BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Bangun Kampung Melalui Ternak Sapi

Kesejahteraan Daerah
Bangun Kampung Melalui Ternak Sapi

Oleh: Khaerul Anwar 

BETERNAK sapi bagi masyarakat pedesaan di Indonesia merupakan tradisi turun-temurun. Hanya dengan pola pemeliharaan yang kurang baik, ditambah mitos yang tidak mendorong percepatan jumlah populasi, membuat peternak tidak mendapat nilai ekonomis dari usaha ternak ruminansia itu.

Dalam enam tahun terakhir, persoalan itu ditemukan jawabannya oleh Kelompok Peternak Rezeki Nomplok di Lingkungan Juring, Kelurahan Gerantung, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Yasir (45 tahun), Ketua Kelompok Peternak Rezeki Nomplok, mengatakan, di kampungnya, pemeliharaan ternak sapi bali dengan pola kandang kumpul (kolektif). Kandang yang dibangun tahun 2003, bersamaan dengan berdirinya kelompok itu, tidak dibersihkan dari kotoran sapi yang dibiarkan menggunung. Kandang berlantai tanah menjadi sangat becek di musim hujan, hingga membuat sapi sakit-sakitan dan tidak sedikit induk dan anaknya mati.

Kematian ternak itu lalu dikaitkan dengan mitos: lokasi kandang sebagai tempat mahluk halus yang merasa terganggu. Berkali-kali kandang dipindahkan lokasinya, namun hasilnya tetap, sapi-sapi itu tidak sehat. Hal ini menyurutkan warga memelihara sapi, apalagi model bagi hasil yang disebut ngadas atau kadas dinilai kurang menguntungkan. Sistem ngadas dilakukan dengan cara yakni pemilik menyerahkan pemeliharaan sapi (biasanya induk) kepada orang lain, dan anak pertama sapi itu menjadi milik pengadas (pemelihara), sedang anak kedua jatah pemilik induk sapi. Begitu seterusnya, dan induk tetap menjadi hak si pemilik.

Secercah harapan muncul, ketika Australian Centre for Internatinal Agricultural Research (ACIAR), bekerja sama dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram, tahun 2008, memilih lingkungan berpenduduk 157 jiwa (42 keluarga) itu menjadi obyek penelitian dan pengembangan sapi.

Pada tahun yang sama, 10 warga mendapat bantuan masing-masing satu ekor sapi dari Dinas Sosial Lombok Tengah, sehingga menambah populasi sapi yang dibeli secara swadaya oleh masyarakat. Adapun lokasi kandang disewa peternak dengan nilai 15 kilogram gabah tiap orang per tahun.

Melalui pendampingan petugas ACIAR, peternak diajarkan menjaga kesehatan ternak dengan membersihkan kandang secara rutin. Lantai diberi semen kasar, dan tiap petaknya dibuat selokan penampung kotoran. Diajarkan pula kebutuhan pakan ternak sapi per hari (10 persen dari berat badan), serta mengombinasikan bahan pakan lokal (daun turi dengan rumput). Dengan kombinasi pakan ini belakangan diketahui terjadi peningkatan berat badan 0,6 kg per ekor sapi setiap hari.

Sistem bagi hasil yang lama diubah menjadi pola bagi hasil: 70 persen pengadas berbanding 30 persen pemilik. Artinya, ketika anak sapi yang dilahirkan berusia tiga bulan, ditaksir harganya. Jika dijual, hasil penjualan dibagi menurut ketentuan itu. Persentase pembagian sama ditempuh apbila induk sapi dijual. Pola bagi hasil ini membuat peternak bergairah, bahkan ada yang selama berpuluh-puluh tahun mejadi pentonton, kini memiliki ternak sapi.
Tiga S

Sasaran penelitian dan pengembangan itu adalah 3S: satu ekor betina bisa melahirkan sekali setahun yang selama ini kelahiran hanya mencapai dua ekor per tiga tahun. Caranya, sapi betina dan pejantan dikawinkan secara alami. Begitu masa berahi tiba atau 40 setelah melahirkan, sapi betina dikawinkan lagi. Selama proses kehamilan berjalan, betina disediakan pakan yang cukup dan kandang bersih. Strategi ini membuahkan hasil, seekor induk melahirkan sekali setahun.

Tahrim (46 tahun) adalah yang merasakan keberhasilan pengembangan sapi di Lingkungan Juring. Ia semula pengadas dua ekor induk sapi milik tetangganya. Dengan sistem bagi hasil dan pemeliharaan yang intensif, ia mendapatkan anak sapi dua ekor setahun. Dalam waktu tertentu, ia menjualnya seharga Rp 15 juta per ekor dengan berat badan hidup 400 kilogram.

Hasil penjualan itu, setelah dibagi dengan pemiliknya, digunakan Tahrim memperbaiki rumah, mencukupi kebutuhan makan-minum tiap hari, biaya sekolah seorang anaknya di Madrasah Aliyah, juga membeli sepeda motor bekas yang dipakai untuk mencari lokasi menyabit dan mengangkut rumput buat ternaknya. Saat ini Ia memiliki empat ekor sapi betina yang siap melahirkan.

Mahidi (38 tahun) juga meninggalkan bisnis kayu bahan mebel, beralih menjadi peternak sapi tiga tahun ini. Dari hasil menjual kayu, Mahidi membeli seekor induk sapi seharga Rp 5.300.000. Kini ternaknya sapinya berkembang menjadi tiga ekor: induk dan dua anaknya.
Mantan TKI

Ternak sapi di Lingkungan Juring kini berjumlah 92 ekor dan berada di empat unit kandang milik Kelompok Rezeki Nomplok. Anggota kelompok itu 37 orang, dan delapan di antaranya ibu rumah tangga. Para peternak umumnya bekas tenaga kerja Indonesia (TKI). Sebutlah Murniati (35 tahun), yang empat tahun menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia dan tiga tahun di Bahrain. Ia menetap di kampungnya tahun 2005, dan bersama suaminya, Rusdi, juga mantan TKI, membeli seekor induk sapi.

Gaung keberhasilan warga Lingkungan Juring, menjadi obyek kunjungan para peternak luar daerah NTB, bahkan mendorong warga desa tetangga untuk beternak sapi. Busairi (42 tahun), warga Lingkungan Tibubuak, Kelurahan Jontlak, Praya Tengah, mengaku belajar beternak sapi di Dusun Juring. Ia mulai memelihara sapi tahun 2001. Selama tiga tahun, Ia memiliki tiga ekor anak sapi yang dikembangkan dari seekor induk. “Satu ekor yang umurnya setahun saya jual Rp 11 juta,” tutur Busairi.

Para peternak pun benar-benar memanfaatkan sumber daya alam lokal. Misalnya kesulitan pakan di musim kemarau disiati dengan menaman rumput gajah di sawah.

Kesibukan sebagai peternak memberi penghasilan berarti bagi warga Lingkungan Juring, sehingga mereka tidak lagi berpikir jadi TKI atau melakukan urbanisasi ke kota. Mereka mendapat sumber nafkah dan membangun kampung, dengantinggal di kampung sendiri.




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008240855

Related-Area: