BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pemajuan Tidak Berkesinambungan

Kesetaraan jender
Pemajuan Tidak Berkesinambungan

JAKARTA, KOMPAS — Buruknya pencatatan upaya-upaya pemajuan perempuan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat membuat peta pembangunan perempuan Indonesia tak tergambarkan utuh. Akibatnya, kebijakan baru yang dibuat pemerintah sering kali jalan di tempat, bahkan mundur dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya.

”Peta pemajuan perempuan itu tak ada di tangan pemegang keputusan sehingga mereka tak tahu sampai di mana upaya pengarusutamaan jender yang sudah dilakukan,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Desti Murdijana, di Jakarta, Senin (24/11).

Kemajuan itu tak tergambarkan dalam laporan awal Delegasi Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Asia Pasifik untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan di Bangkok, Thailand, pekan lalu. Pemerintah justru terfokus pada persoalan pendidikan bagi perempuan.

Beberapa contoh pemajuan perempuan Indonesia terlihat dari penerbitan sejumlah undang-undang, instruksi presiden, hingga peraturan kementerian yang menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Aturan yang ada juga mendorong partisipasi perempuan di ruang publik dan politik.

”Bahkan, di Indonesia, kementerian yang rancangan anggarannya tidak menunjukkan indikator kesetaraan jender bisa ditolak Kementerian Keuangan,” kata Dwi Rubiyanti Khalifah dari Perwakilan Indonesia untuk Asian Muslim Action Network.
Keberagaman keluarga

Para pegiat pemajuan perempuan juga mencermati makin menguatnya fundamentalisme di pemerintahan. Penolakan atas sejumlah istilah, seperti keberagaman keluarga, orientasi seksual dan identitas jender, serta hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, menunjukkan kemunduran cara pandang pemerintah terhadap isu-isu perempuan.

Menurut Desti, dari kacamata pegiat perempuan, istilah keberagaman keluarga diperlukan untuk mewadahi kondisi keluarga di Indonesia yang kepala keluarganya tidak selalu laki-laki, tetapi juga perempuan. Meski demikian, diakui, istilah keberagaman keluarga erat kaitannya dengan hak seksual serta orientasi seksual dan identitas jender. Jika istilah itu dipakai, bisa dipersepsikan negara menyetujui pernikahan sesama jenis.

Desti dan Rubiyanti berharap pemerintah membuka diri mendiskusikan hal sensitif dan kontroversial dalam masyarakat. Negara harus memosisikan dirinya berdasarkan konstitusi, melindungi warga negara tanpa memandang orientasi seksual dan identitas jendernya. Namun, pegiat pemajuan perempuan juga mencatat kemajuan yang disampaikan perwakilan pemerintah dalam konferensi itu, misalnya tekad pemerintah melindungi buruh migran sejak pelatihan hingga penempatan. (MZW)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010296834

Related-Area: