BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Hampir Separuh Warga NTT Belum Terlayani Listrik

Kelistrikan
Hampir Separuh Warga NTT Belum Terlayani Listrik

KUPANG, KOMPAS — Hampir separuh atau sebanyak 475.000 dari 1.098.000 keluarga di Nusa Tenggara Timur belum terlayani listrik dari pemerintah. Mereka kebanyakan tinggal di pulau-pulau dan desa-desa terpencil di NTT, yang sebagian besar dihuni warga miskin atau hampir miskin. Selama ini mereka hanya menggunakan penerangan seadanya seperti lampu teplok, lilin, dan lampu tradisional.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTT Danny Suhadi di Kupang, Minggu (23/11), mengatakan, kondisi kelistrikan di NTT saat ini jauh lebih baik dibandingkan tiga tahun lalu. Waktu itu hanya 30 persen atau 329.400 keluarga yang mendapat pelayanan listrik

Dari 623.000 keluarga yang kini terjangkau listrik, kata Suhadi, sebagian besar berada di pusat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Dari jumlah itu, sekitar 124.600 keluarga menggunakan listrik tenaga surya (LTS), terutama di wilayah kecamatan terpencil di daerah kepulauan.

”Listrik tenaga surya ini tidak memberi pelayanan maksimal seperti listrik bertiang (dari PLN) yang mampu menyala 24 jam. Namun LTS sudah mengurangi persoalan kegelapan di daerah itu. Karena itu, sebelum jaringan listrik masuk ke wilayah itu, pemerintah mengupayakan LTS, hanya saja biaya LTS juga tidak murah, yakni berkisar Rp 4 juta per satu unit dengan kemampuan tiga titik lampu,” katanya.

Suhadi mengatakan, pemerintah daerah membantu pengadaan listrik masyarakat dengan dana alokasi khusus, tetapi sangat terbatas, yakni Rp 500 juta-Rp 1 miliar per tahun, untuk kebutuhan listrik di 21 kabupaten. Setiap kabupaten mendapatkan LTS sebanyak 5-10 unit per tahun anggaran, sementara kebutuhan listrik masih sekitar 22.619 keluarga per kabupaten.

Anggota DPRD NTT Ansel Tallo mengatakan, Pemerintah Timor Leste pernah menawarkan listrik bagi warga di perbatasan. Namun, tawaran itu sulit diterima karena menyangkut kedaulatan negara, harga diri bangsa, hingga ancaman perpindahan warga RI di perbatasan ke Timor Leste.

Ia mengingatkan pemerintah agar memberi perhatian khusus kepada warga di perbatasan. Pelayanan buruk sangat mencederai NKRI di perbatasan. Pada 2012, misalnya, warga perbatasan RI-Timor Leste di Desa Manikun, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu, diminta petugas lapangan PLN Belu mengumpulkan uang untuk pengadaan listrik di rumah masing-masing.

”Uang yang terkumpul Rp 17.800.000, jumlah yang tidak sedikit bagi warga miskin dari desa itu. Namun setelah uang itu diterima petugas PLN, listrik tidak nyala sampai hari ini kecuali hanya pemasangan beberapa tiang dan kabel,” katanya.

Sementara itu, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Oekfui, Kabupaten Malaka, sejak 2010, dengan anggaran senilai Rp 17 miliar untuk pengadaan listrik di perbatasan RI-Timor Leste, tak jelas kelanjutannya. Seharusnya, jika sesuai rencana, PLTU Oekfui diresmikan pada Desember 2013.

”Rata-rata semua desa di perbatasan RI-Timor Leste belum mendapatkan listrik. Sebenarnya kita yang sudah merdeka 69 tahun ini malu dengan Timor Leste yang baru 10 tahun merdeka, tetapi sudah mampu membangun jaringan listrik sampai ke perbatasan,” kata Ansel.

Di Manado, Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang meminta perizinan investasi dan eksploitasi panas bumi, geothermal, di setiap daerah diberikan ke gubernur. Selama ini perizinan pengelolaan panas bumi berada di Pertamina. ”Saya sudah bersurat ke Presiden Jokowi untuk meninjau perizinan yang selama ini dipegang Pertamina,” katanya beberapa waktu lalu.

Menurut Sarundajang, perizinan pengelolaan panas bumi akan mempercepat penanggulangan krisis energi listrik di daerah. Potensi panas bumi di Sulawesi Utara, katanya, dapat menambah produksi listrik 1.000 megawatt. (KOR/ZAL)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010276465

Related-Area: