BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pemberdayaan Masyarakat Tingkatkan Hasil Pendidikan di Daerah Sangat Tertinggal

Pemberdayaan Masyarakat Tingkatkan Hasil Pendidikan di Daerah Sangat Tertinggal
Senin, 10 Des 2018 Author: Hera Diani

 

Meningkatkan kesejahteraan guru telah menjadi fokus prioritas upaya-upaya Pemerintah Indonesia untuk memperkuat sektor pendidikan dan mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan. Pemerintah pusat dan daerah telah mengalokasikan 20 persen anggaran mereka untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan.

Namun studi baru-baru ini menunjukkan* bahwa peningkatan kesejahteraan guru tidak mengarah pada hasil belajar murid yang lebih baik, dan angka ketidakhadiran guru di daerah sangat tertinggal tetap tinggi.

Untuk meningkatkan kehadiran guru, program rintisan KIAT Guru (Kinerja dan Akuntabilitas Guru) memberdayakan komunitas untuk meminta pertanggungjawaban guru lewat Komite Pengguna Layanan (KPL).

Program rintisan KIAT Guru diinisiasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di bawah Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Program ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan lima Pemerintah Kabupaten PDT. Yayasan BaKTI mengelola implementasi program, dengan dukungan teknis dari World Bank dan pendanaan dari Pemerintah Australia dan USAID.

 

Proses Kerja KPL

Para guru diminta pertanggungjawabannya melalui kesepakatan yang disebut janji layanan antara KPL dan guru. Janji layanan ini memprioritaskan indikator-indikator layanan dari bawah untuk meningkatkan kondisi belajar siswa.

Di beberapa sekolah rintisan, KIAT Guru memberlakukan mekanisme pembayaran Tunjangan Khusus berdasarkan kinerja guru. Pembayaran berdasarkan kinerja ini didasarkan pada verifikasi KPL terhadap kehadiran guru, atau skor kinerja layanan guru yang dinilai oleh KPL.

KPL dipilih oleh guru dan anggota masyarakat. Komite ini terdiri dari sembilan anggota, yakni enam perwakilan orang tua dan tiga tokoh masyarakat. Untuk memastikan keseimbangan gender, setidaknya setengah dari anggota KPL harus perempuan.

Banyak anggota KPL yang hanya lulusan sekolah dasar, beberapa bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Hal ini membuat sebagian orang tua anggota KPL di Desa Pancur (Kabupaten Landak di Provinsi Kalimantan Barat) tidak percaya diri saat ditugasi mengevaluasi guru dan menguji murid.

“Awalnya mereka mengatakan, ‘Bagaimana kita melakukannya? Saya tidak berpendidikan. SD saja tidak tamat. Saya hanya bisa membaca. Bagaimana mengetes murid dan mengevaluasi guru?’” ujar Bagas Suharjo, Fasilitator Masyarakat di Landak.

Temuan-temuan awal rintisan ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran yang baik, pengembangan kapasitas, instrumen pengawasan, dan dukungan peraturan dapat memberdayakan masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban guru.

“Pemberdayaan masyarakat berdampak pada kualitas layanan guru dan hasil belajar murid,” ujar Marliyanti, Community Development Officer dariTNP2K.

“Namun mekanisme ini memerlukan kapasitas cukup dari fasilitator masyarakat dan masyarakat sendiri, juga komitmen semua pemangku kepentingan dari tingkat desa sampai tingkat nasional untuk mendukung melalui regulasi dan sumber-sumber daya finansial,” tambah Marliyanti.

 

Respons Komunitas—Dampak Program Rintisan KIAT Guru

Masyarakat desa di Kabupaten Landak mengatakan rintisan itu membantu mereka menyadari rendahnya kualitas pendidikan di wilayah mereka.

“Saya tidak paham bagaimana murid-murid Kelas V dan VI masih seperti Kelas I. Mereka tidak tahu abjad, tidak bisa membaca...

Saya bersyukur atas aktivitas-aktivitas KIAT Guru. Saya kira kita harus bekerja sekeras mungkin karena tidak ada yang bisa melakukannya kecuali kita,” ujar Yohannes Amtas, ketua KPL di Desa Wana Bakti.

Martius, Kepala Desa Kumpang Tengah, mengatakan KIAT Guru membantu warga memahami bahwa dukungan masyarakat berperan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

“Masyarakatlah yang memilih KPL, bukan sekolah. Warga memilih sendiri perwakilan mereka untuk menilai kinerja guru,” ujarnya.

Orang tua juga semakin sadar peran mereka dalam memperbaiki kualitas pendidikan anak mereka.

“Sebelumnya, orang tua di rumah tidak memberi perhatian pada bagaimana anak belajar di rumah. Orang tua tidak mau susah menyediakan perlengkapan belajar, seperti meja tulis atau kamar belajar.

Setelah KIAT Guru, semua orang tua sekarang memperhatikan proses belajar anak-anak mereka. Mereka menandatangani pekerjaan rumah yang dilakukan anak-anak mereka,” ujar Novi, anggota KPL di Desa Wana Bakti.

 * Sebuah penelitian dari UNICEF (2012) menunjukkan bahwa kurangnya pengawasan di wilayah-wilayah ini menyebabkan tingkat ketidakhadiran guru yang lebih tinggi; Studi mengenai ketidakhadiran guru oleh Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) (2014) menemukan bahwa satu dari lima guru absen dari sekolah-sekolah di daerah terpencil, atau dua kali lipat tingkat nasional.

 

Sumber: https://www.localsolutionstopoverty.org/id/project/kiat-guru-kinerja-dan-akuntabilitas-guru.html

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Increasing teachers’ welfare has been a priority focus of Indonesian Government efforts to strengthen education and reduce poverty and inequality. National and district governments have allocated 20 percent of their budgets to improve education access and quality.

Yet recent studies* show that improved teachers’ welfare has not led to better student learning outcomes, and that the rate of teacher’s absenteeism in rural and remote areas remains high.

To improve teachers’ attendance the KIAT Guru pilot empowers communities to hold teachers accountable via User Committees (KPLs). The KIAT Guru pilot program was initiated by the National Team for the Acceleration of Poverty Reduction under the Secretariat of the Vice President of Indonesia Office (TNP2K) in collaboration with the Ministry of Education and Culture.

The pilot is a collaboration between the Ministry of Education and Culture, the National Team for the Acceleration of Poverty Reduction (TNP2K), and governments of five districts with disadvantaged villages. Yayasan BaKTI implements the program with technical supports from the World Bank and funding from the Government of Australia and USAID.

 

How KIAT Guru User Committees Work

Teachers are held accountable through agreements between KPLs and teachers. Agreements prioritize bottom-up service indicators to improve student learning environments.

In some pilot schools, KIAT Guru applies a performance-based pay mechanism to teachers’ remote area allowances. Performance-based pay is based either on the KPL’s verification of teachers’ presence, or the KPL’s score on teacher’s service performance.

KPLs are elected by the parents and community members. They are comprised of nine members – six parents of students and three community figures. To ensure gender balance at least half of KPL members must be women.

Many KPL members have only graduated from elementary schools—some have never received formal education. Unsurprisingly, parents in the KPL in Pancur Village (Landak District in West Kalimantan province) were taken aback when they were assigned to evaluate teachers and test school children.

“At first, they said, ‘How can we do it? I didn’t go to school. I’m an elementary school dropout. I can only read. How can I test the children and evaluate teachers?’” said Bagas Suharjo, Community Facilitator at the Landak District.

Initial pilot findings suggest appropriate awareness, capacity building, monitoring instruments and legal support can empower communities to hold teachers accountable.

“Community empowerment has impacts on the quality of teacher service and students’ learning outcomes,” said Marliyanti, Community Development Officer at TNP2K.

“This mechanism, however, requires some prerequisites on the capacity of community facilitators and community members themselves, as well as the commitment of stakeholders from village-to-national level to support with regulations and financial resources,” cautioned Marliyanti.

 

Community Responses—Impact of KIAT Guru Pilot

Villagers in Landak District said the pilot helped them realize how low the quality of education in their area was.

“I don’t understand how students in Grade 5 and Grade 6 are still like those in Grade 1. They don’t know the alphabets, they can’t read...

I’m so grateful for KIAT Guru activities. I think we have to work as hard as we can because who else can do it but us,” said Yohannes Amtas, head of KPL at Wana Bakti Village.

Martius, the head of Kumpang Tengah Village, said KIAT Guru had helped people understand that community support plays a critical role in improving the quality of education.

“The community assigns KPL, not the school. Villagers decide on the representative to evaluate teachers’ performance,” he said.

Parents are also increasingly aware of their own roles in improving their children’s education.

“Previously, parents at home did not pay attention to how the children studied at home. The parents did not bother to provide learning tools, like a desk or a room for children to use.

After KIAT Guru, all parents are now paying attention to the learning process of their children. They signed the home work done by their children,” said Novi, KPL member of Wana Bakti Village.

* A UNICEF study (2012) revealed that the lack of supervision in these areas resulted in higher teacher absenteeism; A study on teacher absenteeism by the Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) (2014) found that one in five teachers was absent from remote schools—double the national rate.

Source: https://www.localsolutionstopoverty.org/story/indonesia-community-empowerment-improves-education-outcomes-very-disadvantaged-areas.html

Wilayah: