Hendak Menjadikan Gerakan Stop Kekerasan Mewabah di Maluku
Rabu, Des 11 2013
Ditulis oleh amex
Risau dengan hal itu, komunitas facebookers, “Ayo Stop Kekerasan” atau ASK, bertekad gerakan mereka tidak sebatas obrolan pengisi waktu di facebook, tapi dalam berbagai aksi nyata.
Perjumpaannya dengan seorang redaktur senior majalah TEMPO di tahun 2009, salah seorang pendiri komunitas ASK, Jusnita Tiakoly mengaku terusik. Saat itu Jusnita disodok sebuah pertanyaan menusuk, ”Kapan kasus-kasus kekerasan di Maluku berhenti?” sentil sang redaktur TEMPO bernama Bambang Harimurti itu.
Pertanyaan seorang wartawan majalah investigatif terkenal, meski singkat tapi punya sasaran. Kritis sekaligus menyindir. Karena yang bersangkutan sudah punya berita di “balik” berita. Sadar akan hal itu tanpa ba bi bu, Jusnita pun spontan menjawab,”Sekarang pak!”.
Itu di tahun 2009. Namun tak dinyana, rentetan konflik sosial walau tak massif, toh terjadi lagi. Perisitiwa 11 September 2011, merupakan bentrok warga yang paling menghentak.
“Insiden ini menggugat saya, menggugat nurani kita, benar loh, sebagai orang Maluku itu sangat menggugat,” ujar Jusnita, mantan jurnalis senior Maluku, di sela-sela obrolan sesama komunitas ASK di rumah kopi Lela Baru, pekan lalu.
Namun perempuan yang akrab disapa Nita ini merasa jawabannya kepada redaktur TEMPO itulah yang digugat. Padahal jawaban tersebut sebenarnya tidak salah. Siapa sih dari orang Maluku yang hati nuraninya tak ingin Maluku ini damai?
Lalu dikisahkan, satu hari pasca peristiwa 11 September 2011, di atas sebuah feri penyeberangan, dari Ambon ke tempatnya bekerja di Kabupaten SBB, cerita seputar insiden itu pun datang mengusik. Pernah bekerja sebagai wartawan jurnalisme damai, yang banyak meliput konflik di Maluku, peristiwa tersebut membuatnya pening kepala.
Tiba di seberang, tepatnya di Desa Gemba, Kecamatan Kairatu, Jusnita menemukan sebuah warnet kecil. Di depan layar monitor ia mengklik facebook. Ternyata obrolan seputar insiden tersebut makin hangat.
Berbagai komentar ramai mengisi laman facebooknya. Mulai saling kecam dan menyalahkan, maupun komentar penyesalan hingga harapan agar insiden serupa tak terulang. Dilengkapi haturan doa-doa mereka sekaligus.
Tapi silang sengkarut komentar di facebook yang dilamari sesal dan harapan itu mengerucut ke satu titik temu. Sebuah komunitas bernama “Ayo Stop Kekerasan” di dunia maya berhasil digadang. Di kolom sebelah kiri laman facebooknya, dia membuat grup diskusi, “AYO STOP KEKERASAN”. Dengan demikian, Jusnita berperan sebagai administrator grup tersebut.
Cyber media seperti facebook, memang jadi andalan. Cukup efektif, karena semua orang bisa berinteraksi. Tapi khusus ASK, selain up to date, para member hendaknya menjadi mata dan telinga masyarakat.
Informasi yang bias tentang isu atau situasi terakhir Ambon dan di sekitarnya langsung diklarifikasi. Pengunjung pun semakin percaya ASK. Dalam sekejap seribu lebih orang bergabung jadi member, ketika itu.
“Beberapa menit sebelum saya menyelesaikan tulisan ini, saya sempat mengintip halaman FB saya. Ternyata jumlah member ASK telah mencapai 1818,” tulis seorang member ASK Lusi Peilouw di rubrik Kompasiana, sebuah situs jejaring sosial milik
Kompas Online, tertanggal 17 Nopember 2011. Atau satu bulan lebih pasca bara konflik membesar pada 11 September 2011 dan, menghanguskan pemukiman warga Kampung Waringin Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon.
Salah satu member ASK, Ali Roho Talaohu, mengaku banyak mendapatkan manfaat dari ASK. Jauh dari tanah kelahiran, peneliti dari Lembaga Survei Nasional (LSN) ini ketika itu sedang menyelesaikan magister ilmu politiknya di Universitas Padjajaran Bandung.
Ia banyak mengutip obrolan sesama member di ASK, membuatnya seolah mengetahui persis apa yang sedang terjadi di Ambon. Dan pada saatnya dia pun mendapatkan kesempatan. Ketika bentrok warga terjadi di desanya, Negeri Pelauw, Ali didapuk sebagai narasumber berbagai forum diskusi publik, komunitas anak Maluku di Bandung.
“Kita tidak punya informasi yang akurat, nah di ASK inilah kita dapat,” kata pria yang sekilas terlihat pendiam, tapi kalau sudah berinteraksi dengan orang baru terlihat keluwesannya yang luar biasa ini.
Sebagai peneliti yang banyak menggali data dari masyarakat, ASK benar-benar “matching” atau nyambung dengan karakternya, yang begitu protect terhadap isu.
Coba-coba membawa sebuah isu padanya, anda akan dicercar dengan berbagai pertanyaan,”Kamu darimana?, kamu ini siapa?, dapat info dari mana??, kamu lihat atau dengar langsung??,”
Pria berbadan subur ini memang “sangat-sangat” mengedepankan keakuratan data dan informasi. Dan salah satu pemicu berbagai konflik di Maluku menurut dia, yakni orang mudah termakan isu yang tidak jelas kebenarannya, lalu terprovokasi.
“Di BBM, orang tulis Kahena tegaaangg!, padahal, beta lewat? su seng ada apa-apa, ini kan menyesatkan,” katanya dengan nada masygul, sambil menyodorkan wajahnya rapat-rapat kedepan. Terlihat kesal, sambil bersandar kembali ke kursi yang diduduki, dia mengaku, sangat ingin mempertanyakan, motif orang di balik BBM semacam itu.
Soal keakuratan informasi Administrator ASK Jusnita Tiakoly sendiri mengaku, memang hal itu yang paling dijaga. Pasalnya, dia pernah bertugas sebagai jurnalis di masa konflik sosial silam. Dan keakuratan data dalam sebuah berita (news) merupakan syarat utama, jika ingin tetap “aman” keluar masuk wilayah dua kubu yang bertikai.
Terbawa dengan kebiasaan itu, siapapun member yang menuliskan isu yang bersifat provokasi, sengaja atau tidak di ASK, akan secepat mungkin ditelusuri kebenarannya. “Kalau memprovokasi?, beta langsung Cut!, gimana caranya?, beta kan punya jaringan yang bisa untuk konfirmasi sana-sini,” jelas Jusnita yakin.
Senada dengan Ali Roho Talaohu, dia juga berpendapat masyarakat Maluku rentan terhadap isu provokasi. “Maluku ini rawan isu,” kata Ali. Dan menurut Jusnita orang cenderung menangkap isu, lalu menyebarkannya secepat mungkin. “Kadang orang dengar ada kaco, tapi orang tidak cek yang akurat, ini bahaya,” tukasnya.
Obrolan di Rumah Kopi Lela, sore itu dengan Jusnita maupun Ali dan menyaksikan langsung percakapan mereka yang disebut ‘copy darat” itu, tentu saja ada yang penting untuk khalayak pembaca. Intinya, mereka ingin membangun sebuah gerakan moral. Seperti dikatakan sang administrator ASK, Jusnita Tiakoly, kalaupun nantinya para elit (Jusnita menyebutnya kalangan atas) berfikir gerakan ini tidak penting, lalu apa yang harus dilakukan lagi? Faktanya, konflik selalu terjadi. “Lalu bagaimana masyarakat kita yang lain?,” gugatnya.
“Jadi tunggu saja, ASK harus lakukan sesuatu, minimal kita akan road show di Kota Ambon, jalan santai dan sebagainya, Ayo Stop Kekerasan harus jadi gerakan moral di Maluku, mulai dari lingkungan kita sendiri, dari rumah kita,”
Semua member ASK yang hadir setuju. Di situ ada Dudy Sahupala dari Negeri Kulur mantan anggota DPRD Kota Ambon, mengaku bingung dengan kinerja aktor keamanan (TNI-Polri). Lalu Joppi Sihasale dari Negeri Porto dan Ketua ORARI Maluku, yang pernah dipalang jalan oleh warga yang bertikai padahal sedang tugas memonitor pengungsi pasca jebolnya Wae Ela Negeri Lima.
Lalu Raudah Leikawa tokoh perempuan Negeri Morella yang juga bingung. Isu-isu konflik, kata dia, sampai ke Kota Ambon, lebih banyak biasnya ketimbang fakta. Yang tak kalah menarik, Fuad Azus, tokoh pemuda Negeri Mamala-Morella. Ia datang tergopoh-gopoh dalam copy darat, sambil membawa berita gembira,”Beta ada buku bagus, judul, Bencana Bisa Disetting,”. “Jadi bukan konflik saja, bencana kayak tsunami juga bisa,”. (**)
- Log in to post comments
- 567 reads