BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Bergandengan Tangan Menjaga Kedamaian Tanah Tolikara

rekonsiliasi
Bergandengan Tangan Menjaga Kedamaian Tanah Tolikara
23 Juli 2015

Situasi mencekam pasca insiden di Karubaga, Kabupaten Tolikara, pada 17 Juli 2015 telah berlalu. Seluruh warga bersatu dan mengusung semangat Kumbiwaruwok yang berarti bergandengan tangan demi perdamaian selamanya di wilayah Lembah Toli itu.
Ketua Gereja Injili di Indonesia Cabang Tolikara dan Ustaz Ali Muchtar, yang merupakan perwakilan pengungsi korban insiden di Tolikara yang terjadi Jumat pekan lalu, melakukan salam khas Papua di Markas Koramil 1702-11 Karubaga, Tolikara, Rabu (22/7).
KOMPAS/FABIO M LOPES COSTAKetua Gereja Injili di Indonesia Cabang Tolikara dan Ustaz Ali Muchtar, yang merupakan perwakilan pengungsi korban insiden di Tolikara yang terjadi Jumat pekan lalu, melakukan salam khas Papua di Markas Koramil 1702-11 Karubaga, Tolikara, Rabu (22/7).

Rabu (22/7), sekitar pukul 10.00 WIT, suhu udara di Karubaga sekitar 20 derajat Celsius. Jika malam hari sampai pagi terutama pukul 23.00-07.00 WIT, suhu udara berkisar 10-14 derajat celsius. Suhu seperti itu selalu terjadi di semua wilayah pegunungan tengah Papua, seperti Puncak dan Lanny Jaya.

Pagi itu, sekitar 200 orang terdiri warga asli Papua yang juga aktivis gereja setempat bersama umat Muslim dan aparat TNI/Polri di Tolikara memadati sebuah lahan seluas 15.000 meter persegi. Di tempat itu, masih ada sisa puing-puing bangunan 54 kios dan sebuah mushala yang dibakar sekelompok warga pada Jumat lalu.

Mereka bersama-sama membersihkan puing-puing sisa bangunan, mengangkat seng dan sisa kayu yang terbakar. "Saya sangat senang kami bisa beraktivitas bersama lagi. Inilah kehidupan kami di Tolikara yang sebenarnya," ujar Lince Wenda (29), aktivis gereja setempat.

Aki Yikwa, warga asli Tolikara lainnya, juga turut terlibat dalam kegiatan itu. Perempuan 67 tahun itu tampak sibuk mengangkat puing-puing dari bangunan kios yang terbakar.

Kios milik Aki juga terbakar. Ia tak sempat menyelamatkan uang Rp 25 juta yang tersimpan di dalam kios. Saat kejadian itu, Aki masih menyiapkan kue di rumahnya. Namun, nenek empat cucu ini tidak dendam kepada pelaku pembakaran. Ia berharap kedamaian di Tolikara langgeng selamanya. "Setiap hari saya menjual berbagai jenis kue di tempat ini. Menurut rencana, saya mau menabung uang itu di bank. Namun, nasib saya kurang beruntung. Yang penting, perdamaian telah tercapai dan saya ingin kembali berjualan kue," ujar Aki.

Suryadi (23), warga lainnya juga menyatakan hal serupa. Pedagang pakaian asal Bone, Sulawesi Selatan, ini mengadu nasib di Tolikara sejak 2008. Pemuda ini meyakini musibah itu sudah digariskan Tuhan. "Saya berharap pihak-pihak di luar Tolikara tak lagi membuat masalah baru karena insiden ini sudah terselesaikan," ujarnya.

Minta maaf

Semangat warga Tolikara untuk membangun rekonsiliasi tidak berhenti seusai kerja bakti. Ketua Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Cabang Tolikara Nayus Wenda dan Ustadz Ali Muchtar selaku perwakilan dari ratusan pengungsi dipertemukan Bupati Usman Wanimbo di lokasi tersebut. Keduanya saling berpelukan erat dan mengucapkan janji untuk menjaga perdamaian di Tolikara. Suasana haru menyertai momen itu.

"Saya selaku pimpinan dari 274 gereja di Tolikara menyampaikan permintaan maaf bagi seluruh warga yang terganggu. Kejadian ini sungguh di luar dugaan kami. Sebab, seluruh warga di sini meski berbeda agama telah hidup berdampingan dengan damai selama puluhan tahun," kata Nayus.
KOMPASTV/KOMPASTVTokoh lintas agama, Polri, dan TNI, menggelar pertemuan menyikapi insiden yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua. Dari hasil pertemuan, tercapai pemahaman bahwa peristiwa yang terjadi di Tolikara, murni tindak kriminal dan tidak ada kaitannya dengan konflik agama.

Ali pun mengharapkan, seluruh umat Muslim di seluruh Nusantara tak boleh lagi mengeluarkan komentar negatif dan mengambil tindakan balas dendam. Sebab, seluruh masyarakat di Tolikara telah bersatu.

Minim komunikasi

Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Al Fatah Jayapura Suparto Iribaram mengatakan, penyebab utama insiden itu adalah minimnya komunikasi antarbudaya.

"Karakter masyarakat Papua akan memperjuangkan sesuatu yang diyakininya. Ketika sedang melaksanakan konferensi, kemungkinan besar mereka sama sekali tidak mengetahui tata cara dan betapa penting makna shalat Id bagi kaum Muslim," ujar Suparto.

Ia pun menuturkan, ajaran GIDI lahir di Tolikara. Itulah membuat mereka begitu dominan mempertahankan keyakinannya. "Sikap mereka seperti mencontohi daerah lain di Indonesia, misalnya Aceh yang dijuluki 'Serambi Mekkah'. Seharusnya media massa tak membuat pemahaman sepihak atas insiden ini," katanya.

Bahkan, dalam pandangannya, ketimpangan ekonomi bukanlah pemicu utama terjadinya insiden itu. "Justru masyarakat setempat sangat membutuhkan para pedagang ini agar tidak kekurangan bahan kebutuhan pokok," tambahnya.

Bupati Tolikara Usman Wanimbo menilai toleransi beragama di Tolikara telah terpelihara sejak puluhan tahun. "Kami telah hidup rukun dan harmonis bersama kaum Muslim sejak tahun 1989. Insiden ini hanya terjadi dua jam. Namun, banyak pihak yang sengaja membesar- besarkan masalah ini," ujarnya.

(FABIO M LOPES COSTA)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/07/23/Bergandengan-Tangan-Menjaga-Kedamaian-Tanah-Tolika

Related-Area: