kesadaran ekologis
”Utan Na Anamu”, Tabungan Anakmu
Oleh: ICHWAN SUSANTO
Menjelang mendarat di Bandar Udara Umbu Mehang Kunda, Sumba Timur, pertengahan Agustus 2014, penumpang disuguhi pemandangan hamparan bukit dan savana kering. Hijauan pohon hanya tampak di parit-parit perbukitan. Tidak heran jika sebagian orang menyebut, semacam itulah kawasan batu bertanah. Namun, tak semuanya begitu.
Pemandangan berbeda ketika kami tiba di lahan kecil di Desa Wunga, Kecamatan Haharu, sekitar dua jam berkendara mobil dari Waingapu, ibu kota kabupaten. Pada sepetak lahan di antara luas 4-6 hektar itu, pepohonan mahoni, jati, dan gamalina setinggi dua kali orang dewasa tampak rindang, kontras dengan lingkungan sekelilingnya yang gersang.
”Pohon-pohon ini tabungan masa depan anak-anak kami,” kata Kalendin Nggalu Ama, kepala desa setempat. Meski baru berumur tiga tahun, pepohonan itu sudah tampak tinggi. Selain tergolong tanaman yang cepat tumbuh, perawatan oleh masyarakat setempat menjadikannya lebih cepat tinggi lagi.
Teknik perawatan yang oleh masyarakat setempat disebut palotang itu dilakukan dengan memotong dahan-dahan yang tumbuh ke samping. Itu agar fokus pada tinggi. Model perawatan itu diajarkan Toni Rinaudo, seorang ”tree whisperer” dari World Vision International, yang lama bekerja ”menghijaukan” Nigeria serta daerah di Afrika dan Asia lain.
Setiap bulan, pada tanggal yang disepakati (Wunga memilih tanggal 18), mereka berkumpul di lahan demplot atau percontohan. Setiap keluarga memangkasi ranting pohon dan membersihkan rerumputan. Rerumputan ditaruh di sekitar pohon agar membusuk dan menjadi pupuk kompos.
Pada satu lahan, setiap keluarga merawat 10-60 pohon, sesuai kemampuan. Tanaman itu nantinya menjadi milik keluarga masing-masing.
Dengan usia panen 10-15 tahun, pohon bisa dipanen tahun 2021 atau 2025. ”Tak pernah terbayang kalau tanah gersang seperti di Wunga bisa ditanami pohon keras,” kata Hongga Waluwanja (60), warga Wunga.
Rasa heran bisa dimaklumi. Generasi ke generasi, masyarakat di sana biasa bertani jagung serta beternak sapi, kuda, kerbau, dan babi. Bagi mereka, tanah gersang, kering, dan tersusun utama atas batu-batuan karang itu takdir yang mustahil untuk ditanami tanaman keras.
Namun, harapan itu muncul ketika Wahana Visi Indonesia (WVI) yang awalnya ”hanya” memberi pendampingan bagi anak-anak setempat menyadari untuk menyentuh peningkatan kesejahteraan orangtua, salah satunya melalui tanam-menanam dalam program bernama Infocus. Melalui program itu, mereka ingin meningkatkan kesejahteraan warga. Dampaknya, masa depan anak-anak Sumba Timur.
”Awalnya masyarakat susah diajak kerja karena nothing to loose dengan alam gersang dan kering,” kata Abner R Sembong, aktivis WVI Sumba Timur.
Untuk menarik perhatian dan partisipasi warga, WVI membagi beras bagi keluarga yang mau merawat pohon di demplot. Itu tidak berlangsung lama. Setelah warga melihat bukti bibit pohon keras itu tumbuh tinggi, semangat dan asa pun terbangun.
Strategi penanaman bibit, kata Abe, memanfaatkan hujan yang turun 2-3 bulan setiap tahun. ”Jangan bayangkan hujan sangat deras. Hujannya relatif tidak deras,” kata dia.
Beberapa bulan pertama, WVI memasok air melalui truk-truk tangki untuk menyiram tanaman pada demplot. Itu untuk memastikan akar tanaman kuat mencengkeram tanah.
Gangguan pemangsaan pucuk bibit oleh ternak yang biasa dibiarkan berkeliaran disiasati dengan memasang pagar keliling demplot. Biasanya pagar dibangun dari batang kayu. Di Wunga, pemasangan pagar memanfaatkan lempengan batu-batu karang yang banyak tersebar.
Terobosan itu dilakukan di tujuh desa di Kecamatan Haharu, Sumba Timur. Total luas demplot 29-34 hektar. ”Apa yang dilakukan WVI bisa mengubah masyarakat yang terbiasa berpola ternak dan membakar (rumput ilalang) menjadi mau menanam dan merawatnya. Saya optimistis Haharu 10-20 tahun lagi akan hijau,” kata Yohanis Hiwa Wunu, Kepala Dinas Kehutanan Sumba Timur.
Kurang bibit
Kini, masyarakat tak perlu dipaksa menanam pohon. Malahan, warga sering meminta bibit kepadanya. Dinas Kehutanan kerap kehabisan bibit meski mendapat bantuan ribuan bibit dari program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan. Respons itu menegaskan penanaman mulai menunjukkan hasil. Masyarakat mulai sadar, kayu investasi masa depan. Hitungannya, setiap batang kayu gamalina berusia 10 tahun bakal seharga Rp 1 juta per batang.
Jika setiap keluarga merawat 10-60 pohon, nantinya mereka akan menerima sedikitnya Rp 10 juta-Rp 60 juta. Itu baru dari pohon di lahan desa, belum pohon yang akan mereka hasilkan dari lahan keluarga yang dirintis warga setempat.
Selain ekonomi, fakta positif lain juga dirasakan. ”Ada mata air di desa kami yang mati, kini, airnya muncul lagi setelah tanaman sudah tinggi-tinggi,” kata Meta Turanjanji, tokoh masyarakat di Desa Praibakul. Kemunculan mata air sangat bermanfaat.
Meski banyak cerita positif, bukan berarti tanpa tantangan. Masih ada masyarakat yang membakar ilalang kering untuk meregenerasi rerumputan bagi pakan ternak. Pekan lalu, api merembet ke sebagian demplot tanaman warga di Desa Prailangina.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008437694
- Log in to post comments
- 313 reads