BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Berharap dari Tetes Air Batang Pisang

KEKERINGAN
Berharap dari Tetes Air Batang Pisang
Kornelis Kewa Ama
3 Agustus 2015

Markus Antonius Nurak (24), setiap pagi dan sore, meletakkan jeriken isi 5 liter di samping batang pisang yang dilubangi di bagian pangkalnya di ladang. Di lubang itu dipasang belahan bambu untuk mengalirkan tetes demi tetes air ke jeriken.
Pelepah pisang dimanfaatkan sebagai pipa yang mengalirkan air dari batang pisang menuju wadah yang telah disiapkan.
Kompas/Kornelis Kewa AmaPelepah pisang dimanfaatkan sebagai pipa yang mengalirkan air dari batang pisang menuju wadah yang telah disiapkan.

Satu jeriken air ini diperoleh selama hampir 15 jam. Kalau jeriken diletakkan pukul 18.00 Wita, esok pagi sekitar pukul 09.00 Wita jeriken sudah penuh air, tetapi itu pun tergantung dari besar kecilnya batang pisang. Jika batang pisang kerdil, tidak sampai satu jeriken,” kata Markus, warga Desa Iligay, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, minggu lalu.

Markus sering kali harus meninggalkan pekerjaannya sebagai pengojek untuk menunggui tetesan air dari batang pisang memenuhi jerikennya, dari pagi sampai siang. Dia harus mengontrol posisi jeriken agar tidak miring atau roboh. Dia juga harus menjaga air yang tertampung di jeriken agar tidak diambil orang lain. Setelah jeriken penuh air, barulah anak pasangan Agustinus Nikolaus dan Angelina Mercy itu pulang.

Saat Markus mencari penumpang, adik bungsunya, Maria Florensa (10), yang menggantikannya. Maria pun harus bolos sekolah untuk menunggui tetesan air dari batang pisang memenuhi jeriken.

Air itu terutama digunakan untuk minum dan memasak. Kepala Dusun Bauletet, Desa Iligay, 25 kilometer arah barat daya Maumere, Yohanes Petrus Puan mengatakan, kebutuhan untuk mandi dan mencuci bisa ditangguhkan sampai satu pekan. Namun, untuk minum dan memasak harus selalu tersedia setiap saat.

”Kami mandi dan mencuci pakaian hanya sekali dalam satu pekan pun tak masalah, yang penting bisa minum dan memasak. Kalau orang dewasa, mereka bisa tahan haus, tetapi anak-anak tidak bisa tahan haus, apalagi di tengah terik matahari yang menyengat,” ujar Yohanes.

Karena kesulitan mendapatkan air bersih, tak jarang anak-anak pergi ke sekolah tanpa mandi terlebih dahulu. Sebanyak 2.433 warga Desa Iligay saat ini kesulitan mendapatkan air bersih. Mata air terdekat yang berjarak sekitar 5 kilometer dari desa itu pun lokasinya sulit karena harus melalui tebing yang curam.

Warga yang punya uang cukup dapat mendatangkan mobil tangki air dari Maumere dengan harga Rp 450.000-Rp 1 juta per tangki, tergantung dari negosiasi, jarak, dan waktu. Jika permintaan air bersih itu mendadak pada malam hari, harga air naik hingga Rp 1 juta per tangki.

Karena itu, saat kemarau tiba, warga bergerak dengan berbagai cara mendapatkan air bersih untuk kebutuhan minum, memasak, mencuci, dan mandi. Paling utama adalah mendapatkan untuk minum. Jika masih ada kelebihan, dipakai untuk memasak, mandi, dan mencuci.

Anak sekolah, remaja, dan orangtua terlibat untuk mencari air dengan berbagai upaya hingga ke hutan.

Berburu air
Markus Antonio Nurak, tukang ojek, sedang memasang pipa darurat dari batang pisang yang menetaskan air, untuk dialirkan ke dalam wadah.
Kompas/Kornelis Kewa AmaMarkus Antonio Nurak, tukang ojek, sedang memasang pipa darurat dari batang pisang yang menetaskan air, untuk dialirkan ke dalam wadah.

Perburuan air bersih itu berlangsung sejak desa itu terbentuk tahun 1950-an.

Pekerjaan memburu air tersebut merupakan pemandangan umum di Desa Iligay. Hampir tidak ada mata air di desa itu. Kalaupun ada, sudah kering atau debit airnya sangat sedikit.

Selain dari batang pisang, warga biasanya mengambil air dari batang pohon peri dan pohon lawan. Untuk mendapatkan air dari kedua pohon itu, terlebih dahulu ranting-ranting pohon ditebang. Setelah dibiarkan 5-7 hari, salah satu akar pohon itu dilukai.

Air pun mengalir melalui akar pohon yang dilukai itu. Satu pohon bisa menghasilkan 5-10 liter air, tergantung dari besar atau kecilnya pohon itu. Pohon yang makin rimbun, dengan bentuk batang makin besar, menghasilkan air hingga 10 liter. Batang pohon kerdil hanya menghasilkan 5 liter air.

”Selama ini tidak ada keluhan warga setelah mengonsumsi air batang pisang atau pohon peri dan lawan. Kebiasaan minum air dari pisang atau pohon ini sejak nenek moyang menempati desa ini,” ujar Yohanes.

Ny Margaretha Retha (48) mengatakan, ibu rumah tangga sangat tersiksa, terutama pagi. Saat itu, anak-anak sekolah harus segera ke sekolah dan suami ke ladang atau ke tempat kerja. Mereka butuh sarapan atau bekal sekolah secepat mungkin. ”Lebih mudah mendapatkan beras dan bahan pangan lain daripada air bersih,” kata Retha.

Kesulitan air dirasakan warga sejak Juni. Selama musim hujan, warga mengonsumsi air hujan yang ditampung pada bak penampung di rumah warga. Namun, setelah hujan berhenti pada Maret, air itu hanya bertahan hingga Mei. Hampir tidak pernah ada bantuan air bersih dari pemerintah karena anggaran terbatas.

Anggota DPRD Sikka, Darius Evensius, mengatakan, ada tiga desa di Kecamatan Lela yang sangat kesulitan air bersih selama kemarau. Selain Desa Iligay, ada Desa Baopat dan Desa Hepang. Saat ini, 88 desa dari total 147 desa di Sikka mengandalkan air tangki atau usaha lain.

Oswaldus, anggota DPRD NTT, mengatakan akan berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum NTT untuk melakukan survei di sejumlah desa di Sikka yang kekeringan. Jika ada sumber air atau potensi air yang dapat dimanfaatkan, akan diupayakan untuk warga.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sikka Fred Jen mengatakan, pihaknya telah menyurvei dan menemukan sumber air di Desa Iligay. Namun, debit airnya hanya 2 liter per detik sehingga hanya cukup memenuhi kebutuhan warga di dua dusun. ”Kami akan survei lanjutan setelah 17 Agustus untuk mendapatkan sumber air dengan debit yang cukup untuk membantu warga,” ujarnya.

Sumber: http://batukarinfo.com/

Related-Area: