BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

”Mama, Kapan Gatal Ini Bisa Sembuh?”

DAMPAK MANGAN
”Mama, Kapan Gatal Ini Bisa Sembuh?”

Oleh: Kornelis Kewa Ama Kayam
KRISANTUS Santria Yordan Tula (11), siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Dirun Nuawain, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, mengerang saat rasa gatal menyerang bagian kemaluannya.

Rasa gatal yang dialami ribuan warga di dua kecamatan di Belu adalah potret buram tambang mangan. Penyakit itu menyerang warga sejak delapan bulan terakhir.

Lima kali Krisantus diantar ayahnya, Ansel Tula (46), ke Puskesmas Welulik, tetapi rasa gatal malah menjalar ke bagian selangkangan, dubur, sampai ke bagian pantat. Saat digaruk, gatal kian menyebar ke bagian jari-jari tangan, punggung, dan telinga. ”Puskesmas hanya memberikan obat oles dan tablet. Obat itu sampai habis, tetap saja tidak sembuh. Rasa gatal kian menjadi,” kata Ansel.

Setiap pagi, siang, dan malam, Krisantus mengerang akibat rasa gatal yang tak tertahankan. Terkadang bocah itu memanasi bagian tubuhnya yang terasa gatal di dekat bara api atau dikompres air panas untuk menghilangkan rasa gatal.

Kondisi itu tentu menyulitkan dia belajar dengan tenang, terutama saat menyiapkan diri mengikuti ujian sekolah. Berat badannya pun terus turun dari 42 kilogram kini tinggal 35 kilogram.

Jika sedang menggembalakan kambing atau sapi dan tiba-tiba rasa gatal menyerang, Krisantus mengambil daun apa saja di
sekitarnya dan menggosokkan di bagian tubuh yang gatal itu. Ia mengatakan, ada daun tertentu yang bisa menekan rasa gatal. Dia bisa tidur malam jika mamanya, Maria Tula (43), mengoleskan daun tradisional yang disebut otel ntor. Daun itu dihaluskan, lalu dioleskan pada bagian tubuh yang terasa gatal. Rasa gatal yang sempat hilang, beberapa hari kemudian pasti kambuh lagi.

Maria Tula mengatakan, tahun sebelumnya, ketika gatal seperti itu menyerang, mereka
biasa menggunakan daun otel ntor untuk mengobatinya. Tahun ini, gatal seperti itu tidak bisa terobati lagi. ”Jika rasa gatal itu kelewatan, Krisantus selalu bertanya, ’Mama, kapan rasa gatal ini bisa sembuh? Mama dan Bapa tolong carikan obat yang bagus.’ Krisantus pun mau pindah tempat tinggal mengikuti tantenya di Kupang, tetapi belum kami izinkan,” ujarnya.
Sungai tercemar

Sungai Welakason yang melalui Lamaknen, yang selama ini menjadi tempat mandi serta bermain Krisantus dan teman- teman, kini berubah menjadi sungai yang menakutkan.

Sungai itu diduga telah tercemar limbah mangan dari PT Nusa Lontar Resources (NLR) meski pihak perusahaan membantah. Jika bukan pencemaran oleh perusahaan itu, penambangan mangan secara liar oleh warga bisa jadi yang menyebabkan rasa gatal pada warga yang terkena air sungai tersebut.

PT NLR menguasai 947 hektar lahan dan sudah dieksplorasi sekitar 15 hektar. Dalam lokasi tambang itu terdapat 18 keluarga warga Dusun Ai Tameak, Desa Sikin. Mereka pun sangat terganggu debu akibat aktivitas alat berat dari perusahaan itu.

Anton Randi Mela (12), siswa SDN Holopura, warga Dusun Fulur, Kecamatan Lamaknen, mengalami sakit yang lebih parah. Bagian sisi kiri tulang kering, samping betis, nyaris putus karena luka parah yang berawal dari rasa gatal. Luka itu berawal saat ia mandi di bagian hilir Sungai Welakason pada September 2013.

Seusai mandi, ia merasakan gatal pada bagian betis sampai tulang kering. Bagian yang gatal itu terus digaruk, menyebabkan bengkak dan mengeluarkan nanah sampai luka. Luka parah yang terbuka lebar itu tidak hanya menyisakan rasa sakit, tetapi juga mengeluarkan rasa gatal yang luar biasa dari luka yang menganga.

Ana Maria Mela (10), adik Randi Mela, mengalami gatal di bagian telinga yang menjalar sampai ke bagian leher. Pada bagian tubuhnya itu muncul bintik hitam yang kemudian bernanah.

Perawat Puskesmas Welulik, Anton Loe, mengatakan, warga enam desa di Lamaknen Selatan mengalami gatal-gatal itu. Tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa.

”Jika mereka meminum obat dan mengikuti petunjuk dokter secara teratur, rasa gatal itu segera teratasi. Kebiasaan masyarakat, jika mereka mengonsumsi dua-tiga tablet dan belum ada perubahan, langsung ditinggalkan, atau mereka konsumsi, tetapi tak teratur sehingga kuman dan bakteri yang menimbulkan rasa gatal tidak dapat diatasi,” ujarnya.

Ia mengemukakan, gatal-gatal itu sering menyerang warga. Namun, sampai Selasa (27/5), belum ada penelitian mengenai penyebab rasa gatal yang dialami warga. Beberapa kemungkinan penyebab rasa gatal itu di antaranya air sungai yang terkontaminasi virus atau bakteri dan rumput atau pohon tertentu yang memang bisa menyebabkan gatal.

”Saya tidak berspekulasi soal tambang mangan sebagai penyebab karena harus ada pembuktian. Namun, yang perlu segera dibenahi adalah perilaku hidup masyarakat dan kebiasaan mandi atau mengonsumsi air sungai,” kata Anton Loe.
Tahap eksplorasi

Menurut Laurens Dadi Kelen dari bagian Humas PT NLR, perusahaan pertambangan itu milik pengusaha Singapura. Izin yang diberikan kepada perusahaan itu selama 10 tahun, tetapi saat ini masih tahap eksplorasi.

Ia menegaskan, hasil pengeboran memperlihatkan tidak ada potensi mangan yang diharapkan. Perusahaan itu diyakini tak mencemari sungai yang kini membuat masyarakat terjangkiti rasa gatal. Apalagi, perusahaan itu telah terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti pembangunan ruas jalan, jembatan, air bersih, dan perumahan masyarakat.

”Tak perlu didemo berharihari karena kami juga akan angkat kaki dari sini. Potensi mangan yang sebelumnya diperkirakan cukup menjanjikan ternyata tak ada setelah pengeboran tahap pertama. Jika pengeboran tahap kedua juga kosong, kami segera pergi,” ujarnya.

Tim dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi NTT baru berencana turun ke Lamaknen Selatan dan Lamaknen, Kabupaten Belu, untuk memeriksa kualitas sejumlah sungai yang biasa dimanfaatkan oleh warga. Gatal-gatal yang menimbulkan luka serius di bagian tubuh tertentu, yang dialami warga di dua kecamatan itu, diduga bersumber dari buruknya kualitas air yang mereka manfaatkan. Kepala BLH NTT Fred Tielman, di Kupang, Rabu, mengatakan, BLH Kabupaten Belu akan diajak untuk meneliti.
Komentar

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006881322