BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Gunakan Teknologi Berbeda bagi Kota Besar dan Kota Kecil

Gunakan Teknologi Berbeda bagi Kota Besar dan Kota Kecil
J Galuh Bimantara
Siang | 10 Februari 2016 15:22 WIB Ikon jumlah hit 160 dibaca Ikon komentar 0 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merekomendasikan penggunaan teknologi berbeda antara kota besar dengan kota kecil dan menengah dalam pemanfaatan sampah sebagai tenaga listrik. Di kota besar disarankan penggunaan insinerator. Adapun di kota kecil dan menengah sebaiknya memanfaatkan mikroorganisme pembusuk sampah.
Direktur Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Rudi Nugroho (kanan), Rabu (10/2/2016), di Jakarta, menjelaskan tentang teknologi pengolahan sampah yang bisa menghasilkan energi listrik.

Hal itu untuk terkait keinginan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang pemanfaatan sampah sebagai tenaga listrik, Jumat (5/2/2016), agar proyek bisa segera dikerjakan.

Untuk kota-kota besar dengan permasalahan sampah yang berat seperti DKI Jakarta, BPPT merekomendasikan penggunaan teknologi termal (pembakaran), terutama dengan insinerator. "Untuk kota sedang dan kecil, dengan lahan kosong yang masih luas, utamakan dengan cara alami," kata Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Rudi Nugroho, Rabu (10/2/2016), di Jakarta.

Rudi menjelaskan, ada dua kelompok teknologi pengolahan sampah menjadi energi. Pertama, teknologi alami, antara lain dengan instalasi anaerobic biodigester yang memanfaatkan kerja mikroorganisme untuk membusukkan sampah, serta pemanenan gas di tempat pengolahan sampah atau TPA yang saniter (sanitary landfill). Kedua, teknologi termal, antara lain menggunakan insinerator, pirolisis, dan gasifikasi.

Walaupun arah kebijakan pemerintah adalah menghasilkan energi dari sampah, Rudi berpandangan, produksi energi tidak bisa dijadikan target utama. Prioritas yang mesti dikejar pemerintah adalah mengurangi sampah secepat-cepatnya, sedangkan pemanenan energi hanya sebagai bonus.

Artinya, tidak perlu mempermasalahkan jika di masa depan produksi energi berkurang karena volume sampah menyusut, jika memang memilih menerapkan teknologi pengolahan sampah menjadi energi. Dengan proses termal, energi listrik yang didapat dari sampah hanya 30 kilowatt hour per ton sampah. "Lebih kecil dibandingkan energi listrik dari pemanfaatan batu bara," ujar Rudi.

Namun, teknologi insinerator paling tepat pada saat ini untuk mengatasi tumpukan sampah di kota besar dibandingkan dengan teknologi alami ataupun dengan sesama teknologi termal. Ia mencontohkan, masyarakat di DKI Jakarta, Semarang, dan Surabaya menghasilkan sampah 0,6-0,7 kilogram per orang per hari. Ini menimbulkan kondisi darurat sampah di kota besar.

Peneliti madya bidang persampahan BPPT Sri Wahyono mengatakan, tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang diperkirakan dua tahun lagi tidak mampu menerima kiriman sampah dari Jakarta. Untuk itu, volume sampah harus dikurangi secara cepat. Teknologi insinerator menghasilkan residu 10-15 persen dari pembakaran sampah, sedangkan dengan teknologi pemanenan gas di TPA saniter, residu masih sekitar 50 persen.

Namun, tidak semua daerah di Indonesia sudah dalam tahap kritis yang harus menggunakan insinerator. Masih ada daerah yang bisa mengupayakan dengan teknologi nontermal dulu. Karena itu, BPPT siap membantu dan mendampingi pemerintah maupun pemerintah daerah untuk menentukan teknologi yang tepat guna sesuai kondisi khas daerah.

Kuncinya, menurut Wahyono, komitmen kepala daerah dalam memprioritaskan pengurangan sampah. "Porsi teknologi hanya 15 persen dari urusan pengelolaan sampah. Sebanyak 85 persen merupakan faktor nonteknis, seperti kebijakan dan keterlibatan masyarakat," ujarnya.

Su ber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/10/Gunakan-Teknologi-Berbeda-bagi-Kota-Besar-dan-Kota