Hutan Kemasyarakatan
Perjuangan Belum Selesai
PROGRAM Tata Guna Hutan Kesepakatan yang dilakukan pemerintah tahun 1984 bertujuan untuk mencari dasar penetapan peruntukan kawasan hutan, tetapi berubah menjadi mimpi buruk bagi sebagian warga Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Lahan hutan yang biasa ditanami tumpang sari dengan berbagai komoditas, seperti kakao (Theobroma cacao), biji mete (Anacardium moluccana), dan kemiri (Aleurites moluccana), kini, ditetapkan sebagai hutan lindung atau tanah milik negara.
Jika tetap mengolah tanah itu, predikat sebagai perambah hutan pun mereka sandang.
Aku Sulu Samuel Sau Sabu (44) adalah salah satu saksi dari konflik masyarakat di lebih dari 20 desa di Sikka yang kehilangan tanah garapan akibat kebijakan sepihak dan tak melibatkan masyarakat itu. Masyarakat memegang peta kawasan yang dibuat tahun 1932 sebagai patokan. Penyusunan peta sebelum Indonesia merdeka itu justru lebih baik karena ikut menyertakan masyarakat.
”Yang terjadi kemudian adalah kriminalisasi masyarakat yang nekat mengolah lahan, perusakan hasil panen, hingga pembakaran rumah,” ujar dia.
Dia mencatat, ada setidaknya 12 warga yang harus berurusan dengan hukum karena perambahan hutan. Hal ini termasuk aksi dari 500 warga, termasuk dia, yang mendatangi Polres Flores Timur tahun 2004 untuk menyerahkan diri. Aksi itu tidak mendapatkan respons dari kepolisian dan mereka diminta membubarkan diri.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengurai konflik yang berlangsung di Sikka, termasuk pemetaan partisipatif tahun 2009 yang melibatkan pemerintah, warga, dan lembaga swadaya masyarakat. Terungkap, 70 persen tanah warga kini masuk ke kawasan hutan lindung karena program Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Harapan mulai muncul tahun 2010 sewaktu Surat Keputusan Pencadangan Areal Hutan menyebut terdapat 16.755 hektar wilayah hutan yang bisa dikelola masyarakat, meliputi 27 desa di kawasan hutan lindung Egon Ilimedo dan Wukoh Lewoloroh. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Hingga kini ada 18 penerima izin untuk kembali mengelola kawasan hutan lindung itu.
Tentu izin itu bukan berarti mengembalikan tanah mereka, seperti sebelum TGHK tahun 1984. Sebagai penerima izin hutam kemasyarakatan, mereka berhak memakai lahan di sana selama 35 tahun dengan hak memanfaatkan hasil hutan nonkayu dan berkewajiban menjaga kelestarian hutan.
Menurut Dwi Sudarsono, Direktur Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara, sikap masyarakat terbelah dengan kebijakan ini. Ada yang masih menolak karena beranggapan izin hutan kemasyarakatan tak memberi mereka hak milik atas tanah. Sikap itu ditunjukkan beberapa kelompok masyarakat di Desa Natakoli, Kecamatan Doreng, Sikka. Ada pula kelompok masyarakat di satu desa yang memiliki sikap berbeda, seperti di Desa Egon dan Desa Hoder.
”Prinsip kami, biarkan yang setuju dengan izin ini untuk mengelola lahan di hutan. Sementara yang belum setuju terus didekati agar bisa paham,” ujar Dwi.
Hingga kini, tinggal sembilan kelompok yang tengah diurus perizinannya. Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera beralasan, sosialisasi mengenai izin hutan kemasyarakatan harus diberikan secara menyeluruh. Ia mencontohkan, ada kelompok yang langsung membabat hutan berisi pohon di dalamnya karena mengira izin hutan kemasyarakatan sama dengan tanah hak milik. ”Dalam sebulan ini seharusnya rampung diurus perizinannya,” katanya.
Tradisional
Dengan izin pemanfaatan kawasan hutan, bukan berarti masalah lantas usai. Ada perkara laten yang harus diselesaikan, yakni teknik budidaya komoditas yang terbilang konvensional. Setidaknya itu terlihat dari dua desa, yakni Desa Watumerak di Kecamatan Doreng dan Desa Hoder di Kecamatan Waigete.
Desa Watumerak mengandalkan kakao sebagai komoditas primadona karena harganya yang tinggi sekitar Rp 150.000 per kilogram. Namun, yang menjadi masalah adalah produksinya anjlok tajam sejak lima tahun terakhir gara-gara penyakit busuk buah. Buah berwarna kehitaman dan isinya tidak bisa diambil. Salah satu dugaan adalah tanaman yang harus diremajakan karena rata-rata sudah berusia 30 tahun lebih.
Pemilik lahan kakao, Matilda Nurak, mengungkapkan masalah lain, yakni ketergantungan pada tengkulak yang membeli komoditas lain dari petani begitu panen dan menjualnya ke pasar. Petani tak memiliki akses langsung ke pasar. ”Kelihatannya sudah terbiasa enak karena sudah ada yang membeli hasil panen,” kata dia.
Tidak hanya kakao, warga Desa Waturmerak juga menggantungkan diri pada komoditas pala dan cengkeh. Namun, semua komoditas ini ditanam di lahan seluas 0,5 hektar tanpa monokultur sehingga hasil panen tidak pernah optimal. (Didit Putra Erlangga R)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004466428
-
- Log in to post comments
- 98 reads