Gubernur Siap Dihukum Mati
ICW: Jangan Umbar Janji, tapi Terapkan Budaya Malu
BOGOR, KOMPAS — Sejauh ini telah banyak gubernur terjerat kasus korupsi. Di hadapan Presiden Joko Widodo, para gubernur seluruh Indonesia menegaskan untuk mendukung pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka siap dipenjara dan dihukum mati jika terbukti korupsi.
Meski demikian, para gubernur juga meminta pemerintah pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri, agar membuat aturan tentang mekanisme penegakan hukum pemberantasan korupsi, yang diduga melibatkan kepala daerah.
Mereka meminta tidak ada ekspose di media sebelum ada kepastian tentang keterlibatan mereka dalam perkara korupsi. Selain itu, mereka meminta ada pemeriksaan terlebih dahulu oleh aparat pengawas internal pemerintah (APIP) sebelum diperiksa aparat penegak hukum.
Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), yang juga Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, menyampaikan hal itu saat mengawali dialog seluruh gubernur dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (24/11), di Istana Bogor, Jawa Barat. Pertemuan untuk yang kedua kalinya antara Presiden dan gubernur itu juga dihadiri sejumlah menteri Kabinet Kerja.
”Kita semua sepakat dengan pemberantasan korupsi. Kita berharap tidak ada lagi ruang dan celah bagi korupsi dalam kehidupan pemerintahan yang ada. Tetapi kami berharap seluruh prosedur dan aturan yang selama ini menjadi bagian dari lingkup yang berkaitan dengan penanganan pemerintahan ditegakkan sesuai aturan,” kata Syahrul.
Menurut Syahrul, ekspose perkara di media massa yang mendahului seluruh rangkaian proses penegakan hukum dapat mengganggu jalannya pemerintahan di daerah. Padahal, belum tentu kepala daerah tersebut benar-benar terlibat. ”Kami kehilangan legitimasi pemerintahan. Kami kehilangan wibawa pemerintahan, padahal belum tentu itu menjadi persoalan,” katanya.
Para gubernur juga berharap, sebelum seorang kepala daerah diperiksa oleh penegak hukum eksternal dalam kasus dugaan korupsi, perlu dilakukan pemeriksaan oleh aparat pengawas internal pemerintah, seperti BPKP, BPK, dan pihak inspektorat jenderal, terlebih dahulu.
Namun, proses itu tidak berlaku jika kepala daerah tertangkap tangan melakukan korupsi.
”Sekali lagi, masalah korupsi, penjarakan kami, hukum mati sekalipun kami, kalau itu kami lakukan. Tapi, kalau tidak, diskresi seorang kepala daerah adalah bagian dari kewenangan. Sulit kami mengambil sikap dan itu yang terjadi selama ini,” kata Syahrul.
Presiden merespons
Menanggapi permintaan para gubernur itu, Presiden Jokowi yang ditanya pers menyatakan akan meneruskannya kepada Kepala Polri dan Kejaksaan Agung.
Presiden sependapat, tahapan pemeriksaan oleh aparat pengawas internal pemerintah perlu dilalui terlebih dahulu sebelum kepala daerah diperiksa penegak hukum. Namun, hal itu tidak berlaku untuk kasus dugaan korupsi yang tertangkap tangan atau yang ditangani KPK.
”Setiap pemeriksaan kepada kepala daerah itu, kan, mesti dicek oleh BPK, BPKP, dan APIP. Tahapan itu harus dilalui, bukan dikit-dikit langsung dipanggil. Ini nanti yang ingin kami sambungkan dengan Kapolri dan Jaksa Agung,” kata Presiden Jokowi.
Dana provinsi Rp 1 triliun
Pertemuan Presiden dengan para gubernur itu berlangsung mulai pukul 10.00 hingga sore hari. Pertemuan diselingi dengan makan siang bersama di teras belakang Istana Bogor. Lewat pertemuan tersebut, Presiden lebih banyak mendengarkan aspirasi daerah yang diwakili para gubernur. Satu per satu mereka diberi kesempatan menyampaikan persoalan di provinsi serta apa yang diharapkan dari pemerintah pusat.
Dalam pertemuan itu, gubernur-gubernur juga meminta agar pemerintah pusat mengalokasikan dana Rp 1 triliun bagi tiap provinsi untuk mendukung program ketahanan pangan. Mereka juga berharap diberikan kewenangan yang lebih besar terkait pemberian penghargaan dan sanksi bagi bupati/wali kota.
”Pengendalian bupati wali kota di daerah bisa dilakukan kalau refungsionalisasi, memberikan energi, kompetensi, dan kewenangan gubernur bisa diberikan lebih baik. Kami berharap Undang-Undang Nomor 23/2014 bisa mengatur lebih baik dan diwujudkan dalam pengendalian yang ada. Dengan kekuatan para gubernur untuk memberikan penghargaan dan sanksi, saya kira pengendalian bupati/wali kota bisa menjadi lebih baik,” kata Syahrul.
Menurut Jokowi, pertemuan dengan gubernur itu akan terus dilakukan secara periodik agar ada sinkronisasi program pemerintah pusat dan daerah. Konsolidasi pemerintah pusat dan daerah juga akan dilakukan dengan para bupati/wali kota.
Umbar komitmen
Di tempat terpisah, menanggapi hal itu, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengingatkan kepala daerah agar tidak perlu mengumbar komitmen berani menjalani hukuman mati.
”Rakyat sudah muak dengan janji-janji. Lihat saja, janji Anas Urbaningrum yang berani sesumbar gantung di Monas. Ada juga janji Akil Mochtar yang bersedia potong jari. Semua cuma omong kosong,” katanya.
Menurut Emerson, pemerintahan Jokowi harus mewaspadai sesumbar pencitraan yang dilontarkan para gubernur. Dia mencontohkan permintaan anggaran Rp 1 triliun yang diajukan gubernur tidaklah jelas alokasinya. Kalaupun kepala daerahnya berani sesumbar siap hukuman mati, dengan anggaran sebesar itu justru membuka peluang korupsi yang dilakukan di jajaran di bawahnya.
Emerson mengingatkan, budaya malu tidak dimiliki oleh bangsa ini. Sangat berbeda dengan negara lain, seperti Jepang. Begitu merasa gagal dalam menjalankan tugas negara, apalagi berbuat korup, pejabat di Jepang berani secara terbuka mengundurkan diri.
Penegakan hukum di Tiongkok lebih tegas lagi. Vonis hukuman mati itu cepat pula eksekusinya. Tak perlu ditunda- tunda, apalagi diberikan peluang mencari grasi dari presiden.
Hukuman mati
Jaksa Agung HM Prasetyo di Kejaksaan Agung, kemarin, memastikan penjatuhan hukuman mati tetap akan dijalankan.
Kendati demikian, jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi pada 2015 belum dapat diungkapkan dengan alasan harus menilik aspek yuridisnya terlebih dahulu.
Berdasarkan data Kejaksaan Agung dari tahun 2000 hingga 2014, tercatat sudah 27 terpidana mati dieksekusi. Dari 27 orang tersebut, lima orang baru dieksekusi pada 2013. Tiga orang karena pembunuhan berencana dan dua orang karena tertangkap tangan menyelundupkan narkoba jenis heroin.
Sementara itu, hukuman mati yang ada saat ini terbatas pada tiga jenis perkara, yaitu keamanan negara dan ketertiban umum (terorisme), orang dan harta benda (pembunuhan dan perampokan), dan tindak pidana umum lain (narkotika). Untuk tindak pidana korupsi, hukuman mati belum dijadikan pilihan.
”Tapi, yang pasti, tindak pidana korupsi menjadi prioritas saat ini meski tetap memperhatikan masalah penegakan hukum yang lain. Kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi pun akan kami jalin,” ujar Prasetyo.
(WHY/OSA/IAN)
Sumber: print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010295889
-
- Log in to post comments
- 421 reads