Sebagai petani, pembina, dan prosesor kopi Ngada, Felix Soba Meo (49) berupaya mempertahankan ekosistem kopi Ngada yang semakin tergerus karena alih fungsi lahan kopi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
Luas perkebunan kopi yang makin menyusut tidak menghalangi langkah Felix Soba Meo (48) untuk mengembangkan kopi arabika organik dari Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Bersama Kelompok Tani Nola Wonga, dia menjaga warisan wangi kopi arabika dari para leluhur.
Saat ini, keberadaan kopi arabika organik dari Ngada sedang terancam. Luas lahan perkebunan kopi 8.000 hektar menyusut menjadi kurang dari 6.000 hektar dalam lima tahun terakhir. Ada kekhawatiran kopi yang telah mengangkat pamor kopi Flores yang mendunia ini bakal punah.
Sejumlah petani kopi mengalihfungsikan lahan menjadi tanaman hortikultura. Tanaman umur pendek, seperti sawi, kol, wortel, dan timun, dianggap lebih menguntungkan. Beberapa petani juga menanam jahe merah. Satu tahun, tanaman itu bisa dipanen tiga kali dan mendapatkan keuntungan berlipat karena dibutuhkan di pasaran.
”Saya prihatin atas kondisi ini. Sangat disayangkan, luas kebun kopi makin menyusut. Mestinya lahan kopi bertambah karena masih banyak lahan kosong di Ngada. Sebagai petani kopi, saya telah menikmati kopi sejak kecil bersama orangtua. Saya terpanggil untuk menjaga kopi arabika organik ini,” kata Felix saat dihubungi di Bajawa, Ngada, Minggu (19/2/2023).
Pada 2014, ia membentuk kelompok petani kopi Nola Wonga di Dusun Wolowae, Desa Wawowae, Bajawa. Kelompok yang beranggotakan 25 kepala keluarga ini diharapkan bisa mempromosikan keunggulan kopi arabika organik dari Ngada. Mereka mengelola 18 hektar kebun kopi, termasuk lahan kopi seluas 2 hektar milik Felix dari warisan orangtua.
Dalam kelompok, Felix berperan sebagai pembina. Tak hanya membina para petani di Nola Wonga, tetapi juga kelompok tani kopi lainnya. ”Saya ajarkan mereka cara memupuk, memangkas, dan selalu memperhatikan kondisi daun, bunga, dan terus mengamati saat berbuah. Cara petik, pangkas, pupuk, dan menjaga pohon pelindung kopi. Terkadang saya turun langsung, pantau setiap lahan kopi kelompok tani. Jika ada masalah, saya langsung beri masukan,” kata Felix.
Ia mengajarkan petani kopi agar tetap bertahan dengan kopi. Tanaman hortikultura bisa disisipkan di sela-sela kopi. Meski di bawah bayang-bayang kopi, tanaman itu tetap tumbuh kalau diberi pupuk dan mendapatkan sinar matahari. Lahan kopi tidak harus diganti dengan tanaman lain.
Untuk mempertahankan keberlanjutan kopi, Felix membagikan 27.000 anakan kopi secara cuma-cuma kepada beberapa kelompok tani binaannya. Ia berharap anakan kopi itu bisa memperluas areal kopi yang ada atau menggantikan pohon kopi yang sudah berusia di atas 40 tahun.
Selain itu, untuk mendukung keuangan anggota kelompok, ia membentuk usaha simpan pinjam. Ia menanamkan modal sebesar Rp 45 juta, kemudian setiap anggota wajib menyertakan modal untuk usaha simpan pinjam senilai Rp 200.000 per kepala keluarga. Dalam perjalanan usaha itu, Felix menambah lagi modal usaha Rp 100 juta. Hingga kini, bunga dari usaha simpan pinjam ini hampir Rp 10 juta.
”Ini bukan koperasi. Jika ada anggota kelompok yang butuh uang, bisa meminjam uang itu. Kami khawatir mereka terlibat sistem ijon dari para tengkulak kopi yang datang dari luar. Dengan usaha simpan pinjam ini, mereka bisa terbantu saat membutuhkan uang,” tutur Felix.
Dukungan untuk para petani kopi juga diwujudkan Felix dengan membagikan plastik yang dipakai untuk menjemur kopi dengan menggunakan solar dryer dome. Dengan demikian, kopi yang dijemur cepat kering dan terbebas dari debu atau kotoran lain. Felix juga menyediakan huller atau alat pengupas kulit kopi gabah dan rak jemur. Sejumlah petunjuk praktis diberikan kepada petani agar kualitas kopi terjaga baik. Semua petani kopi harus punya pemahaman yang sama untuk menjaga kepercayaan konsumen dengan tetap mengikuti prosedur pemrosesan kopi yang diajarkan Felix.
Untuk roasting kopi, Felix mengerjakannya sendiri pada akhir pekan. ”Tidak semua bisa melakukan itu. Ada yang bisa, tetapi dilakukan setengah-setengah, terburu-buru, dan asal jadi. Mereka tidak memperhatikan warna dan tekstur kopi yang diinginkan. Proses akhir itu upaya menjaga, merawat, dan membangun keberlanjutan penjual dan pembeli,” tuturnya.
Tujuan akhirnya adalah menjaga harum aroma kopi arabika organik Ngada yang sudah mendapat pengakuan penikmat kopi tingkat internasional, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, sejak 2012. Kopi ini pun memenangi sejumlah festival kopi dan perlombaan lain karena cita rasa yang khas.
Menjadi pengusaha
Kabupaten Ngada dikenal di kalangan penikmat kopi karena kopi arabika organiknya. Kopi Ngada dan Manggarai sering disebut kopi Flores. Kopi ini seakan mewakili kebun kopi di sembilan kabupaten di Flores. Kopi Ngada tumbuh di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl), di bawah hamparan lembah Gunung Inerie (2.245 mdpl). Kopi ini masuk dalam perlindungan indikasi geografis pada 2011.
Tidak cukup sebagai petani, pembina, dan pengolah kopi, Felix juga memilih terlibat langsung sebagai pengusaha kopi sejak 2012. Pilihan sebagai pengusaha ini agar hasil produk kopi petani bisa dibeli dengan harga yang berpihak kepada petani. ”Jangan sampai orang dari luar datang membohongi petani dengan harga yang murah, apalagi memborong buah kopi saat masih hijau di pohon,” katanya.
Kopi dibeli gelondongan (merah) Rp 14.000 per kg dan gabah basah Rp 26.000 per liter. Namun, dalam tiga tahun terakhir, ia memilih membeli jenis green bean (biji mentah) seharga Rp 90.000-Rp 100.000 per kg. Green bean disesuaikan dengan kesukaan (pesanan) konsumen. Kopi ini bersumber dari kebun pribadi, anggota kelompok binaan Felix, dan anggota kelompok lain yang tersebar di tiga kecamatan penghasil kopi, yakni Bajawa, Golewa, dan Golewa Barat. Setiap tahun, ia mengumpulkan sampai 80 ton kopi green bean.
Ia memiliki lima pelanggan tetap dari Medan (dua pelanggan), Jakarta (dua pelanggan), dan Samarinda (satu pelanggan). Para konsumen itu bisa memesan hingga belasan ton dalam setahun. Selain itu, masih ada konsumen yang memesan secara tidak rutin. Terdapat pula konsumen di luar negeri, yakni di Jepang dan China. Setiap konsumen memesan ratusan kilogram green bean.
Ia mengatakan, sejak 6 Januari 2023 stok kopi habis. ”Sejumlah pesanan tidak bisa terlayani. Stok terakhir diambil konsumen dari Jepang pada 6 Januari 2023. Kopi arabika organik ini sangat diminati,” kata Felix.
Permintaan kopi arabika Ngada terus berdatangan di saat lahan kopi terus dialihfungsikan untuk tanaman hortikultura dan jahe. Padahal, keuntungan dari budidaya kopi ini sangat tinggi meski hanya dipanen satu kali dalam setahun.
Untuk meyakinkan para petani kopi, Felix membuka kafe kopi di Bajawa. Di situ ia juga menjual produk-produk kopi Ngada. Ini untuk meyakinkan masyarakat bahwa kopi Ngada bisa mendukung ekonomi masyarakat lebih baik. Anak-anak muda dan orangtua yang nongkrong di tempat itu diajak mempertahankan ekosistem kopi Ngada.
”Jangan tergiur dengan tanaman hortikultura. Jenis tanaman ini bisa ditemukan di mana-mana, tetapi kopi arabika organik dengan cita rasa yang tinggi ini sangat jarang. Lahan di Ngada masih luas, mengapa harus korbankan kopi yang sudah mengharumkan Ngada di tingkat nasional dan internasional,” katanya.
Felix Soba Meo
Lahir: Bajawa, 24 Agustus 1974
Istri: Maria Consita Pede
Anak: 3
Pendidikan Terakhir: Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Yogyakarta (2014)
Editor:
MARIA SUSY BERINDRA
- Log in to post comments