pemberdayaan
Menyibakkan Cahaya Berselimutkan Debu
Oleh: Cornelius Helmy/ Herlambang Jaluardi
DI jalanan mereka dulu pernah menggantungkan hidup. Kini mereka punya banyak pilihan.
”Ah, tong loba alesan (jangan banyak alasan). Kamu mah mau ngelem,” teriak Acil (20) kepada seorang rekannya. Acil menduga, temannya itu tak hendak buang air, tetapi mencuri kesempatan untuk menghirup lem. Padahal, mereka sedang asyik mengolah kulit bundar menjelang siang yang mulai terasa panas.
Sang teman, yang berposisi sebagai penjaga gawang itu, tak kehilangan akal. Ia memanggil seorang anak yang duduk di pinggir lapangan untuk menggantikannya. Ia menghilang sekejap, dan kembali sambil menghirup lem di balik kausnya.
Lem, adalah substansi murah yang biasa dihirup anak jalanan untuk teler. Efek dari menghirup lem bisa membuat orang merasa rileks, dan lupa lapar.
Cerita itu hadir di antara 25 anak jalanan yang berlatih sepak bola di atap gedung tiga lantai Pasar Ciroyom Bermartabat di Ciroyom, Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka, laki dan perempuan, besar dan kecil, tinggal dan kerja serabutan di sekitar pasar. Mereka dilatih empat kali seminggu oleh relawan dari Rumah Cemara, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pencegahan narkotika dan HIV/AIDS. Lembaga itu mendapatkan dana dari produsen elektronik Sony, melalui Street Football World. Selain untuk membeli bola dan corong (cone), uang itu juga dipakai untuk makan dan minum peserta.
Urusan konsumsi diserahkan relawan Rumah Cemara kepada pemuda Ciroyom. Siang itu, beberapa saat lalu, tiga pemuda setempat membelikan 30 bungkus nasi padang seharga Rp 15.000 per bungkus. Nasi dibagikan setelah latihan selesai. Beberapa dari mereka menanti saat makan sembari ngelem.
”Mereka tak bisa dilarang begitu saja menghirup lem. Ajak ngobrol saja pelan-pelan. Di antara mereka sudah ada yang saling mengingatkan,” kata Rizki Kurniawan (26), koordinator program itu.
Setiap latihan, mereka juga memakai sepatu futsal bermerek ternama. Sehari-hari mereka terbiasa memakai sandal jepit atau bertelanjang kaki. Kaki mereka makin gesit berkelit di lapangan semen itu. Sepatu juga jadi syarat untuk dapat nasi bungkus. Mereka harus mengembalikan sepatu seusai latihan.
Demi ibu
Menurut Koordinator Olahraga Rumah Cemara Bogiem Sofyan (34), pemain dengan bakat bagus akan diikutkan di
klub Dalem Kaum Rumah Cemara. Klub semiprofesional itu ikut dalam Liga Futsal Se-Bandung. Anggotanya ada juga
anak jalanan dan kaum terpinggirkan.
Berlatih sejak awal September lalu, tim pelatih mengendus bakat bagus pada beberapa pemain. Acil salah satunya. Selain itu, ada juga Herman (21), penyerang utama, yang saat sesi permainan mencetak lebih dari dua gol. Dari latihan rutin itu, Herman merasa makin bugar. Ia tak memikirkan menghirup lem lagi. ”Sudah setahun saya berhenti ngelem,” katanya. Ia juga getol mengajak teman-temannya tidak ngelem lagi.
Sehari-hari Herman adalah kuli pikul tepung di pasar. Kelihaiannya bermain bola tumbuh sejak kecil. Ia sering menang di turnamen antarkampung. Kini, di klub yang belum bernama itu, ia merasa menemukan kembali dunianya.
Herman dan Acil ingin sukses dari sepak bola seperti idola mereka, Cristiano Ronaldo. Mereka bertekad menyenangkan keluarga yang telah mereka tinggalkan sejak kecil. ”Saya ingin membuat ibu bangga,” kata Herman lagi.
Temukan rumah
Di sudut lain Kota Bandung, sirene polisi meraung-raung di sekitar simpang Jembatan Cikapayang. Lengkingannya beradu lantang dengan klakson kendaraan di sore yang hangat itu.
”Razia, razia!” canda Kurnia (28) kepada lima temannya, saat baru menuntaskan lagu ”September” karya Earth, Wind, and Fire di pintu angkutan umum hijau jurusan Dago-Ledeng.
Saat itu mereka sedang ujian pertama kelas musik beatbox, keahlian mengeluarkan bunyi ketukan lewat mulut dan pernapasan. Suara itu berpadu dengan bunyi dari gitar dan biola.
”Ah, kamu mah bakat di jalanna aya keneh. Aya sirene kudu we lumpat (Ah, bakat kamu di jalan masih ada. Ada sirene saja harus lari),” timpal Tedy, seorang dari mereka kepada Kurnia. Kini, suara sirene menjadi bahan guyonan. Padahal, saat masih mengamen di Jalan Sumatera, tiga tahun lalu, Kurnia lari jika mendengar suara sirene polisi.
Banyak cerita buruk yang ia dengar dari temannya yang tertangkap polisi atau satuan polisi pamong praja. Namun, ia merasa tak punya pilihan. Ia mengamen demi uang Rp 15.000 sampai Rp 20.000 setiap hari. Demi tetap hidup.
Nasibnya berubah saat ia menemukan ”rumah” di Rumah Musik Harry Roesli (RMHR), Bandung. Sejak empat tahun lalu, ia perlahan meninggalkan jalanan. Bersama sesama pengamen, ia membentuk band OTW. Mereka tampil di beberapa kafe di Bandung dengan upah hingga Rp 1,6 juta sebulan.
Alif Muhammad (29), bekas preman Simpang Dago yang juga bergabung dengan kelompok beatbox itu, merasa diselamatkan RMHR. Pernah merasakan keras hidup di jalanan tak membuatnya menyerah pada latihan diafragma dan membaca susunan partitur. ”Lieur euy (Pusing nih),” katanya.
Fierza Fahmi (23), pengajar beatbox, menilai kemampuan mereka berkembang pesat. Mereka mulai bisa membedakan pola suara dan merangkainya menjadi nada. Mereka memiliki dasar musik yang kuat. ”Yang harus dikembangkan itu kepercayaan diri,” kata Elan Budikusumah (25), pengajar lainnya.
Layala Khrisna Patria (29), anak mendiang Harry Roesli, pendiri RMHR, mengatakan ayahnya pasti tersenyum. Ia yakin ayahnya bangga jika kelak banyak orang terinspirasi lewat semangat mereka.
Inspirasi juga berbuah dalam diri Diki Septiana (18), warga Coblong, Kota Bandung. Aliran Sungai Cikapundung menariknya dari Simpang Dago. Sejak tiga tahun lalu, ia tak lagi mengangkat gitar di jalan, tetapi sibuk berlatih teknik selancar air untuk mengharumkan Jabar.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009857997
-
- Log in to post comments
- 96 reads