BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Anak-anak Berjuang Mengejar Mimpi

NEGERI LIMA
Anak-anak Berjuang Mengejar Mimpi

Oleh: Frans Pati Herin dan A Ponco Anggoro 0 Komentar FacebookTwitter  
Sungai Wai Ela yang membelah Negeri Lima di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, tak pernah berhenti mengalir. Pagi itu, pekan lalu, sungai lebar tersebut sedang surut dan arusnya tidak deras. Anak-anak pun melintas.

Ratusan anak-anak yang melintas itu adalah siswa sekolah dasar (SD) di Negeri Lima. Mereka melintasi sungai itu untuk bersekolah.

Dengan tas di punggung dan salah satu tangan menenteng sepatu, mereka berjalan menyeberangi sungai tanpa alas kaki. Meski bebatuan sungai tajam, kaki mereka terbiasa ”menaklukkannya”. Perlahan-lahan mereka berjalan agar tak terpeleset.

Banjir bandang di Negeri Lima pada 25 Juli 2013 menghancurkan jembatan di atas sungai itu. Sementara jembatan darurat yang dibangun pemerintah pascabencana tidak bisa digunakan. Separuh jembatan tak ada lantainya. Jembatan pun terlihat seperti monumen karena tidak tampak ada pembangunan lanjutan untuk menyelesaikan jembatan.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, setiap hari anak-anak harus berjalan menyeberangi sungai untuk pergi ke sekolah. Perjuangan mereka tidak berhenti di situ.

Setelah mengenakan sepatu masing-masing, seusai menyeberangi sungai, mereka masih harus berjalan sejauh 3 kilometer untuk sampai ke sekolah. Medan perjalanannya naik-turun, amat menguras tenaga.

Kondisi ini berbeda dengan sebelum banjir bandang menerjang. Anak-anak tidak perlu berjalan jauh ke sekolah karena tiga SD berada di tengah permukiman warga. Tiga sekolah itu ikut hancur disapu air bah bersama ratusan rumah warga.

Pascabencana, mayoritas anak-anak yang bersekolah di tiga sekolah itu mengungsi bersama keluarga mereka ke tenda yang berada jauh dari lokasi sekolah darurat. Kedua lokasi itu terpisah oleh Sungai Wai Ela.

”Meski perjuangannya berat, anak-anak masih sangat rajin ke sekolah. Setiap hari hampir tidak ada murid yang tidak masuk,” tutur Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Inpres Negeri Lima Soleman Heluth.

Hal senada diungkapkan Kepala SDN 2 Negeri Lima Siti Aminah Soumena dan sejumlah guru di SDN 1 Negeri Lima. Di tiga sekolah itu, sebanyak 609 anak Negeri Lima mengenyam pendidikan.

Sekalipun sekolah darurat itu berupa tenda, semangat juang anak-anak untuk mengenyam pendidikan tidak luntur.
Kelas tenda

Tenda yang digunakan untuk ketiga SD itu berjumlah 11 unit, masing-masing berukuran 32 meter persegi. Setiap tenda dipakai untuk dua kelas. Pemisahnya hanya kain tipis sehingga suara dari satu kelas dengan mudah terdengar di kelas lain. Kerap terjadi sahut-menyahut murid antarkelas. Pertanyaan guru untuk kelas yang satu kerap dijawab siswa kelas lain.

Agar semua murid cukup di setiap kelas, meja dan bangku terpaksa diposisikan berimpitan sehingga ruang gerak anak-anak sangat terbatas.

Saat cuaca terik, suhu udara dalam tenda sangat menyengat. Berulang kali guru harus mengakali dengan mengajak siswanya mengikuti kegiatan belajar- mengajar di luar tenda. ”Kalau dipaksakan belajar di dalam kelas saat cuaca terik, tak mungkin ada pelajaran yang terserap oleh anak-anak. Guru saja tidak bisa konsentrasi mengajar, apalagi anak-anak,” ucap Adnas Sopalauw, salah seorang guru SDN 1.

Menurut Siti Sarah Suneth, guru lain di SDN 1, tenaga pengajar di tiga SDN di Negeri Lima dituntut kreatif dalam menyikapi beratnya kondisi yang dihadapi anak-anak. Kreativitas itu perlu agar semangat juang anak-anak untuk mengenyam pendidikan tak luntur.

”Guru tidak boleh menyerah dengan situasi dan keadaan yang serba kekurangan seperti ini. Guru harus terus memberikan motivasi kepada anak-anak agar terus belajar. Mereka adalah harapan negara, penerus bangsa ini,” ujarnya.

Motivasi ini yang tampaknya ikut menguatkan semangat juang anak-anak agar tetap mengenyam pendidikan. Salah seorang murid Siti Sarah, Aqwal Soulissa (6), mengatakan, buruknya kondisi belajar-mengajar saat ini tidak melunturkan niatnya untuk terus belajar dan menggapai cita-cita.

”Biar begini, katong (kami) tetap harus belajar untuk dapat katong pung (punya) cita-cita. Beta (saya) ingin jadi guru seperti Ibu Siti yang ajar beta,” kata murid kelas I yang meraih peringkat pertama itu.

Satu-satunya hal yang bisa menggagalkan semangat juang anak-anak itu adalah saat hujan deras. Debit Sungai Wai Ela meningkat, tinggi permukaan air bisa lebih dari 1 meter, dan arus deras. Anak-anak tidak mungkin menyeberangi sungai itu untuk bersekolah.

Saat hujan, tenda dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu bocor. Bahkan, air hujan sering menggenangi tenda dengan ketinggian sekitar 10 sentimeter.

”Pokoknya kalau sudah hujan deras, kegiatan belajar-mengajar pasti ditiadakan. Tidak mungkin anak-anak dipaksakan menyeberangi sungai. Sangat bahaya. Tak mungkin pula belajar-mengajar di tenda tetap digelar karena tenda bocor dan tergenang air hujan,” ungkap Siti Sarah.

Bangunan sekolah yang baru, sebagai pengganti bangunan sekolah yang hancur, belum juga dibangun meski tragedi banjir bandang itu sudah tujuh bulan lalu. Padahal, tinggal beberapa bulan saja ratusan anak dari tiga SD itu menghadapi ujian.

Menurut sejumlah guru di tiga sekolah itu, sekolah belum dibangun karena pemilik lahan tempat ketiga sekolah belum bersedia melepasnya. Sementara bangunan ketiga sekolah itu tak mungkin dibangun di tempat semula karena lokasi tersebut ditetapkan sebagai zona merah yang bisa diterjang banjir bandang dari Sungai Wai Ela.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004986241