BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

990.000 Hektar Terumbu Karang Rusak Berat

TN Laut Sawu
990.000 Hektar Terumbu Karang Rusak Berat

KUPANG, KOMPAS — Terumbu karang di kawasan Taman Nasional Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur, seluas 990.000 hektar rusak berat karena bom ikan. Akibatnya, ikan sulit berkembang biak.

Kerusakan terumbu karang seluas 990.000 ha atau 30 persen dari total luas TNLS (3,3 juta ha) itu juga karena penggunaan potasium. ”Belum ada kesadaran pencari ikan menjaga wilayah perairan Laut Sawu,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Isak Angwarmase di Kupang, Selasa (6/5).

Terumbu karang dalam kondisi bagus di TNLS sekitar 660.000 ha (20 persen), sedangkan rusak sedang seluas 1.650.000 ha (50 persen). Wilayah TNLS meliputi 12 kabupaten/kota, yakni Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Rote Ndao, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Sikka, Sabu Raijua, Ende, Manggarai Barat, Manggarai, dan Flores Timur.

Akibat kerusakan terumbu karang itu, sejumlah ikan terancam punah karena sulit berkembang biak. Terumbu karang merupakan rumah dan tempat mencari mangsa ikan-ikan karang.

Kerusakan terumbu karang itu belum termasuk kawasan di luar pengelolaan TNLS. Wilayah TNLS hanya 3,3 juta ha, sedangkan luas Laut Sawu secara keseluruhan mencapai 60 juta ha.

Tidak semua wilayah Laut Sawu masuk kawasan pengelolaan taman nasional. Wilayah perairan di Kabupaten Lembata tidak masuk kawasan itu. Pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat Lembata, terutama nelayan tradisional Lamalera, menjaga tradisi penangkapan paus secara tradisional di sana.

Di dalam kawasan itu ada zona inti, zona pemanfaatan, pariwisata, dan perikanan. Kawasan perikanan dibagi dua, yakni perikanan umum yang memungkinkan perahu dengan bobot di atas 4 gros ton (GT) beroperasi di sana, sedangkan perikanan tradisional hanya membolehkan perahu nelayan tradisional dengan bobot perahu di bawah 4 GT.

Tim peneliti Balai TNLS sedang meneliti di kawasan itu, terutama jenis dan kondisi paus, yang dilanjutkan dengan rencana tata kelola TNLS 2014-2034.

Dosen hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang, Welem Songa Wetan, mengatakan, pengelolaan TNLS harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Pihak pengelola perlu memberdayakan nelayan tradisional di kawasan perikanan tradisional, berupa pengadaan perahu, alat tangkap, dan koperasi nelayan. (KOR)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006477066