toto buang (gong kecil 14 buah) mengiringi pujian kebesaran nama Allah di Masjid Batumerah.

Pesan damai dari Maluku tak mungkin sampai kepada dunia jika tidak dipanggungkan media massa. Pesan damai diwartakan, termasuk untuk membendung hasutan. Dunia pun melirik dan ingin belajar dari Maluku. Akhir Januari, Pemerintah Myanmar mengirim utusan ke Ambon untuk belajar tentang penyelesaian konflik. ”Pesan damai ini terus diingatkan lintas generasi. Tak boleh berhenti,” ujar Josep Matheus Rudolf Fofid (53). Rudolf Fofid (Rudi) adalah jurnalis dan seniman yang menjalani lebih dari separuh usianya bersama anak muda Maluku. Ada tokoh lain, seperti Zairin ”Embong” Salampessy dan Jacky Manuputty, yang aktif mendampingi kaum muda di Maluku.

Gubernur Maluku Said Assagaff tengah merancang kampung multietnis di Ambon untuk menjadi contoh bagi kampung lain di Maluku yang masih terpola berdasarkan agama.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/dikbud/kebudayaan/2017/02/08/Hidup-Harmoni-dalam-Pela-Gandong

Related-Area: