BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pendidikan Kesehatan Reproduksi Mendesak

Pendidikan Kesehatan Reproduksi Mendesak
Belum Semua Fasilitas Kesehatan Siap Bantu Persalinan

JAKARTA, KOMPAS — Usaha penurunan kematian ibu jangan terpusat di hilir. Pendidikan perempuan, pemahaman kesehatan reproduksi, dan partisipasi masyarakat perlu mendapat perhatian.

”Selama ini, fokus penurunan angka kematian ibu (AKI) adalah tersedianya fasilitas kesehatan yang merata, sistem layanan, dan pelatihan tenaga kesehatan. Akan tetapi, pelibatan masyarakat dan pendidikan kesehatan reproduksi tidak diutamakan,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam peluncuran buku laporan Komite Bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan National Academy of
Sciences (NAS) Amerika Serikat berjudul ”Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia. Saving Lives, Saving the Future”, Kamis (30/1), di Jakarta.

Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Saparinah Sadli menyatakan, tingginya AKI disebabkan hak kesehatan dan pendidikan perempuan belum dianggap penting. Padahal, 60 persen perempuan yang meninggal berpendidikan rendah, kurang gizi, dan pengetahuan kesehatan reproduksi.

Ada nilai-nilai budaya dan hukum yang menimbulkan kerentanan perempuan, yakni tradisi menikah di usia dini di beberapa daerah, 46 persen sebelum usia 18 tahun, dan 21,5 persen sebelum 16 tahun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ruang pada pernikahan di usia muda.

Perempuan dianggap tetap sehat ketika masih bisa mengerjakan tugas rumah tangga, meski ada keluhan. Perempuan hamil dianggap biasa oleh keluarga sehingga makan dan tidur tetap terakhir, tetapi bangun terpagi.

Dalam setahun, AKI masih 220 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih sangat jauh dari target pemerintah yang ingin menurunkan AKI jadi 102 per 100.000 kelahiran hidup di 2015.

Karena itu, pendidikan kesehatan reproduksi menjadi penting dan perlu bagi remaja.

Menurut Nafsiah, pendidikan termasuk pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dan perempuan, keterlibatan suami, keluarga, tokoh agama, dan masyarakat, perlu diutamakan dalam peta jalan pembangunan. Faktor nonmedis itu sangat menentukan kondisi ibu hamil dan menjadi hulu masalah AKI.

”Ada kasus kematian ibu di Nusa Tenggara Barat akibat melahirkan anak ke-16. Ada pula perempuan pada usia 17 tahun telah melahirkan anak kedua. Hal ini memperlihatkan masyarakat belum sadar kesehatan reproduksi,” ujar Nafsiah.

Fasilitas kurang

Studi AIPI-NAS mendapatkan, fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni puskesmas, yang berstatus pelayanan obstetri dan neonatal darurat dasar (poned) di Indonesia hanya 18,64 persen. Rumah sakit yang memenuhi kriteria pelayanan obstetri dan neonatal komprehensif (ponek) lebih banyak, 21 persen.

AIPI-NAS menyarankan, fasilitas kesehatan, puskesmas, ataupun rumah sakit dibenahi agar memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Semua persalinan agar berlangsung di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan pelayanan kelahiran dasar ataupun komprehensif. Sebagian besar kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir terjadi saat persalinan, kelahiran, dan periode setelahnya.

Standar WHO, fasilitas poned terdiri dari dokter, perawat, dan bidan terlatih. Adapun fasilitas ponek mampu transfusi darah, operasi caesar, persalinan ekstraksi vakum, serta perawatan lain yang diperlukan.

Sistem pelayanan, standardisasi pelatihan, dan akreditasi penyedia jasa juga harus dipusatkan di satu lembaga pemerintah. Selain itu, masyarakat perlu dilibatkan, termasuk organisasi perempuan dalam upaya menurunkan AKI.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes Trihono mengakui, kondisi fasilitas kesehatan di Indonesia jauh dari yang diharapkan. Sejak penanganan kesehatan diserahkan ke daerah, kondisi fasilitas kesehatan tidak terawat. Karena itu, sejak 2012 dialokasikan dana untuk mengatasi masalah ini. (A10)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004494976