“Perjalanan ini terasa sangat menyakitkan// Sayang kau tak duduk disampingku kawan//
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan// di tanah kering bebatuan….
Lagu Ebiet G Ade ini sepertinya sangat sesuai dengan perjalanan dua orang siswi yang tinggal di kampung Temprigat, yaitu Margaretha (11 tahun) dan Mariana (10 tahun). Dua siswa ini duduk di kelas 6 & 5 di Sekolah Dasar Negeri 06 Simpang Dua, desa Semandang Kanan, kecamatan Simpang Dua, kabupaten Ketapang, provinsi Kalimantan Barat.
Kampung Temprigat merupakan bagian dari Dusun Sungai Tontang Desa Semandang Kanan, letaknya kurang lebih 7 kilo meter dari dusun Sungai Tontang. Tidak seperti kampung-kampung lainnya, kampung Temprigat hanya dihuni oleh 12 Kepala Keluarga saja. Sama seperti dusun Sungai Tontang yang tidak memiliki penerangan listrik, kampung Temprigat pun demikian. Agar penerangan dapat dinikmati oleh anak-anak mereka, masyarakat di kampung ini harus bergantian membeli solar untuk mengisi mesin gengset kepunyaan salah satu warga di kampung itu, kemudian warga lainnya menyambungkan kabel masing-masing ke rumahnya agar bisa menikmati cahaya malam beberapa jam.
Dari kampung ini hanya ada 3 siswa yang bersekolah di SDN 06 Simpang dua, namun salah satu dari mereka tinggal di dusun Sungai Tontang di rumah salah satu keluarganya, dan hanya ada 2 siswi saja yang tiap hari berangkat yaitu Margaretha dan Mariana. Margaretha adalah salah satu siswi kelas 6 yang sebentar lagi akan mengikuti Ujian Nasional.
Tidak seperti kebanyakan siswa di Indonesia, umumnya siswa akan bangun jam 6 pagi untuk berangkat ke sekolah dan mereka akan diantar oleh orang tuanya ke sekolah, apalagi jika jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh. Namun berbeda dengan Margaretha dan Mariana, dua siswa ini harus bangun lebih awal pukul 5 pagi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Untuk mencapai sekolah, keduanya mesti berjalan kaki sejauh 7 kilo meter menyusuri jalan tanah yang berdebu saat kering, dan berlumpur & licin saat hujan. Untungnya, di separuh perjalanan pada kilo meter keempat, mereka bisa bertemu dengan kawan-kawan sekolah lainnya yang tinggal di kampung Sungai Dua. Ada sekitar 10 siswa SDN 06 Simpang Dua yang tinggal di sana. Mereka berangkat bersama melalui kondisi jalan yang sama sekira 3 kilo meter lagi untuk tiba di sekolah.
Menurut Kepala Dusun Sungai Tontang, pak Rakin diketahui bahwa siswa yang tiba paling awal ke sekolah adalah dari kampung Margaretha, sementara siswa yang tinggal di dusun lokasi sekolah baru bangun tidur saat anak-anak kampung jauh lewat di depan rumah mereka. Keriuhan dari canda tawa mereka yang suka bercerita sambil berjalan seperti alarm bagi siswa/i yang ada disekitar dusun ini, karena menjadi pengingat untuk segera bergegas ke sekolah.
Salah satu wali kelas SDN 06 Simpang Dua, Pak Febrianus (26 tahun) mengakui bahwa anak-anak itu memang tampak kelelahan setiba di sekolah, namun tertutupi oleh rasa senang saat sudah bertemu dengan kawan-kawan mereka di sekolah. Pertemuan itu seperti kekuatan bagi mereka untuk tetap menjalani perjuangannya menempuh pendidikan untuk menemukan impian masa depannya.
Cerita perjuangan kedua siswa itu untuk menempuh jalan sulit pergi dan pulang dari sekolah mengusik rasa penasaran Fasilitator Masyarakat dari KIAT Guru, Voula dan Rena yang kemudian mencoba medan yang dilalui oleh kedua siswa itu. Pada saat mereka mempersiapkan kegiatan di Desa tersebut, keduanya mencoba menjajal medan berlumpur dengan berboncengan. Beberapa kali ban motor mereka tenggelam dalam lumpur, dan bahkan terjatuh karena licinnya jalan. Bayang-bayang perjuangan anak-anak kampung itu menjadi penyemangat untuk meneruskan perjalanan.
Sungguh Margaretha dan Mariana beserta teman-teman lainnya menjadi bukti dari masih banyaknya anak-anak di pelosok negeri ini yang berjuang untuk menuntut ilmu dan berharap dari perjuangan mereka akan ada sebuah impian masa depan yang cerah, masa depan yang akan mengubah hidup mereka nantinya.
Bagi sebagian orang, impian mungkin hanya akan berhenti sebagai bunga tidur. Tapi bagi mereka yang menjadikan impian sebagai bangunan dasar untuk mewujudkan angan-angan, impian bisa selalu menjadi api semangat untuk meraih apa pun!
Seorang Pelintas Negeri berkata bahwa “Menyalakan semangat anak Indonesia itu unik, tidak akan habis kita bahas tangisannya, solusi demi solusi dibungkus dengan janji namun masih terdengar jelas doa-doa lirih dari pelosok sepi.” Dan sangat wajar mereka di desa memilih meninggalkan sekolah lalu membantu orang tua di kebun/ladang karena sekolahpun tak mampu menghadirkan kenyamanan belajar…. kadang juga sepi guru, karena gurunya sendiri memilih berada di zona nyaman”.
Program KIAT Guru hadir untuk memastikan bahwa perjuangan anak-anak pelosok untuk bisa bersekolah tidak sia-sia, dengan mekanisme kolaborasi yang mampu mendorong keterlibatan pemerintah dan masyarakat bersama-sama pelaku pendidikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di desa, dan kehadiran guru di sekolah adalah prioritas.