PROFIL USAHA
Gairahkan Tenun dari Desa
KORNELIS KEWA AMA
Ikon konten premium Cetak | 30 Januari 2016 Ikon jumlah hit 129 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Pajangan tenun tradisional dengan panjang mendekati 2 meter dan lebar 1 meter di Pasar Inpres di tengah kota Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu tidak begitu terlihat dari jalan utama. Toko pusat tenun tradisional Flores, Zeko Lengo, tersebut agak di dalam pasar. Hanya orang-orang yang sudah pernah mampir ke toko itu paham keberadaan tenun tradisional itu.
Matius Raturedo
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMAMatius Raturedo
Matius Raturedo pemilik toko Zeko Lengo, di Maumere, Sabtu (5 Desember 2015), mengatakan, setiap hari 2 hingga 3 petenun dari desa datang menawarkan kain hasil tenun tradisional. Kain tradisional tersebut berukuran kecil dengan harga Rp 25.000 per lembar sampai dengan kain berukuran 2 meter dan lebar 1 meter dengan harga sampai Rp 1 juta per lembar. Kain tradisional yang para petenun jual ke tempat ini dengan harga Rp 1 juta per lembar itu merupakan termasuk yang paling mahal.
"Saya selalu menerima tenunan dari desa, entah perorangan atau kelompok, dengan harga yang bervariasi. Kadang kain tenunan itu saya tolak karena tempat ini sudah penuh, tetapi mereka kelihatan sangat membutuhkan uang, saya pun terpaksa membeli. Kalau saya tidak beli, mereka mau jual ke mana lagi. Di kota Maumere ini hanya ada dua toko suvenir yang menerima hasil tenun ikat dari masyarakat," tutur Raturedo.
Kain-kain tersebut dijual kepada konsumen dengan harga Rp 50.000 hingga Rp 2,5 juta per lembar. Kain jenis sal (salendang) dijual dengan harga Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per lembar, sementara kain tenun dengan panjang 2 meter dan lebar 1 meter dijual dengan harga Rp 2,5 juta. Kain yang harganya Rp 2,5 juta per lembar biasanya dibeli untuk mas kawin (adat).
Kain tradisional memiliki nilai adat, berapa pun harganya tetap dibeli. Biasanya kain-kain yang mahal dimanfaatkan untuk urusan meminang anak gadis oleh keluarga calon suami sang gadis. Makin mahal kain itu menjadi bukti kian dalam kasih sayang dan kesetiaan suami terhadap istri.
Sekitar 213 desa di Kabupaten Sikka terlibat aktivitas menenun. Setiap bulan, satu desa menghasilkan 3-10 kain tenun tradisional, atau 639 hingga 2.130 kain tenun. Tetapi, tenunan sulit dipasarkan. Sebagian petenun mengirim ke Kupang, Jakarta, atau anggota keluarga di tempat lain untuk dipasarkan. Namun, sebagian petenun rutin mengantar tenunannya ke Zeko Lengo.
Pinjaman bank
Raturedo mengatakan, ia memulai usaha dengan berdagang tekstil tahun 1976 hingga 1992. Pada tahun 1992 terjadi gempa bumi dan tsunami di Maumere menyebabkan seluruh bangunan di pasar itu hancur, termasuk tokonya.
Pada 1999 Dinas Koperasi Sikka membantu kelompok usaha kecil menengah di sana. Ia pun mendapatkan dana usaha kecil senilai Rp 4 juta. Dana ini dilunasi tahun 2000. Namun, ketika hendak meminjam tahap kedua, ia ditolak dengan alasan yang tidak jelas.
Tahun 2003, ia meminjam uang dari BRI senilai Rp 30 juta dengan jaminan rumah dan tanah. Lunas tahun 2005, dia ditawari pinjaman baru Rp 50 juta tahun 2006. Dia ditawari lagi pinjaman Rp 100 juta untuk tenggat lima tahun masa pengembalian uang.
"Uang pinjaman itu saya gunakan membeli kain tenun tradisional dari desa. Dengan uang itu, petenun bisa mendapatkan uang. Kalau saya tidak beli, mereka ke mana. Tradisi menenun ini bukan hanya tanggung jawab warga desa, melainkan semua pihak. Dengan membeli kain itu, kegiatan mereka pun lancar, dan tradisi menenun pun digiatkan lagi," tutur Raturedo.
Raturedo tidak hanya membeli, tetapi juga membina para kelompok petenun. Saat ini ia memiliki 13 kelompok tenun ikat. Para petenun ini diarahkan untuk menghasilkan kain yang sesuai selera konsumen, antara lain tidak mudah luntur, lebih halus, dan ukuran kain layak dipakai. Kain tenun sikka terkenal panjang dan motif bervariasi. Tenun sikka berbeda dengan tenun rote ndao atau tenun sabu, yang lebih pendek jika dikenakan sebagai sarung.
Kelompok tenun ikat itu tersebar di lima desa dengan anggota 85 orang. Sebagian besar adalah kaum perempuan berusia 25-50 tahun. Mereka juga membentuk koperasi simpan pinjam untuk saling membantu modal usaha.
Bisnis sekaligus menggairahkan tradisi menenun ini memberikan keuntungan ekonomi bagi Raturedo. Selain harta, dia juga menyekolahkan anak-anak sampai ke perguruan tinggi.
Raturedo kini membuka cabang Zeko Lengo di Pasar Perumnas Maumere, sekitar 5 kilometer dari Pasar Inpres Maumere. Di perumnas, tempat usaha itu dikelola anak pertamanya, Vinsensia Ermina Pala (38). Ia sedang berupaya membuka cabang suvenir tenun ikat di Labuan Bajo dan Kupang.
Di pusat suvenir Zeko Lengo Inpres Maumere terdapat 2.000 lembar kain tenun tradisional dari sejumlah kabupaten di NTT, seperti Sikka, Ende, Flores Timur, Lembata, Alor, Ngada, Sumba, Rote, dan Sabu Raijua. Kain tenun dari luar Sikka itu diperoleh saat pameran bersama di Kupang.
"Selain tenun, saya juga menerima dompet, tas, baju-baju, madu dari kelompok tani, dan gerabah tradisional dari desa-desa. Ada yang menjual langsung, tetapi ada pula yang hanya menitipkan barang untuk dijual seperti madu dan gerabah," katanya.
Turis-turis asing sering datang ke tempat itu membeli kain tenun dan suvenir lain. Kunjungan turis asing terbanyak April-November, sementara pada Desember-Maret sangat sepi. Turis asing lebih suka tenun bekas karena memiliki bau sangat khas.
Namun, konsumen dari dalam negeri lebih suka tenunan terbaru. Konsumen dalam negeri selalu hadir sepanjang tahun. Biasanya mereka itu jalan dalam bentuk rombongan, dan melakukan perjalanan di sejumlah kota di Flores kemudian singgah di Maumere.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/30/Gairahkan-Tenun-dari-Desa
- Log in to post comments
- 178 reads