BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Heboh ”Rica Mahal” di Manado

Heboh ”Rica Mahal” di Manado

Oleh: Jean Rizal Layuck 

Kenaikan harga cabai rawit—orang Manado menyebutnya rica—selalu menghebohkan masyarakat Sulawesi Utara. Heboh harga rica mahal bergaung dan menjadi pembicaraan di mana-mana. Rica menjadi topik yang lebih hangat dibicarakan ketimbang kenaikan harga bahan bakar minyak.

Rica menjadi komponen penting dalam konsumsi masyarakat Manado, menjadi mata rantai perdagangan dan ekonomi ”Bumi Nyiur Melambai”. Oleh karena itu, jangan sekali-kali makan rica banyak di rumah makan, pasti akan ditegur penjualnya.

”Sedikit saja Om, jangan (makan) banyak tu dabu-dabu, rica mahal sekali,” tegur Ros, pedagang tinutuan atau bubur manado di kawasan Wanea. Ribuan pedagang tinutuan yang tersebar di kampung-kampung di Manado mengeluhkan masalah rica.

Harga rica di sentra perdagangan di Kota Manado, Minahasa, dan Bitung, beranjak naik, mencapai Rp 80.000 per kilogram. Di wilayah Likupang, Minahasa Utara, rica dijual Rp 90.000 per kilogram. Harga rica fantastis itu dikeluhkan masyarakat.

Sejumlah pedagang di Pasar Karombasan, Manado, Selasa (18/11), menyebutkan harga cabai akan naik jika hingga pekan depan tidak ada pasokan dari wilayah produksi Minahasa dan Gorontalo.

Harga cabai selangit membuat Sulawesi Utara diramalkan mengalami krisis cabai seperti lima tahun lalu ketika harga cabai mencapai Rp 110.000 per kilogram. Krisis rica membuat masyarakat harus puasa rica.

Beruntung hanya dalam dua pekan rica sudah didatangkan dari Surabaya menggunakan pesawat Hercules. Para pedagang di Manado tahu selera warganya sehingga tak rugi mengimpor rica meski harus carter pesawat.

”Meski rasa rica impor dan rica yang ditanam di Minahasa berbeda, kami tahu orang di sini senang pedas jika makan,” kata Welly, pedagang rica.
Kesulitan mengontrol

Kepala Dinas Perdagangan Sulawesi Utara Jenny Karouw menyatakan kesulitan mengontrol harga cabai karena produksinya kurang. ”Hukum pasar seperti itu, saat produksi kurang pasti harga melonjak,” katanya.

Ia mengatakan, harga cabai telah menjadi masalah nasional, tetapi kenaikan di Sulawesi Utara cukup signifikan. Masalah ini telah dirapatkan dengan Kementerian Perdagangan di Jakarta dan Direktorat Hortikultura.

Menurut dia, masalah cabai terjadi setiap tahun, terutama pekan kedua November. Kenyataan panen cabai baru akan terjadi Maret tahun depan. Oleh karena itu, pola tanam cabai di tingkat petani harus diubah. Produksi cabai dari Sulawesi Utara diminati banyak daerah di Indonesia.

Pedagang rica, Ahmadi, mengatakan, krisis akan berlanjut karena kebutuhan meningkat dua kali lipat, sedangkan produksi kurang. Sulawesi Utara dikenal masyarakatnya sebagai konsumen cabai terbesar di Tanah Air. ”Jika tidak ada pasokan, harga cabai akan naik lebih mahal, apalagi menjelang perayaan Natal,” katanya.

Harga cabai bergerak cukup cepat dari Rp 50.000 pekan lalu kini naik menjadi Rp 80.000 dan Rp 90.00 per kilogram. Kenaikan harga cabai membuat sejumlah rumah makan milik warga yang berjualan bubur manado mengurangi jatah cabai.

Ros, penjual bubur manado, mengatakan, rasa cabai yang tidak pedas mengurangi minat orang untuk makan. ”Mau bagaimana lagi, terpaksa kami harus hemat meski banyak pembeli protes,” katanya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara mencatat, produksi cabai rawit segar pada 2013 mencapai 8.461 ton atau mengalami penurunan sebesar 12,38 persen dibandingkan dengan 2012.

Penurunan disebabkan berkurangnya luas tanam dan panen sebesar 1.399 hektar atau 55,10 persen dari total luas lahan tahun sebelumnya meskipun produktivitasnya mengalami kenaikan sebesar 3,62 persen per hektar atau 95,26 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Penurunan luas panen terbesar terjadi di Kabupaten Minahasa sebesar 338 hektar atau sebesar 66,47 persen. Kabupaten Minahasa merupakan sentra produksi terbesar cabai di Sulawesi Utara.
Memicu inflasi

Penurunan jumlah produksi selalu diikuti peningkatan jumlah konsumen. Budaya makan orang Manado dengan berbagai acara pesta membuat kebutuhan rica meningkat, apalagi menjelang perayaan Natal yang akan mencapai 10.000 kali pesta makan.

Kepala BPS Sulawesi Utara Faizal Anwar mengatakan, kenaikan harga rica beberapa kali memicu inflasi. Ia mencontohkan, inflasi yang terjadi pada Desember 2013 di Manado mencapai 2,69 persen, dampak kenaikan harga rica pada saat itu yang mencapai Rp 48.000 per kilogram.

Menurut Faizal, harga cabai rawit pada Desember 2013 mengalami kenaikan, rata-rata pada bulan tersebut Rp 48.000 per kilogram. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi pada November 2013 yang rata-rata hanya Rp 28.000 per kilogram.

Rica yang dominan dikonsumsi masyarakat di Sulawesi Utara ternyata memicu inflasi. Menurut dia, dari belanja kebutuhan makanan dan minuman setiap bulan, sebanyak dua persen dibelanjakan masyarakat untuk membeli cabai rawit.

Jika satu orang membelanjakan makanan dan minuman sebulan Rp 1.900.000, berarti belanja rica setiap orang sekitar Rp 38.000. Padahal, masih ada ratusan kebutuhan lain yang harus terpenuhi, tetapi kebutuhan untuk membeli cabai rawit cukup tinggi.

Pengamat ekonomi Sulawesi Utara, Tonny Agus Poputra, mengatakan, tingginya inflasi di Manado akibat mahalnya harga rica bisa dihindari jika saja masyarakat mau menanam cabai rawit di pekarangannya.

Menurut Agus, menanam rica tidak perlu lahan luas dan perlakuan manja sehingga kebutuhan keluarga dapat dipenuhi dari pekarangan.

Kenaikan harga rica tidak terlalu memengaruhi ekonomi Sulawesi Utara secara keseluruhan. Persoalan kenaikan itu musiman dan berlangsung dalam tempo singkat. Berbeda jika harga rica mahal bertahan dalam tiga atau empat bulan pasti akan mengguncang ekonomi daerah itu.

”Kalau memang benar masa panen rica baru berlangsung Maret, Pemerintah Sulawesi Utara harus menyediakan sabuk pengaman ekonomi bagi warganya untuk menghindari kenaikan harga rica,” katanya.




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010183316

Related-Area: