BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Optimisme Berantas Korupsi Lewat Sinema

Festival Film
Optimisme Berantas Korupsi Lewat Sinema

Oleh: Ni Made Purnamasari 0 Komentar FacebookTwitter 

Alih-alih memperoleh kembalian uang receh, seorang anak harus rela menerima beberapa butir permen ketika belanja ke sebuah toko kelontong. Pupuslah niatannya untuk menabung. Setengah jengkel ia bergegas ke toko, bermaksud membeli buku tulis dengan menukar permen itu. Apa mau dikata, sang pemilik warung menolaknya.

Boleh jadi secara tak disadari perbuatan itu bisa disebut korupsi. Kecurangan serupa bisa hadir melalui aneka cerita sehari-hari di sekitar kita. Alkisah sebuah sekolah menggelar lomba maraton keliling kampung. Daripada jujur berlari menempuh jarak yang ditentukan, dua peserta memilih boncengan bersama ayah dan salah seorang temannya. Tak ayal, keduanya tampil paling awal di finis, dan dinyatakan sebagai pemenang. Namun kebohongan itu, di akhir cerita, toh terbongkar juga. Gelar juara mereka pun dibatalkan diiringi sorak ejekan teman-teman sekelasnya.

Kedua cerita sarat pesan tadi divisualkan dalam film Langka Receh karya sutradara Miftahun dan Eka Susilawati (5 menit), dan Boncengan besutan Senoaji Julius (16 menit). Keduanya bagian dari film yang ditayangkan pada Anti Corruption Film Festival (ACFFest) 2013, di Bentara Budaya Bali, 23-24 Januari 2014. Festival ini kerja sama lembaga budaya nirlaba Kompas-Gramedia dengan KPK dan Udayana Science Club, Universitas Udayana, Bali.

Festival menghadirkan 12 film, baik dokumenter, animasi, maupun film cerita. Karya lainnya, Ketika UN Dipertanyakan (Isdulah R), Sahabat Pemberani (Tino Saroengallo), Money Talks (Muhamad Arief), Debt (Khusnul Khitam), Kamijen Bergerak (Darwin Nugraha), Sekolah Kami Hidup Kami (Steve Pillar Setiabudi), Jadi Jagoan Ala Ahok (Amelia Hapsari & Chandra Tanzil), Laila (Chairun Nissa), serta dua film dari omnibus Kita versus Korupsi yakni ”Selamat Siang Risa” (Ine Febriyanti) dan ”Psstt…Jangan Bilang Siapa-siapa” (Chairun Nissa).

Film-film yang ditayangkan tersebut merekam kejadian sehari-hari, mencerminkan sikap toleran yang salah kaprah, semisal toleran pada praktik mencontek dalam ujian, kelalaian diri sendiri, pengabaian tanggung jawab, dan bentuk kesalahan lainnya. Korupsi, plagiat, dan kecurangan menjadi lazim. Memang awalnya bisa karena biasa, dan akhirnya seolah-olah itu hal yang lumrah saja. Di sisi lain, sebagian film juga menyiratkan upaya segelintir tokohnya bertahan untuk tetap bersih dan jujur di tengah berbagai kesulitan yang membelitnya.

Setidaknya ACFFest 2013, ini berhasil menunjukkan kepada kita sejumlah kreator atau sutradara yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan secara gamblang dan terus terang praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Simak saja film dokumenter Ketika UN Dipertanyakan. Dalam film berdurasi 3 menit, ini kita bisa melihat persoalan menurunnya mentalitas kejujuran yang selalu mengemuka dalam ujian nasional, mulai dari praktik mencontek hingga korupsi anggaran pendidikan yang ditengarai selalu terjadi. Atau misalnya pada Laila (24 menit) yang memotret birokrasi pelayanan Jamkesmas yang rumit dan berbelit-belit.

Akan tetapi, apakah sebenarnya yang disebut korupsi itu? Semata hanya menyangkut uang triliunan dan wewenang serta kekuasaan yang disalahgunakan? Bermula dari manakah sebenarnya korupsi ini?

Mengawali diskusi yang diadakan serangkaian festival ini, Putu Wirata Dwikora, Ketua Bali Corruption Watch (BCW), mengungkapkan korupsi bisa dilakukan siapa pun, tidak pandang latar belakang pendidikan, jabatan, dan status sosial. Namun, yang memprihatinkan, pelakunya tidak hanya dari generasi usia 50-an ataupun warisan Orde Baru, melainkan mulai menggerogoti generasi muda. Sekarang ada 18 gubernur dan 310 bupati tercatat tersangkut korupsi. Partai politik yang dipercaya melakukan perubahan sosial-politik, ternyata tidak lepas dari soal pidana ini.

Korupsi memang sudah melilit sedemikian rupa, sering kali tidak jelas ujung pangkalnya, bahkan adakah ini merupakan warisan mentalitas VOC, maskapai dagang yang bangkrut karena korupsi? Layak juga dicatat, sejak awal kemerdekaan, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Ramadhan KH, serta nama-nama lainnya telah menulis soal korupsi sebagai bahaya laten bangsa ini. Namun, apakah benar korupsi telah menjadi watak yang membudaya sebagaimana pernah disinyalir oleh Bung Hatta?

Kehadiran festival ini dapatlah dipandang sebagai upaya membangun optimisme bahwa korupsi bisa diberantas hingga tuntas. Dotty Rahmatiasih dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Publik KPK memaparkan bahwa festival bertujuan memberikan penyadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, festival ini diharapkan mampu memberikan pandangan atas apa yang dimaksud dengan korupsi, sebab berdasarkan survei integritas yang secara berkala dilakukan oleh KPK, tidak seluruh masyarakat menyadari korupsi sebenarnya terjadi di sekitar mereka. Bahkan tidak sedikit yang menganggap korupsi hanya menyangkut oknum pejabat negara, terjadi di Jakarta, kota-kota besar, maupun yang terpublikasikan di media massa saja. ”Temuan menyebutkan, masyarakat kita masih permisif terhadap praktik korupsi, sebagaimana terjadi di pusat pelayanan publik seperti ketika pembuatan KTP, SIM, dan lainnya,” kata Dotty menjawab antusiasme peserta yang bertanya mengapa KPK menyelenggarakan ACFFest 2013 ini.

Selama dua hari festival tak kurang dari 495 pemirsa hadir, sebagian besar generasi muda. Antusiasme mereka bertanya tentang korupsi dan problematik yang dihadapi KPK mencerminkan hal ironis sebaliknya, di mana para koruptor tampil dengan senyum dan seolah tanpa rasa bersalah, seakan mereka tertangkap hanya karena kesialan belaka atau persaingan politik dan pengkhianatan dari rekan kerjanya. Rupanya tangkap tangan dan penindakan tanpa pandang bulu yang dilakukan KPK belum mampu menimbulkan efek jera. Dalam konteks inilah, maka festival film ini menjadi penting, sebagai upaya preventif bagi generasi muda dalam menumbuhkan pemahaman serta sikap antikorupsi, sekaligus memutus mata rantai korupsi dari generasi sebelumnya, yang siapa tahu memang telanjur menjadi epidemi yang tak bisa lagi disembuhkan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004493716