BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Gizi Masih Dianggap Urusan Sektor Kesehatan

Daya Saing Bangsa Terancam
Gizi Masih Dianggap Urusan Sektor Kesehatan

JAKARTA, KOMPAS — Hingga hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, jumlah anak balita bertubuh pendek (stunting) masih sangat besar. Kondisi fisik akibat kurang gizi itu bisa mengancam produktivitas dan daya saing bangsa. Namun, persoalan kurang gizi masih dianggap urusan sektor kesehatan semata, belum menjadi persoalan bangsa.

”Anak stunting akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan kognitif,” kata Deputi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Nina Sardjunani dalam Peringatan Hari Gizi Nasional Ke-54 di Jakarta, Selasa (25/2). Mereka juga berisiko lebih besar terserang penyakit tidak menular saat dewasa, seperti diabetes dan jantung koroner.

Dampak jangka panjangnya, anak pendek akan memiliki produktivitas rendah. Kondisi itu akan membuat daya saing Indonesia lebih rendah dibandingkan bangsa-bangsa lain. Padahal, kualitas sumber daya manusia adalah tumpuan pembangunan ekonomi Indonesia masa depan.

Otak manusia mengalami perkembangan hingga 80 persen pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak anak masih berupa janin hingga berusia 2 tahun.

Guru Besar Gizi (emeritus) Institut Pertanian Bogor Soekirman mengatakan, kurang gizi yang dialami pada rentang usia itu menyebabkan pembentukan sel-sel otak anak terganggu. ”Akibatnya, perkembangan otak anak tidak optimal, inteligensianya juga rendah,” ujarnya.

Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, prevalensi anak balita bertubuh pendek 37,2 persen. Jika pada saat itu ada 24 juta anak balita, jumlah anak pendek mencapai 9 juta jiwa.

Mereka tersebar di seluruh Indonesia. Di provinsi dengan tingkat kesejahteraan tinggi, seperti Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta, prevalensinya kurang dari 30 persen. Di provinsi miskin, seperti Nusa Tenggara Timur, prevalensinya lebih dari 50 persen.

Tingginya prevalensi anak pendek sejalan dengan buruknya sejumlah indikator gizi masyarakat lain. Anemia pada remaja dan ibu hamil, gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita, berat badan lahir rendah pada bayi, dan kegemukan pada semua kelompok usia menunjukkan kondisi yang memprihatinkan.

Kurang gizi itu berlangsung terus hingga remaja. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2007 menetapkan standar tinggi remaja berumur 18 tahun mencapai 176,5 sentimeter (cm) untuk laki-laki dan 163,1 cm untuk perempuan. Namun, tinggi rata-rata remaja Indonesia lebih rendah 12,5 cm untuk laki-laki dan 9,8 cm untuk perempuan dibandingkan standar itu.
Intervensi

Kasus anak balita pendek seharusnya terdeteksi jika anak balita rutin ditimbang dan diukur tingginya di posyandu. Persoalannya, belum semua orangtua sadar memeriksakan anak ke posyandu atau puskesmas setiap bulan. Selain itu, tidak semua kader posyandu mampu menjelaskan dan memberikan solusi atas setiap persoalan gizi yang dihadapi anak balita dan ibu hamil.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pemerintah daerah perlu mengambil peran dalam penyelenggaraan posyandu. Pemerintah pusat sudah memberikan dana dan petunjuk penyelenggaraan posyandu. Karena itu, pemerintah daerah perlu mendidik dan melatih kader posyandu.

Selain memperkuat peran posyandu, penanganan kasus kurang gizi dan anak balita pendek harus dilakukan sejak dini, jauh sebelum seorang ibu hamil, bahkan sejak calon ibu masih remaja. Ini diperlukan karena kurang gizi bisa berdampak panjang.

”Pola makan dengan gizi seimbang dan jenis makanan beragam perlu diterapkan semua kelompok umur,” ungkapnya.

Nani mengingatkan, persoalan gizi bukan persoalan kesehatan semata. Upaya meningkatkan status gizi masyarakat tidak cukup dengan program pemberian zat gizi tambahan atau konseling gizi. Intervensi di luar sektor kesehatan memiliki andil besar untuk mengurangi persoalan gizi.

Intervensi di luar sektor kesehatan, antara lain, berupa peningkatan akses air minum dan sanitasi layak, pelayanan Keluarga Berencana, serta berbagai program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Upaya itu harus dilakukan bersamaan dengan program peningkatan gizi masyarakat yang menjadi tanggung jawab langsung sektor kesehatan. (MZW)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005116027