Pusaka Bahari
Besi Luwu, yang Tersisa dari Kehebatan Metalurgi Nusantara
Ahmad Arif
8 Agustus 2015
Lima abad silam, masyarakat di Danau Matano, pedalaman Luwu, Sulawesi Selatan, telah mahir menempa batu menjadi perkakas besi. Kini, Luwu masih produsen logam, tetapi dalam bentuk mentah dan seluruhnya diekspor.
Komunitas Pompessi mengumpulkan bilah-bilah besi berupa parang, keris, dan badik yang mereka temukan di dasar Danau Matano, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/7). Mereka merupakan generasi muda yang peduli pada jejak metalurgi leluhur.
KOMPAS/EDDY HASBYKomunitas Pompessi mengumpulkan bilah-bilah besi berupa parang, keris, dan badik yang mereka temukan di dasar Danau Matano, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/7). Mereka merupakan generasi muda yang peduli pada jejak metalurgi leluhur.
Kepandaian menempa logam, menurut sejarawan Anthony Reid (2014), merupakan penciptaan kekuasaan. Sebab, logam terutama dipakai mencipta senjata, baru setelahnya untuk alat pertanian.
Maka, mereka yang memiliki kepandaian mengolah logam, dalam bahasa Jawa disebut pande (pandai), dan bahasa Bugis panre, memiliki posisi penting. Bahkan, bisa menjadi penguasa. Sebagai contoh, raja kedua Bone memakai gelar Petta Panre Besi atau ”Tuan Kita Pandai Besi”. Adapun dalam tradisi rakyat Jawa Barat dikenal Ciung Wanara, pandai besi yang kemudian merebut takhta Galuh.
Pada masa lalu, kejayaan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan maritim tak lepas dari dukungan industri senjata logam.
”Majapahit butuh banyak persenjataan kuat, ringan, dan mudah ditempa. Karakter besi Luwu yang kaya nikel mampu memenuhi kriteria itu,” kata Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin, Makassar.
Besi Luwu yang mengandung nikel itu merupakan bahan pamor yang memberi nilai lebih pada senjata Majapahit yang terkenal elok buatannya, terutama keris dan pedang, sehingga, seperti disebut Tome Pires (1515), diekspor hingga ke India.
Keberadaan pamor itu menandai kemajuan ilmu dan teknologi metalurgi masa lalu. Penelitian ahli fisika nuklir, Haryono Arumbinang, tahun 1990-an terhadap sejumlah keris di Jawa Kuno, misalnya, menemukan pamor dalam tosan aji mengandung besi (Fe) dan arsenikum (As). Selain itu, unsur yang dominan dijumpai adalah titanium (Ti), selain nikel (Ni).
Itu menunjukkan kemampuan masyarakat pada masa itu dalam mengolah aneka jenis logam dan menempanya dalam satu bilah senjata. Di dunia modern, titanium dan nikel dikenal sebagai logam berkualitas karena kuat, ringan, dan nirkarat.
Kehebatan tosan aji Nusantara itu, utamanya dari pusat-pusat peradaban bahari di masa lalu, akan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, 11-16 Agustus 2015. Ratusan senjata pusaka khas bahari milik komunitas dan kolektor dari Luwu-Bugis, Makassar, Cirebon, Medan, dan Jawa akan dipamerkan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menurut rencana akan membuka pameran.
Jejaring pelayaran
Tanpa material baik, seorang pandai besi takkan bisa menciptakan pusaka berkualitas. Dalam konteks itulah Luwu muncul dalam peta pelayaran armada Majapahit, sebagaimana disebut dalam Nagara Krtagama karya Empu Prapanca pada 1365. Tak hanya itu, menurut Iwan Sumantri, ada kemungkinan Majapahit juga membangun pengolahan logam di Luwu, yang dibuktikan dengan temuan sejumlah fragmen bata merah sisa gilde atau permukiman komunitas Jawa di wilayah yang kini dikenal sebagai Tampung (Kampung) Jawa, di Kecamatan Malangke, Luwu Utara.
KOMPAS NEWSPAPERSejak abad ke 13-14 Masehi kawasan danau Matano dan Sorowaku, Luwuk Timur, Sulawesi Selatan, sudah terkenal dengan biji besi dan Nikelnya. Pada masa itu biji besi dan nikel digunakan untuk bahan baku senjata, seperti keris dan badik. Potensi biji besi dan nikel itu pulau membuat hubungan antara kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Luwu berkembang.
Jejak interaksi Luwu dengan Majapahit, kata Iwan, juga bisa dibaca pada lontara I La Galigo, yang mengisahkan pernikahan putra dari Simpurusiang (raja ketiga Luwu) bernama Anakaji dengan putri Majapahit (Majampai) yang berparas seperti putri Tiongkok (tappacina).
Hingga pertengahan abad ke-17, besi Luwu masih merupakan ekspor utama Sulawesi ke Jawa (Speelman, 1607). Bahkan, menurut Harsrinuksmo (2011), hingga tahun 1930-an, besi Luwu masih diperdagangkan di Pasar Gede, Surakarta. Tiap kati (sekitar 0,6 kg) besi Luwu dijual 2 gulden 25 sen.
Pamor yang pudar
Penelusuran ke Desa Matano, Kabupaten Nuha, Luwu Timur, pertengahan Juli 2015, tak menemukan satu pun panre besi di kawasan itu. Hanya ada terak besi dan jejak arang pembakaran yang berserak di tepi danau. Kejayaan panre besi dari Danau Matano tinggal cerita.
Menurut kesaksian Haji Lahab Hasyim (61), sekitar awal tahun 1960-an, ia masih sering membantu ayahnya bekerja di komali (bengkel pandai besi). ”Saat itu, kebanyakan kami membuat perkakas pertanian, selain juga senjata,” katanya.
Namun, pada tahun-tahun itu, pengolahan batu menjadi besi tidak lagi dipraktikkan. Para pandai besi hanya mengolah besi sisa-sisa masa lalu ataupun besi yang diimpor. Pengolahan batu menjadi besi terakhir masih dilakukan di era kakek Lahab.
Pada periode itu, masih menurut Lahab, sebagian besar penduduk Matano bekerja sebagai pandai besi. ”Batu untuk bahan besi pamor diambil dari Gunung Pongko. Bahan besi baja dari tempat lain lagi,” ujarnya, menyebut bukit di belakang desa. ”Setelah dibakar, dua karung batu (sekitar 100 kg) hanya jadi satu genggam besi.”
Memasuki tahun 1970-an, kegiatan pandai besi di Desa Matano terhenti total. Para pandai besi dan keturunannya meninggalkan komali mereka dan beralih profesi menjadi petani atau bekerja di PT Inco—sekarang menjadi PT Vale Indonesia—yang membuka penambangan nikel di Sorowako.
Hingga kini, Lembah Matano masih merupakan produsen utama nikel dunia. Bahkan, cadangan nikelnya, yang merupakan bagian dari East Sulawesi Ophiolite itu, terbesar di dunia setelah Oman dan Papua Niugini. Pada 2014 saja, PT Vale mengekspor 79.000 ton bijih nikel ke Jepang. Di Jepang, nikel ditempa dan kita kemudian mengimpornya dalam produk jadi: dari otomotif hingga elektronik.
Pada masa lalu, kekayaan mineral alam Luwu mampu menjadi generator bagi industri pengolahan logam, baik dalam skala lokal maupun nasional. Inilah salah satu ironi negeri ini.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/08/Besi-Luwu%2c-yang-Tersisa-dari-Kehebatan-Metalurgi-N
-
- Log in to post comments
- 1200 reads