BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Percepat Perubahan Tarif Layanan JKN

Percepat Perubahan Tarif Layanan JKN
Besaran Iuran dari Pemerintah Diusulkan Naik

0 Komentar FacebookTwitter  
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan sebagian tarif Indonesia Case Based Groups atau INA-CBGs dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional diharapkan bisa menarik makin banyak rumah sakit swasta bergabung dalam sistem itu sehingga pelayanan kesehatan akan kian baik. Karena itu, pemerintah diminta tidak menunda penetapan revisi sebagian tarif pelayanan rumah sakit itu.

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany, Senin (18/8), di Jakarta. Thabrany mengatakan, penaikan tarif menjadi pilihan realistis bagi pemerintah jika belum bisa menaikkan besaran iuran peserta.

”Perubahan tarif ini sudah dijanjikan beberapa bulan lalu, tetapi sampai kini belum juga terealisasi. Mungkin ada tarik ulur apakah anggaran yang tersedia cukup atau tidak. Dari sisi kebijakan publik, ini tidak bagus karena bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap program JKN,” papar Thabrany.

Sejak awal, dengan besaran iuran saat ini, yakni Rp 19.225 per peserta per bulan untuk 86,4 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI), hal itu akan membuat produk JKN inferior. Ini ditunjukkan dengan masih banyak RS swasta yang belum bergabung. Ada sebagian kelompok penyakit yang tarifnya belum memadai secara ekonomi.

Kondisi itu mengakibatkan antrean pasien tetap terjadi di RS pemerintah dan pelayanan pun terancam menurun. Pada saat yang sama, ada juga tarif layanan RS yang terlalu berlebihan.
Tak memadai

Sebenarnya, lanjut Thabrany, secara substansi, program JKN tak adil bagi RS swasta, terutama yang kecil. Besaran tarif dalam INA-CBGs dinilai tidak memadai bagi sebagian besar RS swasta. Hal itu menyebabkan banyak RS swasta belum bergabung dalam jaringan rumah sakit JKN.

Berbeda dengan rumah sakit pemerintah yang kebutuhan gaji pegawainya dianggarkan negara, RS swasta harus memenuhi kebutuhan gaji dan investasi lain secara mandiri.

INA-CBGs adalah aplikasi untuk pengajuan klaim pihak RS dalam JKN. Pada aplikasi itu, penyakit dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan biaya yang sama. Tujuannya, meningkatkan mutu dan efektivitas layanan. Saat ini, ada 39 kelompok penyakit yang tarifnya sedang diperbaiki.

Banyaknya RS swasta yang belum bergabung dalam JKN menjadi salah satu evaluasi JKN semester I 2014 oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Evaluasi itu ditujukan terutama bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Kementerian Kesehatan.

Hingga 30 Juni, peserta JKN mencapai lebih dari 124,5 juta orang atau melampaui target selama setahun untuk 2014, yakni 121,6 juta orang. Jumlah itu diperkirakan terus meningkat.

Dengan terbatasnya RS swasta yang bergabung dalam JKN, pasien di RS akan membeludak. ”Kami menargetkan 744 rumah sakit swasta bergabung dalam sistem JKN. Saat ini, yang bergabung 586 unit, masih kurang 158 unit,” kata Ketua DJSN Chazali A Situmorang.
Pembahasan tarif

Sementara itu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan, pembahasan revisi tarif INA-CBGs di tingkat Kementerian Kesehatan melibatkan asosiasi rumah sakit serta organisasi profesi. ”Saya sudah melaporkan hasil pembahasan dalam rapat koordinasi kepada Menko Kesra (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono),” kata Nafsiah, Minggu (17/8), seusai upacara peringatan Kemerdekaan RI di Kemenkes, Jakarta.

Nantinya, perubahan tarif itu akan tertuang dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes). Rancangan revisi tarif itu masih perlu disampaikan dalam rapat koordinasi yang dipimpin Wakil Presiden Boediono. ”Jika sudah ada keputusan dari rapat dengan Pak Wapres, prosesnya tinggal tanda tangan. Tanda tangan itu cepat, kok,” ucap Nafsiah.

Chazali mengapresiasi langkah Kemenkes merevisi tarif INA-CBGs. Ia memandang, rencana pemerintah mengubah tarif layanan RS itu merupakan respons positif terhadap kebutuhan RS swasta.

Solusi kunci agar makin banyak RS swasta bergabung adalah, meningkatkan manfaat ekonomi bagi fasilitas kesehatan swasta. Peningkatan manfaat ekonomi itu termasuk menjamin bahwa mereka tetap mendapat keuntungan dari keikutsertaan dalam sistem JKN.

Thabrany berpendapat, setidaknya iuran peserta PBI Rp 27.000 per peserta per bulan atau idealnya Rp 40.000-Rp 50.000 per peserta. Selama besaran iuran peserta itu belum terpenuhi sesuai keekonomian biaya layanan, pelayanan kesehatan dalam JKN belum akan maksimal.

Bahkan, Thabrany menyarankan agar pemerintah menyiapkan dana cadangan Rp 10 triliun untuk memperkuat pembiayaan JKN jika belum bisa menaikkan iuran peserta. ”Pemerintah harus sadar risiko apabila program JKN ini menjadi inferior hanya karena iurannya yang kecil,” katanya.

Nafsiah mengatakan, pihaknya telah mengusulkan peningkatan besaran iuran dari pemerintah untuk membiayai keanggotaan PBI menjadi Rp 25.500 per orang per bulan, atau setara dengan peserta mandiri kelas tiga. Saat ini, besaran iuran Rp 19.225 per peserta per bulan. Peningkatan iuran perlu dilakukan karena peserta PBI memperoleh fasilitas layanan sama dengan peserta mandiri kelas tiga.

Nafsiah menambahkan, besaran iuran peserta mandiri tak perlu ikut dinaikkan. Saat ini, peserta mandiri kelas satu membayar iuran Rp 59.500 per orang per bulan, sedangkan untuk kelas dua membayar Rp 42.500 per orang per bulan. ”Biaya harus seringan mungkin bagi penduduk, tetapi pelayanan kesehatan tetap bermutu,” ujarnya. (ADH/A03)




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008402013

Related-Area: