BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Harapan Baru dari Hutan Barru

KESEJAHTERAAN DAERAH
Harapan Baru dari Hutan Barru

Oleh: M Final Daeng

AHMAD Laode (45) berjalan menembus rerimbunan hutan di pelosok Desa Paccekke, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Tabung kayu yang disandang di pundaknya telah dipenuhi nira segar dari pohon aren yang disadap di dalam hutan.

Di sebuah gubuk di tengah jenggala lebat itu, Ahmad mengolah air nira menjadi gula aren. Gula aren atau gula merah adalah komoditas andalan dan sumber penghasilan warga Desa Paccekke. Aktivitas mengolah aren menjadi gula telah dilakukan warga setempat secara turun-temurun selama ratusan tahun.

Kawasan hutan di dataran tinggi itu subur ditumbuhi pohon aren liar ataupun yang sengaja ditanam penduduk desa. Selain aren, warga Desa Paccekke juga membudidayakan kemiri, biji rempah yang diperkenalkan pada masa pemerintah kolonial Belanda.

Namun, pada masa Orde Baru, sebagian besar wilayah hutan ditetapkan sebagai kawasan hutan milik negara. Ruang gerak warga untuk memanfaatkan hasil hutan menjadi terbatas. Salah masuk hutan, warga bisa berhadapan dengan petugas dan hukum.
Hutan kemasyarakatan

Sejak tahun 2011, warga Desa Paccekke, termasuk Ahmad, membentuk Kelompok Hutan Kemasyarakatan Megah Buana. Warga mengusulkan sebagian kawasan hutan seluas 150 hektar agar bisa dikelola dalam program Hutan Kemasyarakatan (HKm).

HKm adalah program pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimiliki Kementerian Kehutanan. Di seluruh Kabupaten Barru, terdapat total 2.100 hektar hutan yang diusulkan menjadi HKm oleh 40 kelompok.

Pada Februari, Menteri Kehutanan menandatangani Surat Keputusan Penetapan Areal Kerja bagi 1.165 hektar usulan HKm di Kabupaten Barru, termasuk untuk Desa Paccekke. Surat keputusan tersebut akan memberikan landasan legal bagi warga untuk mengelola hutan.

Ketua Kelompok HKm Megah Buana Nanda (51) mengatakan, anggota kelompoknya berjumlah 51 orang yang sebelumnya telah mengolah hutan secara terbatas. ”Kini, dengan adanya izin HKm, kami bisa meremajakan pohon-pohon kemiri dan menanam komoditas baru di hutan,” katanya.

Tanpa status HKm, warga tak bisa menebang pohon di dalam kawasan hutan. Warga, misalnya, hanya bisa mengambil buah kemiri yang jatuh dari pohon. Masalahnya, pohon-pohon kemiri yang berada di dalam hutan sebagian besar telah berusia lebih dari 40 tahun dan produktivitas tersisa 50 persen saja.

Dengan adanya program HKm, warga bisa mengganti pohon kemiri yang sudah tak produktif dengan pohon yang baru. ”Kami juga berencana menanam pohon cengkeh untuk menambah penghasilan,” kata Nanda.

Hal itu disebabkan komoditas kemiri dan aren tak terlalu memiliki nilai jual tinggi. Sebagai gambaran, biji kemiri yang telah dikupas dihargai Rp 12.000-Rp 14.000 per kilogram dan gula aren dihargai sekitar Rp 10.000 per kilogram. Adapun cengkeh Rp 110.000-Rp 130.000 per kilogram.

Masa depan yang cerah dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat juga diidamkan warga Desa Kamiri, Kecamatan Balusu. Warga di desa itu kini mengelola kawasan hutan dengan skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) melalui empat kelompok tani, salah satunya Kelompok Tani HTR Coppo Baramming yang memiliki 28 anggota. Ketua Kelompok Tani HTR Coppo Baramming Abdul Rahim mengatakan, pihaknya mengelola 350 hektar Hutan Produksi Terbatas di wilayah Desa Kamiri sejak tahun 2012.

Di kawasan hutan itu, kelompok menanami 80.000 batang pohon jati super dan jabon. Ada pula 20.000 batang tanaman ”tradisional” kemiri yang juga ditanam. ”Dalam beberapa tahun lagi tanaman itu sudah bisa dipanen,” kata Abdul.

Komoditas jati dan jabon itu menjadi harapan untuk meningkatkan perekonomian warga desa. Sebagai gambaran, harga kayu jabon mencapai Rp 2,1 juta per meter kubik dan jati senilai Rp 3,7 juta per meter kubik dalam bentuk gelondong. Setiap hektar lahan bisa menghasilkan 350-400 meter kubik kayu.
Dukungan pemkab

Pemerintah Kabupaten Barru juga mendukung agar masyarakat bisa mengelola kawasan hutan. Dari total luas wilayah daratan 125.834 hektar, kawasan hutan di Barru mencapai 68.556,03 hektar. Sekitar 90 persen dari 54 desa di Barru hidup bersentuhan dengan hutan, bahkan terdapat beberapa desa yang lokasinya berada dalam kawasan hutan.

Bupati Barru Andi Idris Syukur juga telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013 tentang Mekanisme Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Sasaran penanggulangan kemiskinan adalah masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan melalui skema HKm, HTR, dan Hutan Desa (HD). ”Penanggulangan kemiskinan warga di kawasan hutan dilakukan lintas sektor dan bukan hanya oleh dinas kehutanan,” kata Andi.

Ada 17 satuan kerja perangkat daerah yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan tersebut. Sebagai contoh, pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan juga harus melibatkan dinas perindustrian dan perdagangan untuk menciptakan nilai tambah bagi komoditas hasil hutan warga.

Proses pendampingan warga pengelola hutan juga dilakukan organisasi kemitraan yang bekerja sama dengan Sulawesi Community Foundation. Kedua lembaga itu di antaranya memfasilitasi pengorganisasian kelompok, penyiapan dokumen dan pemetaan usulan pengelolaan kawasan hutan bagi masyarakat, serta menjalin hubungan dengan instansi pemerintah terkait.

Ketua Tim Akselerasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Dinas Kehutanan Barru Sukri mengatakan, dari skema HKm, HD, dan HTR, yang paling tinggi kemajuannya adalah HTR. Dari 5.240 hektar usulan HTR, seluruhnya telah memperoleh surat keputusan pencadangan dari Kementerian Kehutanan dan 1.368 hektar di antaranya telah mengantongi izin dari bupati.

Adapun sisa usulan HKm seluas 835 hektar dan HD seluas 750 hektar hingga tahun 2013 masih menunggu persetujuan Menteri Kehutanan. Pada 2014, Kabupaten Barru kembali mengusulkan HKm, HD, dan HTR sebanyak 13.000 hektar.

Menyelamatkan hutan tidak bisa lagi dengan melarang warga setempat, tetapi harus memberikan kesempatan bagi mereka memanfaatkannya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004773252