KESEHATAN IBU
Pemerintah Lupakan Peran Laki-laki
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan kesehatan terkait kehamilan dan persalinan masih dianggap tanggung jawab perempuan. Padahal, peran laki-laki sangat penting karena secara kultural adalah pengambil keputusan dalam keluarga. Karena itu, pemerintah perlu menyusun ulang program pendidikan kesehatan dalam upaya penurunan angka kematian ibu.
Hal itu disampaikan Inang Winarso, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Sabtu (2/1), di Jakarta. Inang menjelaskan, pemahaman terkait kehamilan dan persalinan yang diberikan petugas kesehatan hanya seputar tekanan darah, bulan kehamilan, berat badan, dan pengecekan kondisi kesehatan lain. Suami tidak diberi pemahaman tentang makanan yang dibutuhkan ibu hamil, menjaga istri agar tidak bekerja terlalu keras saat hamil, atau tindakan saat menghadapi situasi darurat.
”Jika suami tidak paham situasi kehamilan istri, keputusan yang diambil bisa salah dan akibatnya fatal,” ujar Inang.
Sri Kusyuniati, Kepala Perwakilan Rutgers WPF di Indonesia, lembaga yang bergerak di bidang hak dan kesehatan seksual, mengatakan, suami masih dianggap bukan pihak yang harus tahu secara detail kondisi kesehatan ibu hamil, terutama di desa. Padahal, nilai patriarki di desa masih kental. ”Bidan desa memberikan pendidikan kesehatan pada pagi hari, saat laki-laki sedang ke sawah. Jadi, tidak pas,” ujar Sri.
Menurut dia, selain suami, tokoh agama dan tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam kampanye keselamatan ibu hamil dan melahirkan. Secara kultural, tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat berpengaruh.
Sri mencontohkan, angka kematian ibu (AKI) di DI Yogyakarta rendah karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap kehamilan dan persalinan ibu hamil. Tokoh agama dan masyarakat berperan memberikan pemahaman, kehamilan dan persalinan merupakan peristiwa penting yang harus dihargai bersama. ”Dalam beberapa kasus, tukang becak dan pengojek yang melihat ibu hamil rela mengantar ke puskesmas atau ke rumah sakit tanpa dibayar,” ujar Sri.
AKI di DIY terendah pada 2012, 106 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini hampir mencapai target nasional 2015, 102 per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut Sri, sebenarnya program desa siaga dan suami siaga telah menumbuhkan empati masyarakat terhadap ibu hamil. Namun, program itu seperti jalan di tempat dan harus didesain ulang. ”Kemauan pemerintah baru di level teori. Pemerintah harus merumuskan gerakan bersama untuk menurunkan AKI,” ujarnya.
Integrasi layanan
Selain pelibatan masyarakat, fasilitas kesehatan harus berbenah terkait pelayanan bagi ibu hamil dan melahirkan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, AKI hamil di puskesmas 2,3 persen. Adapun di rumah sakit 41,9 persen.
Menurut Inang, riset ini memperlihatkan koordinasi dan sistem rujukan dari puskesmas ke rumah sakit belum efisien. Data ibu melahirkan yang dirujuk dari puskesmas seharusnya diketahui rumah sakit sebelum pasien tersebut tiba. Dengan begitu, tindakan yang diperlukan untuk penanganannya sudah disiapkan.
Laporan penelitian International NGO Forum on Indonesian Development-Institut Studi Arus Informasi 2013, AKI akibat perdarahan 28 persen. Karena itu, penanganan ibu saat dan setelah melahirkan menjadi bagian yang paling penting dalam upaya penurunan kematian ibu. (A10)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004518305
-
- Log in to post comments
- 30 reads