BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Agar bahasa ibu di Papua tidak punah

Reporter: Theo Kelen

Jayapura, Papua – Berdasarkan pendataan yang dilakukan Balai Bahasa Papua dan Papua Barat dari 2006 hingga 2019, ada 428 bahasa daerah di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat).

Sebagian besar, 325 bahasa, terdapat di Provinsi Papua dan 103 bahasa di Papua Barat.

Peneliti Bahasa Ahli Muda dari Balai Bahasa Papua dan Papua Barat Yohanis Sanjoko, MA mengatakan ada pendapat sebelumnya yang menyebutkan jumlah bahasa di Papua berkisar antara 272 bahasa. Namun hasil pendataan lembaganya ada 428 bahasa.
Dari 428 bahasa tersebut, kata Sanjoko, ada kencenderungan bahasa-bahasa daerah di Papua tersebut mengarah keterancaman kepunahan, karena jumlah penuturnya mulai berkurang.

“Tapi belum bisa dikatakan punah, karena harus melalui kajian-kajian terlebih dahulu,” katanya kepada Jubi ketika ditemui di kantornya di Jayapura, Papua, Selasa, 2 Februari 2021.

Ia mencontohkan bahasa Nambla di Senggi, Kabupaten Keerom, Papua yang belum bisa dikatakan punah, karena sebagian masyarakat suku itu masih menggunakan bahasa tersebut.

Kemudian bahasa Mapia di Kabupaten Supiori, Papua yang berdasarkan penelitian sebelumnya pada 1970 atau 1980 disebutkan masih tersisa satu orang penutur. Hal itu, menurutnya belum bisa dikatakan punah karena belum ada kajian lanjutan.

 
“Saya belum berani mengatakan punah karena sampai sekarang belum ada kajian lanjutan, apakah yang tersisa satu itu masih ada dan seandainya masih ada apakah dia mewariskan bahasa Mapia kepada generasi-generasi pelapisnya,” katanya.

Jika melihat jumlah penutur yang sedikit, kata Sanjoko, memang ada kecenderungan mulai tergeser mengarah kepunahan.

“Tapi belum dikatakan punah, dikatakan punah berarti bahasa itu sudah tidak ada yang bisa berpenutur bahasa itu,” ujarnya.

Menurut Sanjoko, sebenarnya hampir 20 bahasa di Papua jumlah penuturnya hanya 20 orang. Di antaranya bahasa Saponi di Kabupaten Waropen yang penuturnya hanya tinggal 4 orang. Juga bahasa Woria di Kabupaten Waropen dan beberapa bahasa daerah di Kabupaten Sarmi yang penuturnya di bawah 20 orang.

Berdasarkan kategori UNESCO, kata Sanjoko, suatu bahasa dikategorikan aman jika berpenutur 50.000-an orang. Nah, di Papua yang masuk kategori tersebut hanya dua bahasa karena memiliki penuturnya 100.000 orang.

Kedua bahasa tersebut adalah bahasa Dani Barat yang digunakan masyarakat di daerah pegunungan, seperti di daerah Jayawijaya dan sekitarnya. Kemudian bahasa Mee yang digunakan penutur suku Ekagi atau Ekari di Kabupaten Nabire dan sekitarnya.

Justru kebanyakan bahasa-bahasa daerah di Papua, jumlah penuturnya hanya berkisar 100 orang sampai 5.000 orang. Dengan kondisi tersebut, katanya, jika tidak segera ditangani atau diperhatikan oleh pihak-pihak terkait, maka dipastikan lambat laun bahasa-bahasa dengan jumlah penuturnya sedikit tersebut mengarah kepada kepunahan.

“Pihak-pihak terkait dalam hal ini adalah pemerintah daerah dengan tokoh masyarakat atau tokoh adatnya,” ujarnya.

Sebenarnya, kata Sanjoko, pada 2012 ada satu bahasa di Papua yang sudah punah berdasarkan kajian ilmiah tim dari Universitas Papua. Bahasa tersebut adalah bahasa Tandia yang digunakan suku di Distrik Wasei, Kabupaten Teluk Wondawa. Disebutkan tidak ada satupun masyarakat atau anggota suku yang masih menggunakan bahasa Tandia tersebut.

“Mereka mengatakan bahwa memang suku itu masih ada, tetapi semua masyarakat atau suku itu tidak satu pun yang menggunakan bahasa Tandia sehingga bahasa itu dikatakan sudah punah walaupun sukunya ada,” ujarnya.

Bagaimana kondisi penggunaan bahasa daerah bagi anak muda Papua? Andreas Mote, mahasiswa Semester 8 Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah, Papua mengatakan dalam keseharian sering mememakai bahasa daerah ketika hendak berkomunikas dengan sesama temannya dari Kabupaten Dogiay.

Menurutnya itu ia lakukan agar bahasa daerahnya tidak punah, melainkan tetap terjaga kelestariannya, sekaligus tak terputus generasi-generasi penuturnya.

“Bisa dibilang 60 persen saya gunakan bahasa daerah, sedangkan 40 persen saya gunakan bahasa Indonesia kepada teman-teman di luar daerah saya,” katanya.

Ia bahkan berbicara dalam bahasa daerah dengan orang-orang yang lahir dan besar di kota. Itu ia lakukan baik di asrama, maupun percakapan tertulis lewat Mesengger dan WhatsApp.

“Mereka mau mengertikah atau tidak mau mengerti atau mau balas dengan bahasa Indonesia juga tra apa-apa, yang penting saya bicara pakai bahasa daerah, setidaknya mereka pasti mengertilah,” ujarnya.

Mote berkomunikasi dengan bahasa Mee seperti kebanyakan masyarakat dari wilayah Meepago, tetapi dalam dialek Maphia. Ia juga rutin mengikuti lomba artikel dalam bahasa Maphia yang diadakan oleh Pemerinatah Kabupaten Dogiay, Papua sebagai bentuk perlindungan terhadap bahasa daerah dari keterancamanan kepunahan. (*)

Editor: Syofiardi

 

Sumber: https://jubi.co.id/agar-bahasa-ibu-di-papua-tidak-punah/

 

 

 

Related-Area: